-- Antony Lee
MUSEUM Kereta Api Ambarawa di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, memiliki koleksi unik dengan latar belakang yang luar biasa. Sayang, benda-benda kuno itu masih teronggok sebagai barang tua yang bisu tanpa kisah.
Setengah Hati "Menjual" Masa Lalu. (KOMPAS/ANTONY LEE)
Pengelola museum terlalu mengandalkan lokomotif uap bergerigi sebagai daya tarik utama, yakni B 2502 dan B 2503. Kedua lokomotif tersebut buatan Esslingen, Jerman, tahun 1902. Loko itu bisa dicarter seharga Rp 5,25 juta untuk mengangkut penumpang hingga 80 orang melintasi rute pegunungan di Ambarawa-Bedono sepanjang 20 kilometer.
Loko tua itu masih manjur menarik pengunjung. Hingga November 2010, pengunjung Museum KA Ambarawa mencapai 56.279 orang, melampaui tahun 2009 sebanyak 48.231 turis lokal maupun luar negeri. Penghasilan museum tahun 2009 mencapai Rp 1,4 miliar, sebagian besar dari perjalanan loko tua dan penjualan tiket. Tahun 2010 target penghasilan ditambah menjadi Rp 1,99 miliar.
Akhirnya, jumlah perjalanan lokomotif tua itu pun ditargetkan rata-rata 19 perjalanan per bulan, naik satu perjalanan per bulan dibanding tahun 2009. Namun, berapa lama lokomotif itu kuat menjadi ”gula” bagi ”semut-semut” yang menyukai romantisisme masa lalu?
”Masih bisa beberapa puluh tahun lalu, tapi kalau terlalu dipaksa sering berjalan ketel uapnya bisa menipis,” tutur Kepala Subdepo Traksi Ambarawa Pudjijono di Ambarawa, Jumat (10/12).
Bagi Pudjijono yang sehari-hari menjadi perawat, dokter, sekaligus sesekali masinis loko tua itu, perjalanan maksimal 10-12 kali bagi dua loko tua itu cukup ideal. Artinya, masing-masing bisa beroperasi 5-6 kali sebulan. Realitasnya, perjalanan loko uap per bulan bisa mencapai 25 kali saat musim liburan.
Padahal, jika ketel uap loko itu rusak, artinya dua loko itu harus benar-benar masuk museum. Tidak ada ketel uap cadangan beredar karena pabrik pembuatnya sudah lama tutup. Bahkan, untuk onderdil pengganti, Pudjijono dan timnya di Subdepo Traksi Ambarawa sudah harus putar otak tambal sulam atau berkreasi membuat sendiri dari bahan yang ada.
Jika dua loko itu pensiun, bukan tidak mungkin Museum KA Ambarawa bakal kehilangan rohnya. Lalu, siapa yang bisa menjamin pengunjung museum itu tidak bakal berkurang dan perlahan ditinggalkan pengunjung.
Padahal, potensi Museum KA itu tidak melulu lokomotif tua bergerigi. Di museum itu terdapat 22 lokomotif tua produksi tahun 1902 hingga 1928 dari pabrik-pabrik kereta api di Belanda maupun Jerman, seperti Chemnitz, Esslingen, Wienterthur, atau Egestroof Linden. Selain beraneka ragam dari sisi pabrikan, bentuk dan dimensi lokomotif itu juga beragam, mulai dari yang bergandar (roda penggerak) dua, tiga, empat sampai enam.
Selain itu, bangunan museum juga antik. Di bagian depan museum tertulis angka tahun 1873, merujuk pada tahun pendirian stasiun yang dahulu bernama Willem I Ambarawa. Adapun bangunan stasiun yang kini masih eksis merupakan hasil renovasi tahun 1907. Bangunan pertama diperkirakan masih terdiri dari material kayu dan bambu.
Luar biasa
Kisah di balik museum yang dulunya stasiun, maupun 22 lokomotif, bahkan Subdepo Traksi Ambarawa luar biasa. Sastrawan Remy Sylado dalam cerita bersambungnya yang akhirnya dibukukan, Namaku Mata Hari, mengisahkan mata-mata akhir abad ke-19, sekaligus penari eksotik. Mata Hari pernah tinggal di sekitar Stasiun Willem I Ambarawa, dan ia menaikinya saat menuju Semarang.
