-- Faizi
TANGGAL 20 Mei selalu kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kebangkitan Nasional merupakan masa bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan 350 tahun oleh negara Belanda. Kebangkitan nasional ditandai dua peristiwa penting, yaitu berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 dan Ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis yang sudah mulai diperjuangkan kaum pribumi. Bangkit dan bergerak menyongsong Indonesia baru bebas dari segala bentuk penindasan fisik dan mental merupakan misi besar kaum intelektual muda yang terkumpul dari berbagai elemen yang ada tanpa membedakan ras, suku, agama, dan lain sebagainya. Sejak itu, tanggal 20 Mei kita tetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional sebagai titik perjuangan melawan penjajah dengan mempergunakan kabangkitan politik dan organisasi.
Ada banyak hal yang bisa kita refleksikan pada Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, terutama yang berkaitan dengan persoalan kebangsaan kita. Mulai dari kemiskinan, pengangguran, jaminanan sosial yang layak, kebodohan, keterbelakangan, keadilan, dan semacamnya. Ternyata harus diakui bahwa kita masih “terjajah” dan belum merdeka sepenuhnya. Romantisme kabangkitan nasional hanya sebatas masa lalu yang tidak memiliki hubungan korelatif dengan kondisi ril bangsa kita hari ini. Semuanya masih jauh dalam alam imajinasi abstrak para pendiri bangsa ini, yakni bangsa yang bebas, berdaulat, dan kuat.
Sistem demokrasi yang diidealkan menjadi solusi efektif dalam tata negara ternyata jauh panggang api. Elite masih menyibukkan diri dengan kepentingan pribadi dan golongan serta menjauhklan diri untuk sekadar memikirkan persoalan ril di lapangan yang dihadapi bangsa ini. Ada semacam disparitas yang begitu kuat dalam hubungan antara wakil rakyat dan rakyat biasa yang memberikan mandat. Wakil rakyat bertindak sesuai dengan insting kepentingan pribadinya, sedangkan rakyat dibiarkan dengan logika yang dipegangnya. Kalau sudah demikian realitasnya, hendak ke mana rakyat kecil mengadu semua persoalan krusial yang dihadapinya.
Bangkitnya Kaum Intelektual
Harus diakui persoalan bangsa yang besar tidak bisa dipasrahkan sepenuhnya pada pemegang kebijakan politik yang direpresentasikan melalui partai politik semata. Selama ini terbentuk pemahaman yang salah dalam konteks pengelolaan dan penyelesaian problem kebangsaan yang hanya berharap banyak pada elite pemegang kekuasaan. Padahal ada elemen penting lain yang justru bisa diharapkan suara kritisnya, yaitu kaum intelektual.
Kaum intelektual merupakan elemen penting yang dibutuhkan suatu bangsa untuk memajukan peradaban bangsa tersebut dalam segala hal. Tak bisa dimungkiri peran kaum intelektual sangatlah diperlukan sesuai dengan kapasitas dan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya. Tentunya dengan memadukan secara harmonis antara pengetahuan yang ada dalam alam ide dengan problem sosial yang ada di lapangan. Hanya dengan mamadukan dua wilayah tersebut, eksistensi kaum intelektual akan diuji dengan sempurna. Apakah ia mampu menjadi seorang intelektual organik atau intelektual oportunis?
Intelektual organik, meminjam istilahnya Antonio Gramsci adalah sebutan bagi kaum intelektual-akademisi yang mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya gap antara teori dan praktek. Bagi mereka tidak cukup peran intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku semata. Sebaliknya, lebih dari itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu kewajiban yang mutlak. Modal intelektual seperti inilah yang dibutuhkan bangsa ini untuk kemudian bangkit dari keterpurukan menuju kebangkitan yang sesungguhnya.
Sebaliknya, intelektual oportunis adalah mereka yang menyibukkan diri dengan rutinitas ilmiahnya tanpa menoleh sedikit pun akan realitas sosial di sekelilingnya. Saking apatisnya, seolah hati mereka talah buta dengan kesibukan individualismenya tanpa memedulikan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Berbagai persoalan sosial yang nyata di depan mata kita, mestinya menjadi semacam peringatan serius bagi semua pihak. Bukan hanya dimaknai sebatas wacana penghias media massa. Sebab, menumpuknya problem sosial hanya akan melahirkan kebimbangan-kebimbangan yang tidak tentu arah yang ujung-ujungnya membingungkan rakyat itu sendiri. Kaum intelektual mengembang tanggung jawab dan fungsi sosial besar yang harus diimplementasikan dalam masyarakat. Hal sederhana yang mungkin bisa kita lakukan dalam rangka mengembalikan khitah kaum intelektual di atas adalah dengan cara mengubah pola pikir apatis dan oportunis menuju pola pikir kritis-konstruktif dan kontributif.
Jauh lebih penting dari gagasan di atas adalah keterlibatan aktif kaum intelektual di tengah-tengah masyarakat dengan memberikan pencerahan pada sekian persoalan yang ada sehingga mampu memecahkan sekian problem sosial dengan tuntas dan cerdas. Tentunya sesuai dengan kapasitas dan spesifikasi keilmuan masing-masing. Semoga momentum perayaan Kebangkitan Nasional tahun ini akan dibarengi dengan kabangkitan kaum intelektual.
Faizi, Humas Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga, mahasiswa Master of Islamic Studies UII Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Selasa, 24 Mei 2011
No comments:
Post a Comment