Sunday, December 26, 2010

Seni Pertunjukan: Musikal Tontonan "Baru" Kelas Menengah

-- Ilham Khoiri

PENTAS musikal banyak digelar di sepanjang tahun 2010. Sebuah fenomena tontonan di era post-sinema atau post-teater yang masuk ke wilayah gaya hidup.

Setidaknya ada delapan musikal yang digelar di berbagai gedung pertunjukan di Jakarta sepanjang tahun 2010. ArtSwara Performing Art Production mengawali dengan Musikal ”Gita Cinta The Musical”, Maret lalu. Musikal ”Jakarta Love Riot” oleh EKI Dance Company dan ”Diana” dalam rangka HUT Ke-45 Kompas menyusul pada Juli.

Dua pertunjukan berlangsung selama Oktober. Pentas musikal ”Dreamgirls” oleh Jakarta Broadway Team dan ”Opera Tan Malaka”. Menyusul kemudian Teater Musikal ”Tusuk Konde” dan musikal ”Onrop!”. Akhir tahun 2010 ditutup dengan pertunjukan ”Musikal Laskar Pelangi” garapan Riri Riza dan Mira Lesmana dengan musik oleh Erwin Gutawa.

Secara umum, sebagian musikal itu digelar dalam kemasan megah. Pentas memanfaatkan banyak properti, tata panggung gede, serta bertempat di gedung besar. ”Diana” di Jakarta Convention Center (JCC) serta ”Onrop” dan ”Musikal Laskar Pelangi” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), bisa menggambarkan itu.

Kemasan itu menelan biaya produksi tinggi hingga miliaran rupiah. Sekadar contoh, produksi ”Musikal Laskar Pelangi” dengan 300-an kru selama tiga pekan itu menghabiskan dana sekitar Rp 10 miliar. Proses latihan pun setengah tahun lebih. (Bandingkan saja dengan ongkos produksi teater biasa yang ratusan juta rupiah.)

Pertunjukan melibatkan banyak kru panggung dari berbagai disiplin ilmu. Sutradara film, koreografer dan penari, penyanyi, serta aktor berkolaborasi menciptakan satu tontonan. Mengacu pada dasar-dasar drama, tetapi beberapa pentas mementingkan unsur musik, hiburan, dan komunikasi dengan penonton.

Sebagian lakon merupakan pengembangan atau sempalan dari cerita populer, baik dari film maupun lagu. Drama Musikal ”Gita Cinta”, misalnya, mengacu film Gita Cinta dari SMA yang merupakan film laris tahun III pada 1979 yang diangkat dari novel Eddy d Iskandar. ”Diana” merangkai lagu-lagu Koes Bersaudara dan Koes Plus dari era 1960-1970-an. Begitu pula ”Tusuk Konde” yang turunan dari film dan musikal ”Opera Jawa”. ”“Musikal Laskar Pelangi” dari film Laskar Pelangi ( 2008).

Minat pasar cukup tinggi terhadap pentas itu. Meski tiketnya dijual seharga ratusan ribu hingga satu juta rupiah, jumlah penonton tinggi. Ambil misal tiket pentas ”Musikal Laskar Pelangi” seharga antara Rp 100.000 dan Rp 750.000 per orang. Selama enam kali pentas, jumlah penontonnya mencapai 4.800 orang (atau sekali pentas ditonton sekitar 800 orang).

Gairah bersama

Semua itu menggambarkan fenomena apa? ”Fenomena munculnya gairah bersama untuk membuat tontonan alternatif yang mempertemukan film, teater, dan musik. Pertunjukannya lebih ringan, menghibur, tetapi menunjukkan keahlian banyak disiplin ilmu,” kata Mira Lesmana yang memproduksi ”Musikal Laskar Pelangi”.

Kebetulan, para pembuat drama musikal itu memiliki referensi seni pertunjukan dunia. Inspirasinya, antara lain, pentas-pentas drama musikal atau opera di Broadway, New York, serta West End, London, atau Opera House di Sydney. Mereka kemudian tergerak membuat pentas serupa di Tanah Air.

Pada saat bersamaan, sebagian masyarakat di Jakarta juga merindukan pertunjukan musikal. Menurut pengamat seni pertunjukan Agus Noor, mereka adalah kelas menengah urban yang punya pengalaman menonton musikal atau opera di luar negeri dan mengharapkan tontonan serupa di sini. Selera dan aspirasi mereka tak terwakili oleh pentas-pentas seperti Teater Koma, Gandrik, atau Teater Garasi.

Tak sekadar hiburan alternatif, penonton memandang drama musikal itu sebagai sarana mengidentifikasi dirinya pada citra kelas tertentu. ”Tontonan ini masuk ke wilayah gaya hidup,” kata Agus, yang terlibat dalam proses kreatif Teater Gandrik.

Komedi musikal ”Glee” yang ditayangkan jaringan televisi Fox sejak 19 Mei 2009 sedikit banyak juga memberi kontribusi pada maraknya produksi musikal.

Post-sinema

Sutradara Garin Nugroho memandang fenomena itu sebagai munculnya era baru seni pertunjukan. Era ini disebut sebagai post-sinema atau post-teater karena ada semangat mempertemukan berbagai disiplin seni pertunjukan di luar bentuk konvensional. Sutradara film bisa membuat teater atau musikal demi menjelajah wilayah kreatif lain.

Bentuk opera atau musikal banyak dipilih para pembuat pertunjukan karena lebih mudah merangkum berbagai unsur seni. ”Meski terlambat dibandingkan negara-negara lain, semangat ini juga muncul di Indonesia,” katanya.

Namun, perlu dicatat, musikal bukan barang baru. Setidaknya pentas musikal pernah digelar pada era 1980-an di Yogyakarta. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada pernah menggelar musikal ”Fiddler on the Roof” karya Jerry Bock dan Sheldon Harnick, dengan pemeran utama Landung Simatupang, didukung Bakdi Soemanto. Kemudian Sanata Dharma menggelar ”West Side Story”. Kedua musikal itu dipentaskan dalam bahasa Inggris.

Sebelumnya, pada akhir 1970-an Harry Roesli menggelar ”Rock Opera Ken Arok” dan Remy Sylado mementaskan ”Jesus Christ Superstar”.

Momentum musikal era ini hadir kembali sekarang karena memang didukung banyak faktor, seperti keterbukaan pascareformasi, pertumbuhan industri, gaya hidup urban, adanya produser dengan pengalaman luar negeri, serta munculnya generasi penonton baru. Ada harapan baru akan terbentuknya industri seni pertunjukan.

Bagaimanapun, kini telah tumbuh penonton baru. Meski terbatas, gedung pertunjukan besar telah tersedia, seperti Teater Jakarta dan Teater Tanah Airku. Orang-orang kreatifnya sudah siap, seperti produser, sutradara, koreografer, pemusik, aktor, dan penyanyi. Sponsor juga mau membantu pembiayaan pentas.

Perkembangan selanjutnya tergantung dari bagaimana orang-orang kreatif itu bertahan dan terus memperkuat ide-ide kreatifnya. Hanya saja, industri seni pertunjukan itu juga membutuhkan strategi kebudayaan, menyangkut manajemen, dukungan pemerintah, perlindungan keartisan, kultur teater, kultur industri, dan profesionalisme orang-orang kreatifnya.

”Selama ini kita cenderung meramu dengan semangat musiman. Pertunjukan yang dikemas bagus, tetapi tak disertai unsur tontonan berkualitas hanya akan berumur pendek,” kata Garin yang menyutradarai ”Diana” dan Teater Musikal ”Tusuk Konde.”

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

No comments: