-- Fristian Hadinata
• Judul: Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme • Penulis: Donny Gahral Adian • Penerbit: Koekoesan • Cetakan: I, Oktober 2010 • Tebal: xi + 129 halaman • ISBN: 978-979-1442-37-4
AKHIR-AKHIR ini, kita menyaksikan apa-apa yang seharusnya berada di ruang privat menjajah ruang publik. Titik kulminasinya kita merasakan kekhawatiran bahwa kehidupan perpolitikan menjadi sekadar fungsi dari kegiatan ekonomi, semata-mata transaksi dan negosiasi.
Pada kondisi itu, demokrasi merosot maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara, yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Sementara, popularitas jarang dibangun dari keringat kerja politik, tetapi dari iklan politik belaka. Akibatnya, rakyat hanya dibutuhkan lima tahun sekali dan terlupa bahwa ia merupakan pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.
Donny Gahral Adian, seorang pengajar Filsafat Politik di Universitas Indonesia, berangkat dari kekhawatiran yang sama ketika menuliskan buku Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme. Tujuan demokrasi tidak lain adalah melakukan pembangunan proyek-proyek kolektif, kesejahteraan umum sebagai perluasan akses politik kaum marginal, tetapi justru terlihat perayaan festival induvidualisme dan proseduralisme. Mengapa kondisi politik demokrasi keluar dari fitrahnya?
Pada buku ini, kita menemukan sebuah pernyataan tesis yang kontroversial untuk menjawab pertanyaan di atas, yaitu demokrasi telah dirobek oleh indivualisme liberalisme. Ada paradoks jika kita mengafirmasi demokrasi, tetapi juga menerima liberalisme. Demokrasi menuntut homogenitas dan kosekuensinya adalah penghapusan heterogenitas. Demokrasi menarik garis antara mereka yang termasuk ’demos’ dan mereka yang bukan. Keadilan demokratis adalah perlakuan yang sama terhadap yang sama dan sebaliknya berbeda terhadap yang berbeda. Liberalisme, sebaliknya, menuntut kesetaraan universal di mana semua manusia diperlakukan sama tanpa menimbang apa dia termasuk dalam ’demos’ atau tidak. Dengan kata lain, liberalisme berbeda dengan demokrasi karena melampaui ’demos’ sebagai partikularitas kesatuan politik. Kita sering tidak menyadari perbedaan fundamentalnya karena keduanya disatukan oleh proyek bersama melawan musuh bersama, yaitu monarki absolut.
Demokrasi liberalisme
Gagasan demokrasi liberalisme yang berpusat pada kuasa dapat dinetralkan melalui debat rasional di ruang publik justru membahayakan demokrasi itu sendiri. Sebab, hal itu menihilkan pembentukan kontra hegemoni yang diperlukan untuk membongkar hegemoni dominan yang bekerja pada struktur kekuasaan. Dengan kata lain, kelompok-kelompok demokratis kehilangan ketajaman politiknya untuk mencium kekuasaan dan melacak apa saja yang dimarjinalkan. Liberalisme mengenyahkan politik dan negara demi dua arena yang non-politik, yaitu ekonomi dan etika. Dengan begitu, politik direduksi menjadi proteksi terhadap ajang perebutan sumber daya dan moralitas.
Tidak heran jika tujuan buku ini, seperti yang diungkapkan penulisnya, adalah mendekonstruksi demokrasi liberal dan membangkitkan ’politik’ dari mati suri selama dua ribu lima ratus tahun lebih (hal. 89). Secara implisit, terlihat juga usaha untuk memikirkan substansi politik untuk mengisi lubang demokrasi yang dibiarkan oleh liberalisme tanpa terjebak ke dalam fondasionalisme atau absolutisme. Dalam upaya untuk memenuhi tujuan itu, penulis membagi buku menjadi tiga bab yang saling berhubungan erat, yaitu: politikal, paradoks, dan konstitusi. Agar lebih memudahkan pembaca mengikuti perbincangan pada buku ini, penulis memberikan contoh-contoh kontekstual dan aktual pada kehidupan politik kita (misalnya, bail out Bank Century, konflik Palestina-Israel, peristiwa 9/11).
Penegasan kembali ’demos’
Arti penting buku ini adalah sebuah pengingatan bahwa demokrasi tidak dapat berjalan tanpa dipimpin kebijaksanaan yang berupa nilai-nilai dasar yang dikehendaki ’demos’ atau rakyat.
Adian menyebutkan, demokrasi dapat dipahami secara institusi dan sekaligus momen institusionalisasi. Sebagai momen institusionalisasi, demokrasi adalah inkarnasi ’demos’ atau rakyat ke dalam konstitusi. Di sini, konstitusi bukan dokumen yuridis untuk membatasi kekuasaan (semata-mata bersifat negatif), melainkan justru merupakan formalisasi kekuasaan rakyat demi berdirinya demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, konstitusi adalah dokumen positif yang membakukan nilai fundamental dan substantif.
Terlihat bahwa konstitusi adalah momen penciptaan dan mengimplisitkan politik adalah kreativitas dan bukan negosiasi. Hal itu dilandasi oleh dua syarat, yaitu kebebasan dan pengakuan pluralitas. Kebebasan, di sini bukan kebebasan untuk memilih satu dari sederet pilihan yang tersedia, melainkan sebuah inisiatif untuk memulai sesuatu yang baru. Di sisi lain, pluralitas adalah kondisi sebuah ruang publik tempat setiap orang menyingkapkan keunikannya dan sekaligus mengakomodasi keunikan orang lain dalam mengambil keputusan. Pluralitas di ruang publik mengaitkan aksi dan ujaran sebagai sarana manusia menyingkapkan dirinya. Aksi berhubungan dengan ujaran dan hanya melalui ujaran kita dapat mengaksentuasikan makna sebuah aksi dan sekaligus mengoordinasikan aksi dari agen yang plural. Dari sana terumuskan bahwa politik selalu mengenai fakta pluralitas manusia serta politik berhubungan dengan kebersamaan dari keberbedaan dan bukan heterogenitas yang individualistis.
Kehendak yang melahirkan konstitusi itu adalah kehendak politik yang terbatas bukan sebagai kehendak umum seperti tradisi kaum liberalisme atau kontrak sosial. Disebut terbatas karena merupakan kehendak rakyat sebagai kesatuan politik. Demokrasi adalah sebuah ruang dengan batas-batas yang jelas. Penghuninya bukan manusia universal, melainkan warga negara sebagai subyek politik. Sebagai subyek politik, warga negara diukur berdasarkan partisipasinya pada substansi yang ada pada konstitusi. Konstitusi bukan saja menentukan bulat lonjong demokrasi, tetapi lebih dari itu, menyiratkan sebuah aksi politik.
Kosekuensinya, konstitusi sebagai substansi politik sebuah republik harus dilindungi. Perlindungan konstitusi sejatinya adalah perlindungan terhadap kedaulatan rakyat yang menyusunnya. Berbagai upaya amandemen harus senantiasa diwaspadai untuk tidak mengkhianati substansi (demokratis dan rechstaat). Pada konteks ini, substansi harus dipahami bukan sebagai sesuatu yang tetap, tetapi nilai-nilai yang dilahirkan dari sebuah peristiwa (event) konkret. Pada konteks negara, kita adalah peristiwa konkret ’penjajahan’ yang menciptakan subyek antikolonial yang berkomitmen terhadap nilai kebangsaan dan demokrasi.
Dengan begitu, substansi politik yang menyangga sebuah bangsa tetap saja kontingen karena dilahirkan oleh peristiwa yang tak niscaya dan tergantung pada proses kebenaran yang dilakoni subyek-subyek yang sudah tidak ada.
Substansi politik republik ini bukan finalitas. Komitmen terhadap nilai-nilai dasar bukan sesuatu yang stabil karena sangat tergantung pada kemauan subyek masa kini untuk menauladani proses kebenaran yang dija lani para pendiri bangsa di masa lalu (hal. 86).
Fristian Hadinata, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat
Sumber: Kompas, Jumat, 10 Desember 2010
No comments:
Post a Comment