-- M Alfan Alfian
DALAM kompetisi global antarbangsa, khususnya dalam bidang ekonomi, realitas yang ada sering digambarkan sebagai pertandingan olahraga lari. Ada lari jarak pendek, menengah, dan jauh. Bangsa yang kuat dan lincah mampu berlari stabil dan memicu percepatan. Bangsa yang banyak masalah seperti pelari yang cepat lemas, berkunang-kunang, tidak percaya diri, dan selalu tertinggal di belakang.
Soal filsafat orang berlari ini dapat ditemukan dalam novel Haruki Murakami, When I Talk About When I Talk About Running (2008). Murakami tertarik pada pertanyaan apa mantra atau doa khusus bagi seorang pelari sehingga ia bisa jadi juara. Tidak ada! Yang ada bagi seorang pelari pain is inevitable, suffering is optional. Bersakit-sakit tak terhindarkan, menderita itu biasa. Itulah disiplin yang ditunjukkan dengan tiada hari tanpa latihan.
Saya menikmati novel itu sebagai sebuah motivasi hidup, bahkan juga bagi sebuah bangsa. Hidup kita seperti orang yang berlari. Kita mesti bergerak karena seorang pelari selalu bergerak. Pelari yang tak bergerak berarti mati. Bergerak itu berikhtiar. Tak seorang pelari pun juara secara kebetulan. Tak ada perwujudan obsesi secara instan.
Tentu saja kita berasumsi bahwa perlombaan lari itu berjalan secara wajar. Permulaan lari harus sama. Perangkat yang dipakai sama. Para pelari tidak boleh memakai obat perangsang. Namun, realitasnya tidak sepenuhnya demikian. Ada bangsa yang posisi permulaannya jauh di depan, ada pula bangsa yang sama sekali belum siap. Namun, kompetisi pasar bebas tidak dapat ditunda dalam praktik. Perlombaan lari pun telah dan terus berlangsung.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah bangsa yang terus berproses. Ia bangsa yang hadir dari letupan sejarah nasionalisme antikolonial. Ketika lahir, ia mewarisi segudang masalah yang ditinggalkan bangsa penjajahnya. Di antara masalah yang kompleks itu, kalau mau ditarik ke yang agak inti terkait dengan konteks kerangka pikir, mentalitas, dan etos kedisiplinannya: kita memiliki warisan mentalitas bangsa terjajah di tengah kondisi alam relatif nyaman dan kurang direspons dengan etos kerja.
Sesungguhnya banyak yang mengagumi nasionalisme Indonesia. Dari titik ini kehadiran Indonesia sangat otentik sebagai bangsa yang melahirkan dirinya sendiri, yang penuh semangat dan potensial. Hanya saja, potensi-potensi itu masih banyak yang belum menjadi aktus justru antara lain oleh hal-hal yang menjebak dirinya. Banyak hal yang masih tersia-siakan. Bahkan, sebagaimana ditulis seorang pengamat ekonomi, kita masih sangat suka dengan ”seni membuang kesempatan”. Ironis memang, seperti pula yang dikatakan seorang budayawan, kita suka menjadi ”gelandangan di rumah sendiri”.
Kalau ada orang yang mengecam keras bangsanya sendiri, maka janganlah segera dituduh antinasionalisme. Kita memang sedang butuh cambuk dari dalam. Tak perlulah cambuk itu Tjamboek Berdoeri sebagaimana judul buku Kwee Thiam Tjing. Cukup cambuk yang keras agar kita semakin disiplin. Semangat keswadayaan dari masyarakat sipil perlu ditangkap positif oleh pemerintah dan elite-elite politik bukan dalam kerangka politisasi, tetapi keikhlasan membangun bangsa.
Praktik pragmatisme-transaksional yang berkembang di dunia politik, ekonomi, hukum, bahkan sosial-budaya tentu tidak membuat kita semakin produktif. Kita terlena pada kemeriahan dan bertengkar demi simbol-simbol, tetapi lupa substansi dan orientasi perkuat daya saing bangsa. Politik kita seharusnya sudah melewati simbol, politik kebangsaan. Ekonomi kita harus didukung secara prima agar kaki dan tangan tak terikat sehingga bisa berjalan dan berlari kencang. Bukan mandek atau jalan di tempat. Penegakan hukum demikian pula: harus progresif.
Memotivasi diri
Tidak ada bangsa yang bangkit tanpa adanya motivasi yang kuat untuk bangkit. Motivasi itu terutama harus datang dari pemimpin. Rakyat tak cukup dapat memotivasi diri. Pemimpin itu membuat yang dipimpin bergairah dan bergerak. Memang tidak mudah menjadi pemimpin bagi bangsa yang terlalu kompleks permasalahannya, yang beban-bebannya perlu diurai satu per satu.
