SESAMPAINYA di Redaksi Pikiran Rakyat, ia tak langsung masuk menuju ruang diskusi di lantai dua di mana dia akan tampil sebagai pembicara. Ia tetap berada di dalam mobilnya, mengistirahatkan tubuhnya yang terus dihajar oleh batuk. Mungkin lima belas menit kemudian ia baru turun ditemani putranya Reza Suryalaga. Sebentar ia tampak menjadi segar ketika dalam ruang diskusi bertemu dengan para peserta dan dua pembicara lainnya, Endo Suanda dan Teddi Muhtadin. Dalam suasana semacam itu, ia, H.R. Hidayat Suryalaga (69), terlihat begitu bersemangat. Ia dengan someah berbincang dengan siapa pun.
Akan tetapi, batuk-batuk itu kembali mengganggunya, justru ketika ia dipersilakan duduk di depan sebagai pembicara. Seperti permintaannya kepada moderator menjelang diskusi, Kang Surya (begitu ia akrab disapa) mendapat giliran terakhir. Di situlah batuk tak henti-henti mengganggunya, meski botol obat batuk kecil selalu menemaninya. Di tengah batuk-batuk itulah ia tetap tekun menyimak apa yang dipaparkan oleh Endo Suanda dan Teddi Muhtadin.
Kang Surya hari itu, Rabu (22/12), memang diundang untuk menjadi salah seorang pembicara dalam diskusi budaya akhir tahun di Aula Redaksi "PR". Dengan tema "Refleksi Seni Budaya Tradisi 2010" ia dianggap sebagai orang yang tepat untuk memaparkan sejumlah pandangannya yang menarik untuk menjadi perbincangan, terutama ihwal bagaimana sebenarnya identitas Sunda itu mesti direfleksikan sebagaimana ia memaparkannya dalam Seminar Internasional Budaya Sunda di Hotel Salak Bogor, Oktober 2010. Pandangannya ini akan menarik jika dihadapkan dengan pandangan-pandangan lain yang bisa menjadi perbincangan yang kritis.
Demikianlah, dalam diskusi itu Kang Surya pun kembali menguraikan sejumlah pandangannya tentang etos identitas budaya Sunda dan kesundaan. Seraya diselingi gurau yang segar, ia memaparkan pandangan-pandangannya tentang bagaimana semestinya identitas itu dibangun dengan kesadaran pada sejarah dan filosofi. Dalam pandangannya, budaya konsumsi memang telah mengaburkan identitas budaya Sunda. Oleh karena itulah diperlukan sebuah metode filsafat Sunda. Baginya Sunda sebagai identitas harus ditampilkan sebagai perilaku, bukan semata-mata sebagai bungkus.
Dalam diskusi itu Kang Surya juga berbeda dengan Endo Suanda yang menganggap Seminar Internasional Budaya Sunda di Bogor itu tak menghasilkan apa pun. Bagi Kang Surya, seminar itu telah menjadi permulaan yang penting untuk melakukan berbagai kajian tentang masa lalu Sunda, seperti yang terdapat dalam buku Atlantis The Lost Continent Finally Found karya Prof. Arsyo Santos dan Eden in The East karya Stephen Oppenheimer.
Selama memaparkan pandangannya itu sebenarnya ada sesuatu yang aneh dengan Kang Surya, yaitu, semangat yang tiba-tiba menghilangkan batuk-batuk yang sejak tadi menderanya. Semangat tampaknya menjadi gerak dan energi Kang Surya yang bisa mengalahkan tubuhnya yang ringkih dan batuk-batuk yang dirasakannya. Nyaris selama mempresentasikan pandangannya dalam diskusi batuk-batuk itu tak pernah lagi muncul, kecuali di menit-menit awal.
Lebih jauh lagi, diskusi akhir tahun yang diikuti oleh sejumlah seniman budayawan tersebut juga mencoba merefleksikan apa yang terjadi sepanjang 2010, yakni, wafatnya sejumlah seniman tradisi di Jawa Barat sehingga tahun ini bisa dikatakan sebagai tahun duka cita. Peristiwa inilah yang juga ingin direfleksikan, bagaimana sebenarnya memaknai jejak-jejak mereka yang telah wafat itu, jejak-jejak karya dan pemikiran mereka dalam khazanah seni budaya Sunda. Dan Kang Surya juga menjadi penting untuk memaparkan pandangan reflektifnya ihwal hal itu.
Akan tetapi tak ada seorang pun yang menduga, bahwa itulah juga yang akhirnya menjadi takdir Kang Surya. Seperti para seniman-budayawan Jabar yang hendak kami refleksikan jejak karya dan pemikirannya, dengan mengundang Kang Surya sebagai pembicara, ternyata juga menjadi jejak terakhir Kang Surya. Dua hari kemudian, 25 September, pukul 00.00 WIB, ia meninggal dunia.
Aula Redaksi "PR" telah menjadi jejak terakhir Kang Surya, budayawan Sunda kelahiran Ciamis 1941. Rentangan hidup Kang Surya nyaris tak pernah lepas dari kesuntukannya menekuni sejarah dan filosofi budaya Sunda dan kesundaan. Jejak panjang yang merefleksikan bagaimana semestinya kewajiban kultural itu ditunaikan. Dan Kang Surya telah selesai menunaikan kewajibannya itu. Wilujeng angkat, Kang. Ditampi iman Islamna. Alfatihah...(Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment