-- Indra Tranggono
NASIONALISME kita terasa berdenyut kembali saat tim nasional Indonesia berjaya dalam perhelatan sepak bola Piala AFF 2010. Ada yang terasa ”aneh” ketika momentum itu terjadi: ternyata kita masih punya nasionalisme!
Selama ini nasionalisme kita ketlingsut (tersingsal) di rongga hati paling dalam. Berbagai peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dihadirkan penyelenggara negara telah gagal menerbitkan nasionalisme kita itu ke permukaan. Bahkan, praktik-praktik negara justru cenderung ”membunuh” rasa bangga atas bangsa. Para penyelenggara negara telah menghapus ”alamat” negara ketika mereka mengubah negara ini jadi pasar bebas. Rakyat hanya dijadikan himpunan besar konsumen.
Menjalani takdir sebagai bangsa konsumen merupakan bentuk kekalahan bangsa ini atas agen pasar bebas, yakni para penyelenggara negara itu sendiri. Kekalahan bangsa ini pun berlanjut dan terjadi beruntun. ”Gawang” kerakyatan kita digelontor gol demi gol oleh ”tim koruptor”, ”tim penelikung konstitusi”, ”tim politik hitam”, ”tim ekonomi hitam”, ”tim hukum hitam”, dan ”kesebelasan siluman” lain yang adidaya. Ironisnya, negara diam, melakukan politik pembiaran.
Saraf-saraf nasionalisme
Dalam posisi sebagai pesakitan itu mendadak muncul blessing in disguise: timnas sepak bola Indonesia memberikan cipratan kesejukan bagi tatu arang kranjang (luka parah) bangsa ini. Prestasi timnas jadi energi yang menggerakkan simpul-simpul saraf nasionalisme kita. Kejumudan atas apatisme kebangsaan yang dikonstruksi negara mendadak retak dan pecah.
Muncullah kesadaran baru itu: kebanggaan atas kebangsaan kita yang sejatinya selalu kita miliki. Timnas kita memang belum sehebat Brasil, Argentina, Spanyol, Belanda, atau bahkan Jepang dan Korsel. Timnas pun belum mampu tampil di panggung sepak bola dunia. Dibanding Piala Dunia, Piala AFF hanyalah kelas ”kecamatan”. Namun, teater yang dihadirkan Firman Utina dan kawan-kawan telah memukau, mengaduk-aduk emosi dan berakhir dengan memberikan kelegaan berupa kemenangan. Setidaknya, di level sepak bola Asia Tenggara, kepala kita bisa menengadah karena kita punya martabat. Inilah poin penting yang diberikan timnas kita.
Persoalan terbesar bangsa ini adalah kerapuhan martabat akibat krisis etik dan krisis etos. Etika merupakan orientasi nilai yang memandu kita pada asas kepatutan, kepantasan, dan kewajaran. Etika lekat bersinggungan dengan moralitas yang selalu bicara tentang nilai baik-buruk dan benar-salah.
Krisis etik berakibat pada defisit moral: penyusutan nilai-nilai kebaikan dalam setiap tindakan. Krisis tecermin pada pelbagai penyimpangan nilai-nilai kehidupan yang berujung pada korupsi dan tindakan manipulatif atas nilai, misalnya politik yang tak jujur/bersih, hukum yang diskriminatif, ekonomi yang tidak distributif, dan lainnya.
Adapun etos merupakan energi nilai yang melahirkan kreativitas dan pelbagai sikap/tindakan ideal. Krisis etos tecermin pada pelbagai kemandekan gagasan dan kreativitas yang berakibat pada penguatan budaya instan, pragmatis, plagiasi, dan lainnya. Terlalu menyederhanakan masalah jika menganggap berbagai persoalan berbangsa dan bernegara otomatis selesai oleh prestasi sepak bola kita. Sepak bola hanya bagian kecil megaproyek ideal kebudayaan bangsa.
Pelajaran terbesar yang kini mengemuka adalah menjadikan kebudayaan sebagai basis tata kelola kekuasaan. Kebudayaan berakar pada nilai-nilai kolektif (prorakyat), plural dan toleran. Nilai-nilai itu, antara lain, bersumber dari budaya lokal kita. Kebudayaan yang berwatak populis, mengutamakan sipil dan mandiri dalam politik dan ekonomi semestinya menggantikan kapitalisme liberal/demokrasi liberal yang terbukti telah mengasingkan negara dari rakyat, menyuburkan kemiskinan/ketidakberdayaan di semua sektor kehidupan dan menghanguskan etik/etos kolektif kita.
Kita berharap prestasi sepak bola kita bukan jadi alat ”mengelabui” rakyat atas berbagai kasus besar penyimpangan tata kelola kekuasaan. Dengan demikian, euforia yang muncul bukan euforia dari bangsa kalah, melainkan bangsa kuat dan bermartabat. Ini menantang penyelenggara negara untuk melahirkan martabat dalam politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya.
Indra Tranggono, Pemerhati Budaya; Anggota Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa
Sumber: Kompas, Kamis, 23 Desember 2010
No comments:
Post a Comment