Retorika perlu, tetapi tidak cukup. Pemimpin yang wajar tahu seberapa perlunya retorika. Bahkan, untuk kepentingan yang lebih besar, pemimpin harus berani menentang arus. Itu sebabnya, pemimpin tak harus berorientasi pada popularitas. Apakah dinamika politik kita, mengingat pemimpin bangsa hadir melalui jalur politik, kondusif untuk itu? Belum sepenuhnya demikian.
Optimisme semestinya tak berhenti di tingkat retorika. Namun, harus tampak dalam aksi nyata dan tak dibuat-buat alias otentik. Otentisitas inilah yang kian langka di tengah gemuruh praktik demokrasi elektoral. Akumulasi ketidakotentikan atau kamuflase politik memperparah dan memperlemah jati diri serta kepercayaan diri.
Supaya bangsa kita bisa berlari kencang, peran elite sangat penting dalam mengubah paradigma dan kerangka pikir politik kepentingan menjadi politik kebangsaan. Politik kita harus produktif: tak boleh defisit, membuang kesempatan, dan terjebak pada praktik sekadar pemburu rente.
Turun mesin, siap tanding
Sesungguhnya kita punya kesempatan emas turun mesin, menata sistem secara efektif, agar lebih siap tanding. Itulah awal era reformasi. Memang sistem telah berjalan dan itu pun masih bisa diperbaiki. Butuh proses yang tidak sepele, terutama apabila sudah menyangkut konsensus antar-kekuatan politiknya. Konsensus yang ada masih belum sepenuhnya mampu membangun cetak biru sistem kebijakan yang berkualitas. Ibarat pelajar mengerjakan soal ujian, jawabannya masih banyak yang tidak tepat.
Fase itu seharusnya dilewati dengan baik. Namun, perlu dicatat bahwa kenyataannya: bangunan sistem kita masih rapuh dan kuyup konflik. Selama urusan politik dan persatuan masih membelenggu, kita seperti belum berkutat memperbaiki mesin kendaraan yang aus dan bermasalah. Kita masih berhenti kalau bukan jalan di tempat. Padahal, dunia sudah tantang kita berlari kencang.
Penggambaran ini terasa agak ekstrem. Namun, kalaupun kita merasakan perkembangan, sepertinya kita masih berlari-lari kecil saja. Kita perlu berlari, terus berlari, semakin kencang dan melampaui jargon ”Kita pasti bisa”.
M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional
Dalam kompetisi global antarbangsa, khususnya dalam bidang ekonomi, realitas yang ada sering digambarkan sebagai pertandingan olahraga lari. Ada lari jarak pendek, menengah, dan jauh. Bangsa yang kuat dan lincah mampu berlari stabil dan memicu percepatan. Bangsa yang banyak masalah seperti pelari yang cepat lemas, berkunang-kunang, tidak percaya diri, dan selalu tertinggal di belakang.
Soal filsafat orang berlari ini dapat ditemukan dalam novel Haruki Murakami, When I Talk About When I Talk About Running (2008). Murakami tertarik pada pertanyaan apa mantra atau doa khusus bagi seorang pelari sehingga ia bisa jadi juara. Tidak ada! Yang ada bagi seorang pelari pain is inevitable, suffering is optional. Bersakit-sakit tak terhindarkan, menderita itu biasa. Itulah disiplin yang ditunjukkan dengan tiada hari tanpa latihan.
Saya menikmati novel itu sebagai sebuah motivasi hidup, bahkan juga bagi sebuah bangsa. Hidup kita seperti orang yang berlari. Kita mesti bergerak karena seorang pelari selalu bergerak. Pelari yang tak bergerak berarti mati. Bergerak itu berikhtiar. Tak seorang pelari pun juara secara kebetulan. Tak ada perwujudan obsesi secara instan.
Tentu saja kita berasumsi bahwa perlombaan lari itu berjalan secara wajar. Permulaan lari harus sama. Perangkat yang dipakai sama. Para pelari tidak boleh memakai obat perangsang. Namun, realitasnya tidak sepenuhnya demikian. Ada bangsa yang posisi permulaannya jauh di depan, ada pula bangsa yang sama sekali belum siap. Namun, kompetisi pasar bebas tidak dapat ditunda dalam praktik. Perlombaan lari pun telah dan terus berlangsung.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah bangsa yang terus berproses. Ia bangsa yang hadir dari letupan sejarah nasionalisme antikolonial. Ketika lahir, ia mewarisi segudang masalah yang ditinggalkan bangsa penjajahnya. Di antara masalah yang kompleks itu, kalau mau ditarik ke yang agak inti terkait dengan konteks kerangka pikir, mentalitas, dan etos kedisiplinannya: kita memiliki warisan mentalitas bangsa terjajah di tengah kondisi alam relatif nyaman dan kurang direspons dengan etos kerja.
Sesungguhnya banyak yang mengagumi nasionalisme Indonesia. Dari titik ini kehadiran Indonesia sangat otentik sebagai bangsa yang melahirkan dirinya sendiri, yang penuh semangat dan potensial. Hanya saja, potensi-potensi itu masih banyak yang belum menjadi aktus justru antara lain oleh hal-hal yang menjebak dirinya. Banyak hal yang masih tersia-siakan. Bahkan, sebagaimana ditulis seorang pengamat ekonomi, kita masih sangat suka dengan ”seni membuang kesempatan”. Ironis memang, seperti pula yang dikatakan seorang budayawan, kita suka menjadi ”gelandangan di rumah sendiri”.
Kalau ada orang yang mengecam keras bangsanya sendiri, maka janganlah segera dituduh antinasionalisme. Kita memang sedang butuh cambuk dari dalam. Tak perlulah cambuk itu Tjamboek Berdoeri sebagaimana judul buku Kwee Thiam Tjing. Cukup cambuk yang keras agar kita semakin disiplin. Semangat keswadayaan dari masyarakat sipil perlu ditangkap positif oleh pemerintah dan elite-elite politik bukan dalam kerangka politisasi, tetapi keikhlasan membangun bangsa.
Praktik pragmatisme-transaksional yang berkembang di dunia politik, ekonomi, hukum, bahkan sosial-budaya tentu tidak membuat kita semakin produktif. Kita terlena pada kemeriahan dan bertengkar demi simbol-simbol, tetapi lupa substansi dan orientasi perkuat daya saing bangsa. Politik kita seharusnya sudah melewati simbol, politik kebangsaan. Ekonomi kita harus didukung secara prima agar kaki dan tangan tak terikat sehingga bisa berjalan dan berlari kencang. Bukan mandek atau jalan di tempat. Penegakan hukum demikian pula: harus progresif.
Memotivasi diri
Tidak ada bangsa yang bangkit tanpa adanya motivasi yang kuat untuk bangkit. Motivasi itu terutama harus datang dari pemimpin. Rakyat tak cukup dapat memotivasi diri. Pemimpin itu membuat yang dipimpin bergairah dan bergerak. Memang tidak mudah menjadi pemimpin bagi bangsa yang terlalu kompleks permasalahannya, yang beban-bebannya perlu diurai satu per satu.
Retorika perlu, tetapi tidak cukup. Pemimpin yang wajar tahu seberapa perlunya retorika. Bahkan, untuk kepentingan yang lebih besar, pemimpin harus berani menentang arus. Itu sebabnya, pemimpin tak harus berorientasi pada popularitas. Apakah dinamika politik kita, mengingat pemimpin bangsa hadir melalui jalur politik, kondusif untuk itu? Belum sepenuhnya demikian.
Optimisme semestinya tak berhenti di tingkat retorika. Namun, harus tampak dalam aksi nyata dan tak dibuat-buat alias otentik. Otentisitas inilah yang kian langka di tengah gemuruh praktik demokrasi elektoral. Akumulasi ketidakotentikan atau kamuflase politik memperparah dan memperlemah jati diri serta kepercayaan diri.
Supaya bangsa kita bisa berlari kencang, peran elite sangat penting dalam mengubah paradigma dan kerangka pikir politik kepentingan menjadi politik kebangsaan. Politik kita harus produktif: tak boleh defisit, membuang kesempatan, dan terjebak pada praktik sekadar pemburu rente.
Turun mesin, siap tanding
Sesungguhnya kita punya kesempatan emas turun mesin, menata sistem secara efektif, agar lebih siap tanding. Itulah awal era reformasi. Memang sistem telah berjalan dan itu pun masih bisa diperbaiki. Butuh proses yang tidak sepele, terutama apabila sudah menyangkut konsensus antar-kekuatan politiknya. Konsensus yang ada masih belum sepenuhnya mampu membangun cetak biru sistem kebijakan yang berkualitas. Ibarat pelajar mengerjakan soal ujian, jawabannya masih banyak yang tidak tepat.
Fase itu seharusnya dilewati dengan baik. Namun, perlu dicatat bahwa kenyataannya: bangunan sistem kita masih rapuh dan kuyup konflik. Selama urusan politik dan persatuan masih membelenggu, kita seperti belum berkutat memperbaiki mesin kendaraan yang aus dan bermasalah. Kita masih berhenti kalau bukan jalan di tempat. Padahal, dunia sudah tantang kita berlari kencang.
Penggambaran ini terasa agak ekstrem. Namun, kalaupun kita merasakan perkembangan, sepertinya kita masih berlari-lari kecil saja. Kita perlu berlari, terus berlari, semakin kencang dan melampaui jargon ”Kita pasti bisa”.
M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional
Sumber: Kompas, Rabu, 29 Desember 2010
No comments:
Post a Comment