-- Garin Nugroho
DUBAI International Film Festival (DIFF), 12-19 Desember 2010, bisa dikatakan sebagai festival penutup tahun yang termewah di dunia. Namun, gejala penting yang harus dicatat, munculnya deretan sutradara perempuan Timur Tengah dan Afrika yang mampu meraih penghargaan.
Sederet film dan bintang Hollywood serta Eropa diboyong di DIFF. Sebutlah film-film terbaru yang dijagokan di Golden Globe atau Oscar, seperti The King ’s Speech , atau film terbaru Peter Weir bertajuk The Way Back beserta bintangnya, Colin Farell, demikian juga artis legendaris Catherine Deneuve hingga Jean Renom, bahkan film paling baru John Woo, Reign of Assasin serta film 3D Tron: legacy
Demikian juga kemampuan artis lanjut usia Esfahani Kobra meraih aktris terbaik DIFF dalam film Salve (Iran). Ketika Kobra berjalan tertatih ke panggung, ia terasa memberi hipnotis sendiri dalam perhelatan yang serba mewah ini.
DIFF yang ke tujuh ini menjadi sebuah subversif dunia perempuan sekaligus memberi peta baru sinema 2011. Namun, lebih dari itu terasa memberi ruang reflektif untuk sinema Indonesia berkaitan dengan menjamurnya film-film dengan tema keagamaan.
Humanis
DIFF yang memutar 400 film dari 57 negara memberi fokus penghargaan pada film-film Asia, Afrika, dan Timur Tengah, baik pada film cerita, film pendek, maupun film dokumenter. Yang harus diberi garis bawah, sinema Timur Tengah justru menghidupkan religiusitas dengan tema-tema humanis, jauh dari urusan propaganda agama serta karakter stereotip bersifat didaktif hitam putih, seperti nilai jahat yang kemudian diinsafkan.
Simak peraih skenario terbaik film Please don’t Disturb (Iran), sebuah mosaik tiga tokoh, salah satunya berkisah tentang seorang Imam yang kebingungan karena dompetnya hilang dan harus menghadapi beragam bentuk perkawinan dan perceraian yang dipenuhi dunia ekonomi uang. Sebuah pembongkaran yang langka diceritakan, bahkan dalam sinema Iran itu sendiri.
Simak pula film terbaik A Screaming Man. Kisah bekas juara renang di Afrika yang populer dipanggil
champion. Bapak tua ini bekerja menjaga kolam kecil di sebuah hotel, tetapi jiwanya terpukul karena harus rela digantikan anaknya. Ia dipindahkan menjadi penjaga gerbang hotel. Namun, secara diam-diam sang bapak menyetujui anaknya dikirim ke militer untuk berperang sehingga sang bapak kembali bisa menjadi penjaga kolam, sebagai satu-satunya pegangan hidup sekaligus dunia kecilnya sebagai bekas juara renang. Namun, ketika mendengar anaknya terluka parah di medan perang, sang ayah menjemputnya dan membawanya ke sungai tempat mereka berlatih renang sebelum kemudian sang anak meninggal.
Muatan cerita di atas lalu menunjukkan bahwa sinema Indonesia akan jauh tertinggal pada masa depan, justru oleh sinema Timur Tengah dan Afrika. Hal ini terjadi karena sinema Indonesia kehilangan dirinya sendiri, yakni kisah-kisah kemanusiaannya dan tafsir bebas terhadap kehidupan. Sinema Indonesia telanjur menjadi alat propaganda berbagai aspek, baik itu aspek pasar maupun aspek agama.
Sinema Indonesia dalam DIFF kali ini diwakili oleh film dokumenter karya Rudy Haryanto, Prison and Paradise. Dokumenter ini terasa menarik karena mampu melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh bom Bali secara terbuka, sekaligus kehidupan keluarga teroris beserta anak-anaknya. Yang sesungguhnya menghadapi warisan yang kompleks, yang bukan menjadi dosa mereka.
Oasis
Melihat karya-karya sutradara perempuan peraih penghargaan, terbaca peran sinema sebagai ruang ekspresi masa depan dunia perempuan Timur Tengah dan Afrika. Kamera terasa menjadi senjata baru. Ia bisa menjadi kesaksian realitas, tetapi bisa sebagai perlawanan maupun pilihan demokrasi atas dunia yang boleh dipilih dan digali.
Simak karya Zeinar Steir yang mengambil subyek tukang cukur tua yang sudah mencukur berbagai jenis profesi, jabatan, dan jenis manusia. Zeina mampu melahirkan sensitivitas jurnalistik yang humanis. Atau simak film dokumenter Zelal. Karya sutradara perempuan Mesir ini meraih penghargaan dokumenter terbaik juri kritik film. Film ini merekam penderita depresi mental di rumah sakit Mesir. Atau karya Sabine (Lebanon), peraih film pendek terbaik A Tuesday. Karya ini dengan unik dimulai dengan sosok perempuan tua yang memakai baju dan aksesori mahal keluar dari mal, dan ternyata tidak dengan membayar. Bisa diduga, selanjutnya adalah sebuah cermin yang bisa kita lihat dalam hidup sehari-hari di Indonesia.
DIFF lalu mengisyaratkan, di tengah pesta penutupan yang memberi penghargaan Life Achievement Award kepada aktor Sean Penn dan sutradara Souleymane Cisse dari Mali, perhelatan ini terasa tidak sekadar festival dan ajang penghargaan, tetapi sebuah oasis bagi ekosistem penciptaan dan kebebasan ekspresi diri sutradara perempuan untuk era 2011. Bagaimana dengan sinema dan festival film di Indonesia ?
Garin Nugroho, Juri Film Cerita Dubai International Film Festival
Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment