-- Iwan Gunadi
PENGIMBUHAN nama komunitas sastra pada biografi para sastrawan generasi 1980-an ke depan atau pada bagian identitas para sastrawan di akhir atau awal karya mereka yang dipublikasikan di suatu media cetak laksana pengimbuhan suatu otoritas. Artinya, nama itu memang punya wewenang dalam bidang tersebut.
Ini seperti sebangun dengan kesan adanya otoritas ilmiah ketika seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai alumnus suatu jenjang kesarjanaan tertentu pada akhir atau awal sebuah tulisan pada bidang yang berhubungan dengan gelar kesarjanaan tersebut, yang dipublikasikan suatu media cetak.
Atau, ketika seseorang mengidentifikasi sebagai anggota suatu organisasi profesi tertentu yang memang membutuhkan gelar kesarjanaan tertentu untuk menjadi salah satu anggotanya. Misalnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), atau Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski). Kalau itu yang terjadi, boleh jadi, komunitas sastra menjadi semacam pemberi otoritas ilmiah.
Kalau tidak, minimal komunitas sastra dapat menjadi semacam pemberi otoritas praktis. Otoritas semacam ini selama ini biasanya “diberikan” oleh institusi formal terhadap anggota komunitasnya. Misalnya, seseorang yang tak memiliki latar belakang keilmuan tentang lingkungan menjadi anggota sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan. Melalui LSM tersebut, ia banyak terlibat dalam pelbagai aktivitas pemeliharaan dan pengembangan lingkungan. Ia menguasai betul bidang yang digelutinya.
Banyak orang mungkin sepakat bahwa ia memang tak punya otoritas ilmiah di bidang tersebut. Tapi, secara praktis, ia memilikinya. Karena itu, ia dianggap punya wewenang untuk berbicara atau menulis tentang bidang tersebut.
Hal yang sama dikesankan dapat terjadi pada seseorang yang terlibat dalam komunitas sastra. Tapi tentu dengan catatan bahwa seseorang itu melewati prosedur sebagaimana yang dilewati seseorang yang terlibat di LSM tadi. Bila tidak, sangat mungkin yang muncul adalah otoritas semu yang terlalu dipaksakan atau direkayasa. Konsekuensi berikutnya adalah tong kosong yang nyaring bunyinya.
Dalam kondisi pemaksaan atau perekayasaan itu, boleh jadi, yang muncul adalah kecenderungan seperti ini: seseorang yang merasa belum menjadi sastrawan menjadikan komunitas sastra sebagai “kendaraan” yang akan menyulapnya sebagai sastrawan. Komunitas sastra berperan sebagai legitimator status “kesastrawanan”.
Atau, seseorang yang sudah merasa menjadi sastrawan menjadikannya sebagai “kendaraan” yang akan menguatkannya sebagai sastrawan besar. Besar di sini dapat bermakna sastrawan yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, yang berpotensi memopulerkan namanya.
Atau, besar juga dapat berarti nama besar yang dihasilkan dari politik sastra yang ditempuhnya, bukan lantaran karya-karyanya. Bahkan, boleh jadi, karya-karyanya tak seberapa atau bahkan bermutu rendah. Tapi, karena aktivitas politik sastranya lebih heboh, namanya menjadi besar dan terkenal.
Fenomena semacam itu mengemuka lantaran tak sedikit komunitas sastra dibentuk dengan relasi yang tidak imbang antaranggotanya. Dalam bahasa politik, ia dikenal sebagai kekuasaan. Relasi yang tidak imbang tersebut mungkin lahir lantaran komunitas sastra itu sejak awal memang berfungsi sebagai sanggar atau wadah pembibitan atau pelatihan.
Dalam kondisi demikian, potensi konflik antarkepentingan mungkin lebih kecil untuk terjadi atau bahkan tak ada celah. Sebab, komunitas semacam itu memang dibangun dengan kesadaran bahwa relasi antaranggotanya memang timpang alias tidak imbang. Tak heran bila pihak yang terdominasi atau terhegemoni kekuasaan itu tak merasa dirugikan. Kekuasaan dengan citra positif sebagaimana dipahami Michel Foucault tampaknya cocok untuk kondisi seperti itu.
Dalam relasi tak imbang seperti itu, biasanya, ada pemuka yang berperan sebagai pusat kekuasaan. Seluruh instrumen komunitas berputar dalam hegemoninya. Seluruh anggota komunitas biasanya berusaha mengidentifikasi diri sesuai dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka.
Walaupun mungkin sang pemuka tak menghendaki hal-hal semacam itu terjadi, sikap feodalistik para anggota tak jarang membuat mereka sungkan atau “takut” mengidentifikasi diri menjadi sesuatu yang bertentangan dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka.
“Takut” dinilai tak sopan, tak tahu diri, dan semacamnya seolah-olah telah menjadi senjata yang dibikin mereka sendiri untuk membunuh keakuannya. Padahal, di sisi lain, di antara mereka banyak yang menyadari bahwa keakuan merupakan salah satu senjata kesenimanan, termasuk kesastrawanan.
Kecenderungan seperti itu terjadi pada banyak komunitas besar. Ada seseorang yang menjadi as atau pusat. Semua orang yang ada di sekitar atau sekelilingnya mencoba mengidentifikasi diri seperti sang pusat. Tak heran kalau kemampuan kritis mereka terhadap sang pusat majal. Kalau hal ini terjadi, pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra selama 29 tahun terakhir terasa paradoks.
Di satu sisi, kehadiran pelbagai komunitas sastra itu seperti ingin menegasikan apa yang selama ini disebut pusat: Taman Ismail Marzuki di antara taman-taman kesenian lain, Jakarta di antara provinsi-provinsi lain, majalah Horison di antara majalah-majalah lain atau Horison sebagai sebuah kesendirian, rubrik seni dan budaya Kompas pada edisi Minggu di antara harian-harian lain yang memiliki rubrik yang sama, dan seterusnya.
Namun, di sisi lain, kehadiran pelbagai komunitas sastra seperti menciptakan pusat-pusat baru. Bedanya, pusat pertama bersifat institusional yang beragam. Karena itu, sifat acuannya pun samar. Karena acuannya samar, setiap proses kreatif yang mengacu kepadanya masih memiliki potensi keanekaan yang lebih luas. Sedangkan, pusat kedua bersifat personal individual. Karena itu, referennya tegas dan tunggal.
Karena itu, setiap proses kreatif yang bertolak darinya memiliki peluang yang lebih sempit untuk menjadi penuh warna. Boleh jadi, hasil dari setiap proses kreatif itu hanyalah manifestasi dari isi kepala sang pusat atau varian-varian yang hanya sedikit berbeda dari karya-karya kreatif sang pusat. Kalau hal tersebut yang terjadi, pusat-pusat baru yang personal individual ini tentu “lebih berbahaya” untuk suatu kreativitas dan inovasitas.
Sementara, bila relasi yang tidak imbang itu lahir bukan karena konsekuensi bentuk komunitas sastra, ketimpangan itu muncul biasanya lantaran pihak pendominasi atau penghegemoni memiliki kemampuan menjalin hubungan antarpersonal dan jaringan yang lebih luas. Ada juga memang sejumlah komunitas dengan hubungan antaranggota yang timpang karena pihak pendominasi atau penghegemoni memang memiliki pengetahuan sastra dan kemampuan menghasilkan karya sastra yang lebih baik.
Tapi, yang terakhir ini tampaknya jauh lebih sedikit dari yang pertama. Komunitas sastra model pertama itu sendiri biasanya dibentuk lebih karena inisiatif pihak pendominasi atau penghegemoni. Dalam kondisi seperti itu, konflik antarkepentingan lebih berpeluang terjadi. Kalau hal ini mencuat, komunitas sastra tersebut terancam bubar.
Ancaman yang sama juga dapat membayangi komunitas sastra yang bersandar pada satu figur tertentu sebagai pusat segalanya. Tapi, ancaman tersebut tak dilatarbelakangi konflik yang tajam antaranggota. Sebab, dalam komunitas dengan pusat satu tokoh tertentu, keberlangsungan hidup komunitas sastra cenderung tak dipengaruhi ada tidaknya konflik antaranggota. Apalagi bila konflik itu tak melibatkan sang pemuka atau sang pusat.
Kalau hal itu terjadi dan kemudian diketahui sang pemuka—ia akan selalu tahu karena selalu saja ada orang yang loyal—sang pemuka akan berusaha mendamaikan konflik tersebut.
Konflik akan reda lebih karena wibawa dan kharisma sang pemuka. Bukan lantaran konflik telah terselesaikan secara tuntas. Kalau kemudian diketahui konflik belum selesai tuntas dan suatu saat muncul lagi, akhirnya, sang pemuka akan mengeluarkan orang yang dianggapnya salah atau membuat suasana yang memaksa orang tersebut keluar dengan sendirinya.
Perlakuan yang sama juga akan diterima oleh anggota yang mencoba membuka konflik dengan sang pemuka, baik secara terbuka atau tertutup. Wibawa dan kharisma sang pemuka biasanya tak memungkinkan lahirnya konflik terbuka antara anggota dan sang pemuka. Yang lebih sering terjadi adalah konflik tertutup.
Meski tertutup, sekali lagi, karena orang yang loyal selalu ada di sekeliling sang pemuka, konflik tertutup akan selalu terdeteksi oleh sang pemuka.
Kalau hal itu terjadi, biasanya, si anggota akan mengundurkan diri dengan berbicara langsung dengan sang pemuka atau pergi secara diam-diam. Anggota seperti itu akan kerapkali berpikir, untuk apa saya tetap di sini kalau satu gagasan pun dari saya tak pernah dihiraukan atau dihargai.
Namun, anggota pembangkang semacam itu memang makhluk langka dalam komunitas sastra dengan sentral tokoh yang berwibawa dan kharismatis. Sebab, setiap anggota yang masuk komunitas seperti itu tentu datang dengan niat untuk menggali pengetahuan sedalam-dalamnya dari sang pemuka. Pembelajaran semacam itu, baginya, hanya mungkin terlaksana dengan mulus bila ia tak menjadi pembangkang sang pemuka. Setiap anggota akhirnya memang menyimpan kesungkanan untuk berkonfrontasi dengan sang pemuka atau pendominasi. Setiap anggota cenderung manut alias taklid.
Akhirnya, ancaman bubar bagi komunitas sastra semacam itu biasanya hanya muncul dari sang pemuka sendiri. Keberadaan komunitas sastra tetap akan terjaga dan bergairah selama sang pemuka tetap bergairah pula. Kalau sang pemuka tak lagi bergairah atau bahkan meninggal dunia, komunitas sastra itu dapat lebih dipastikan akan terancam bubar.
Bubar biasanya tak berarti mati selama para mantan anggota masih ada dan berkiprah di dunia sastra. Mereka, terutama pihak pendominasi atau penghegemoni, cenderung tidak suka dengan kata mati tersebut. “Komunitas kami tak mati, tapi vakum untuk sementara,” kilahan mereka biasanya begitu. Padahal, yang dimaksud “vakum” di situ seringkali bermakna tak akan ada kegiatan lagi lantaran para anggota telah membentuk komunitas baru atau terlibat dengan komunitas lain.
Iwan Gunadi, Pemerhati Komunitas Sastra
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Mei 2011
No comments:
Post a Comment