-- Ardus M Sawega
APA yang hendak dicapai dari sebuah pameran seni rupa oleh ”nonperupa” yang selama ini lebih dikenal publik sebagai seniman atau intelektual? Mengundang kagum, sensasi, sekadar ramai-ramai atau lucu-lucuan? Lepas dari berbagai prasangka itu, kurator pameran seni rupa ”Sisi Lain” yang digelar di Galeri ISI Surakarta, 27 November-11 Desember 2010, punya argumentasi konkret mengapa 25 pesohor itu diboyong dalam satu pameran bersama.
Sederet nama berikut ini pasti dikenal bukan sebagai perupa. Sam Bimbo dan Leo Kristi, misalnya, selama ini lebih beken sebagai pemusik. Kalau Sam menjadi legenda di kancah musik pop, Leo adalah legenda penyanyi balada yang lagu-lagunya menggugah semangat cinta Tanah Air. Di luar urusan musik, Samsudin Dajat Hardjakusumah (68) adalah pelukis yang beberapa kali berpameran tunggal, apalagi dia menyandang gelar sarjana dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Adapun Leo Kristi (61) sejak muda menekuni seni lukis ketika kata-kata dan lirik lagu tak cukup menampung kegundahan batinnya. Dalam pameran ini, tiga karyanya dalam gaya abstrak-ekspresionistik memperlihatkan penguasaan teknis yang sempurna.
Di sini, orang boleh heran mendapati lukisan karya Putu Wijaya karena ia lebih dikenal sebagai sastrawan dan dramawan. Begitu pula pada Butet Kartaredjasa yang tersohor sebagai aktor yang luwes, baik di panggung maupun di film dan televisi. Padahal, ia pernah kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta. Karya-karya visualnya dengan tema satwa dan lingkungan menunjukkan jejak pendidikannya itu.
Jejak serupa kita temukan pada Djaduk Ferianto, adik Butet, yang dikenal sebagai pemusik kreatif. Juga Gotot Prakoso, kini pengajar di Institut Kesenian Jakarta, yang pernah mengenyam pendidikan di SMSR Yogyakarta.
Sedikit beda pada Lini Natalia Widhiasi, kini 46 tahun dan berprofesi sebagai psikolog. Orang sayup-sayup mengingatnya di tahun 1970-an sebagai ”pelukis cilik ajaib” yang sempat digadang-gadang oleh maestro Affandi. Pada karyanya, ”Hutan”, Lini masih memperlihatkan kekuatan drawing sekaligus imajinasinya yang absurd.
Multitalenta
Pameran ”Sisi Lain” berpretensi mengungkap potensi atau talenta yang dimiliki para budayawan dan intelektual di luar profesinya yang selama ini diketahui publik. Karya-karya visual mereka ini menjadi petunjuk akan eksistensi manusia yang multidimensi. Dimensi-dimensi itu sering kali ’terabaikan’ ketika hidup hanya mengenal identitas tunggal, terlebih pada zaman modern yang menuntut spesialisasi ini.
Menurut Mudji Sutrisno, manusia ada kalanya memerlukan ruang batin (inner space) untuk merenungkan dirinya sebagai sosok multidimensi. ”Tuhan mencipta manusia sebagai makhluk multidimensi,” ujarnya.
Kurator pameran, I Gusti Nengah Nurata, menjelaskan, banyak di antara seniman, budayawan, dan intelektual kita diam-diam menyimpan talenta di luar profesinya. Pilihan terhadap mereka untuk mengikuti pameran, katanya, bukan dinilai dari karyanya semata.
”Spirit yang ada pada Putu Wijaya, Suprapto Suryodarmo, Samar Gantang, Sam Bimbo, Wayan Sadra, KH Fuad, dan lain-lain dalam proses berkarya itulah yang utama. Itulah yang membedakan mereka dengan karya-karya seni rupa umumnya,” kata Nurata.
Estetika Nusantara
Ibarat menjelajah di belantara taman sari, pameran seni rupa lintas profesi ini menyuguhkan karya-karya nonperupa (profesional) yang kadang menimbulkan sensasi. Bahasa ungkap mereka otentik walau secara umum bisa digolongkan sebagai seni rupa modern. Ini bisa dipahami mengingat mereka adalah kaum terpelajar yang berkiprah dalam persoalan kekinian, tetapi beberapa amat menguasai teknik seni lukis modern.
Itu tercermin pada karya Tommy F Awuy yang sehari-hari pengajar filsafat. Pada ”Exit Permit”, ia secara subtil melukiskan bumi yang chaos, bahkan katastrop berupa pemanasan global, krisis ekonomi, politik, dan kekerasan fisik di mana-mana. Atau pada Restu Iman Sari yang lebih dikenal sebagai penari dan ahli lanskap.
Bahasa visual yang dipengaruhi tradisi dan kosmologi Hindu-Bali kita temukan pada drawing karya Samar Gantang yang dikenal sebagai penyair, serta komponis Wayan Sadra. Adapun Suprapto Suryodarmo (65) menggabungkan antara seni visual dan gerak meditasi dalam ”Sesaji Ruang Rupa”.
Nurata juga berpendapat, sekaranglah saatnya mengedepankan konsep estetika Nusantara. Ini mengingat kebudayaan Nusantara amat kaya, sedangkan penghayatan masyarakat akan nilai-nilai serta filosofi budayanya dilakukan secara khas. Sebagai contoh, Nurata menyebut sejumlah seniman Bali yang multitalenta di masa lampau, seperti I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Made Nadra, Anak Agung Gede Sobrat, dan sebagainya.
”Mereka itu ada yang menonjol sebagai pelukis atau pematung, penari, pengrawit, arsitek, spiritualis, dan sastrawan sekaligus, tetapi sehari-hari mereka juga petani di sawah,” katanya.
(Ardus M Sawega, Wartawan di Solo)
Sumber: Kompas, Minggu, 12 Desember 2010
No comments:
Post a Comment