Novel itu boleh saja fiksi, tapi Mata Hari yang bernama asli Margaretha Geertruida Zelle memang pernah tinggal di Ambarawa. Situs Encyclopedia.com menyebut Mata Hari tinggal beberapa tahun di Ambarawa mengikuti suaminya, seorang perwira Hindia Belanda berkebangsaan Skotlandia. Kehidupan Mata Hari berakhir tragis. Ia ditembak mati di Perancis atas tuduhan pengkhianatan pada 1917.
”Terlepas Mata Hari pernah naik kereta api di sana atau tidak, cerita itu bisa diangkat. Misalnya, foto Mata Hari dipasang di Museum KA Ambarawa. Orang-orang asing (yang tahu kisah itu) tentu tertarik,” tutur Tjahjono Rahardjo, anggota Indonesia Railway Preservation Society (IRPS) Semarang.
Bagi Tjahjono, jika didalami, ada begitu banyak kisah di sekitar koleksi Museum KA Ambarawa. Setiap loko koleksi itu bica bercerita banyak, ketimbang saat ini hanya diberi data teknis yang tidak bertutur. Sebagai contoh, lokomotif C 2821 buatan Henschel and Senncaddel 1921 yang tipenya serupa dengan lokomotif C 2849.
Loko itu dahulu digunakan membawa Dwitunggal Soekarno dan Hatta dari Jakarta menuju Yogyakarta saat pemindahan ibu kota ke Yogyakarta akibat agresi militer Belanda. Atau CC 5029 yang dikenal sebagai ”Ratu Gunung” karena khusus melayani rute berat di Priangan, Jawa Barat.
Tidak hanya itu. Nomor-nomor kereta pun bisa jadi kisah unik. Misalnya tulisan C-27 berlingkaran putih di badan kereta CR-63-I buatan tahun 1906, yang digunakan untuk perjalanan loko B 2502, memiliki arti jika mengangkut tentara hanya memuat 27 orang. Maklum, Ambarawa ketika itu menjadi salah satu basis militer kolonialis.
Ada juga kereta AR-I-III yang hanya digunakan orang-orang penting zaman Belanda, misalnya pejabat kolonialis atau anggota kerajaan. Kereta itu masih ada di Subdepo Traksi Ambarawa, sekitar 200 meter dari Museum KA Ambarawa. Aktivitas di subdepo itu juga bisa jadi kisah unik bagi pengunjung.
Belum diangkat
Ada banyak yang belum diangkat. Bahkan, perjalanan loko uap di Ambarawa-Bedono juga masih belum maksimal. Pengunjung hanya naik duduk, mengikuti perjalanan loko, lalu turun. Tidak ada penjelasan kisah di balik loko itu.
”Kelemahan di Museum KA Ambarawa barang-barang (kuno) ditaruh tanpa bisa bicara apa-apa. Di India, misalnya, Museum Mahatma Gandhi yang barang peninggalannya tidak banyak bisa menjadi kisah yang panjang dengan bantuan multimedia,” tuturnya.
Menurut Kepala Stasiun (Museum) Ambarawa Eko S Moeljanto, sudah ada wacana pembenahan museum tersebut. Mulai tahun 2011, lokomotif B 5112 buatan 1902 akan dihidupkan untuk rute Ambarawa-Tuntang sekitar 10 kilometer. Sekaligus lori wisata rute sama akan dipensiunkan, diganti lokomotif diesel D 30023 buatan pabrik Krupp tahun 1958.
”Harga sewa B 5112 itu akan lebih murah daripada harga sewa kereta bergerigi. Harapannya bisa menurunkan beban B 2502 dan B 2503,” tuturnya.
Tentu itu juga masih harus diikuti detail kecil yang penting. Selain kisah, bisa juga kostum petugas stasiun dan lokomotif yang kuno. Bukankah benda kuno tanpa kisah itu sama saja dengan masakan tanpa garam? Hambar rasanya.
Sumber: Kompas, Jumat, 17 Desember 2010
No comments:
Post a Comment