-- Murniati Tanjung
BAGAIMANA seorang pengarang mengartikulasikan kecintaannya terhadap kampung halaman? Tidak semua pengarang sadar akan pengartikulasian ini. Bila sadar pun, tidak semua pengarang mau dan mampu melakukannya.
Visi kepengarangan ibarat batang dari sebuah proses kreatif. Visi kepengarangan adalah roh yang akan membuat karya estetis memiliki bobot. Ia juga bagai pemindai karakter karya. Kesadaran akan visi kepengarangan inilah yang kemudian akan membuat si pengarang memiliki ciri khas. Karya-karyanya akan teridentifikasi, tetapi tidak menimbulkan kemonotonan. Karya-karyanya akan ditunggu-tunggu karena para pembaca sudah kecanduan kemampuan pengarang memilih dan menggarap tema.
Sebagaimana kutipan Socrates bahwa sastra adalah mimesis (tiruan kehidupan), maka visi kepengarangan senantiasa lahir dari kesadaran menyuarakan kecintaannya terhadap apa-apa yang ia temui—atau ia khayalkan—dalam kehidupannya, termasuk kepada sesuatu yang bernama tanah kelahiran.
Ya, ketika ruang-ruang publik sudah begitu bising dan kabur oleh pelbagai kepentingan yang berkelindan, mengarang adalah aktivitas yang memungkinkan terjaganya kemurnian suara hati seseorang untuk diketengahkan. Mengapa? Karena mengarang adalah aktivitas yang memungkinkan swasunting (pra-evaluasi) sebelum sebuah karya dinikmati di ruang publik. Maka, beruntunglah orang-orang yang mengarang dengan kesadaran visi, dengan menyuarakan visi kehidupan, visi kecintaan (termasuk pada kampung halaman), dengan perenungan yang dalam!
Satir menyayat
Adalah Benny Arnas, cerpenis muda (26) yang sangat produktif, satu dari segelintir pengarang yang menunjukkan betapa ia mencintai kampung halamannya. Ia menerbitkan lebih dari 100 cerpen di pelbagai media hanya dalam kurun dua tahun usia kepengarangannya. Lewat Bulan Celurit Api (BCA), kumpulan cerpen teranyarnya, Benny bagai menantang orang-orang yang ”mengaku” menghargai seni, budaya, dan sebuah kemurnian peng-kreasi-an karya agar jangan minder dengan identitas kekaryaannya.
Dalam buku himpunan 13 cerpennya yang pernah dimuat media nasional, internasional, dan memenangi penghargaan tersebut, Benny seolah tak pernah kehabisan tema, tak pernah abai pada pemilihan kata, seolah selalu berkata: hei, ada sesuatu yang harus kalian tahu dari titik yang bernama Lubuk Linggau!
Bulan Celurit Api, cerpen pertama yang menjadi judul kumpulan ini, mengetengahkan sebuah ironi. Satir yang menyayat. Benny menampilkan gambaran kampung halamannya yang krisis identitas. Rumah Limas yang digadang-gadangkan sebagai rumah adat Lubuk Linggau (juga Sumatera Selatan) ternyata nyaris tak terdapat di kampung halamannya.
Alkisah, Mak Muna, perempuan 80 tahun yang tinggal di satu-satunya Rumah Limas yang terdapat di kampungnya. Mak Muna memiliki kemampuan membaca tanda-tanda yang ditunjukkan alam. Dan selalu benar. Malangnya, semua tanda yang selama ini ditafsirnya selalu mengarah pada kehancuran kehidupannya.
Suaminya meninggal dalam perang saudara antarpuak. Anak-anak meninggalkannya sendiri, bersama seorang cucu yang bisu, di Rumah Limas-nya yang hampir roboh. Terakhir, ia melihat bulan berbentuk celurit tepat di atas pucuk Rumah Limas-nya. Hatinya cemas. Karena ia merasa itu pertanda buruk bagi kampungnya yang sedang marak-maraknya menyongsong pemilihan kepala desa.
Dalam cerpen yang mendapat penghargaan Piala Balai Bahasa 2009 tersebut, Benny memang menjadikan kehadiran Rumah Limas sebagai twist. Namun, tak seperti twist umumnya, Benny berhasil memilih simbol (Rumah Limas) untuk menyindir pengambil kebijakan dan masyarakat yang mau tidak mau mesti berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Eksperimentasi estetika
Sebagaimana siasat penerbitan, saya pikir cerpen Bulan Celurit Api adalah cerpen andalan dalam kumpulan ini. Ternyata tidak! Dua belas cerpen lainnya tidak hanya mengonfirmasi pujian maestro cerpen Indonesia terhadap buku ini yang ”eksotik, liar, dan memukau” adalah benar adanya.
Namun, lebih dari itu, cerpen-cerpen yang disajikan benar-benar menjelaskan kemampuan dan kematangan kualitas kesusastraan seorang pengarang. Bahkan, pada cerpen ketiga, Benny menyentak pembaca dengan pemilihan judul yang sangat panjang, yang saya pikir ini adalah judul cerpen terpanjang dalam sejarah. Tentang Perempuan Tua dari Kampung Bukit Batu yang Mengambil Uang Getah Para dengan Mengendarai Kereta Unta Sejauh Puluhan Kilometer ke Pasar Kecamatan. Berjumlah 22 kata!
Atau pada cerpen Anak Ibu, Benny menampilkan gaya penceritaan yang baru. Semacam kumpulan khotbah bijak yang dikemas jauh dari kesan menggurui. Cerpen-cerpen lain juga makin menegaskan bahwa peraih Krakatau Award dua kali berturut-turut (2009 dan 2010) ini adalah sastrawan muda yang cemerlang!
Dari Lubuk Linggau untuk Indonesia. Demikian istilah yang saya sematkan pada karya-karyanya setelah membaca BCA. Buku ini semacam manifestasi dari kegelisahan Benny terhadap apa-apa yang ia temui dalam masyarakatnya. Sebagaimana endosemen Hanna Fransisca di sampul buku, Benny dengan tandas menceritakan apa-apa yang ia temui dalam masyarakatnya.
Meski begitu, tampaknya pengarang sadar betul bahwa mengarang dengan mengetengahkan tema lokalitas bukanlah hal baru. Maka, Benny pun melakukan eksperimentasi. Eksperimentasi estetika yang sangat cantik. Ada istilah ”perjaka ting ting” pada cerpen Dilarang Meminang Gadis Berkereta Unta, istilah ”menangkup rencana” pada cerpen Perkawinan Tanpa Kelamin, atau istilah ”menindih-redam” dan ”menyembul-nyalang” pada cerpen Bulan Celurit Api, dan beberapa istilah, sebagaimana ia ungkapkan dalam semacam kata pengantarnya, yang lahir dari ”hamil eksperimentasi”. Kehamilan yang melahirkan ungkapan yang otentik karena adanya perpaduan diksi yang tepat guna dan tepat letak.
Keunikan istilah/bahasa ungkap yang ada dalam BCA tidak hanya membuat cita rasa lokal dalam karyanya makin tajam, tetapi juga menjadikan karya-karyanya otentik. Memiliki keunikan yang menarik dan mengundang selera para pembaca untuk ’melumatnya’ hingga tuntas. Karya-karya Benny adalah parade keseksian sebuah tema yang bernama lokalitas.
Murniati Tanjung, Penyair, Tinggal di Jakarta dan Kuala Lumpur
Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment