REVOLUSI teknologi digital membawa perubahan pada hampir semua aspek kehidupan kita. Bahkan, orang Jepang yang ingin makan rendang Padang tinggal kirim ”e-mail” ke penjualnya. Dan, rendang pun ”datang sendiri” ke rumahnya. Budi Suwarna dan Sarie Febriane
Mbok Idem (40) tampak sangat sibuk. Tangannya gesit membungkus cabai, ujung bahu dan pipinya menjepit telepon genggam. Sambil melayani pembeli yang datang langsung berbelanja di lapak sayurnya, Idem menerima pesanan ikan patin segar lewat telepon. ”Ada lagi yang mau dipesan?” ujarnya kepada pelanggannya di ujung telepon, Rabu (22/12).
Saat ada sela, Idem bergegas mengantar ikan patin pesanan itu ke rumah pelanggannya dengan sepeda motor. Dalam dua jam, pedagang sayur yang mangkal di Kompleks Pondok Hijau, Ciputat, itu bisa bolak-balik lima kali mengantar pesanan.
Jasa pesan-antar dilakoni Idem sejak enam tahun lalu. Semua mengalir begitu saja tanpa rencana. Awalnya hanya 1-2 pelanggan yang memesan sayur-mayur via telepon, lama-lama jadi banyak. Idem pun mafhum, zaman telah berubah. ”Sekarang orang beli cabai sebungkus saja lewat telepon, tapi saya siap mengantar.”
Verni Dian Hidayanty (28) juga memanfaatkan teknologi komunikasi untuk berjualan. Sejak tahun yang lalu dia menjajakan rendang padang bermerek ”Uni Erieza” melalui internet. Pembeli tinggal memesan melalui e-mail, Facebook, atau telepon. Pesanan akan diantar kurir. Dengan cara itu, rendang buatan Verni bisa dinikmati pembeli di Jabodetabek, Yogyakarta, Kalimantan, bahkan hingga Jepang.
Selain Verni, ada jutaan orang yang memanfaatkan internet untuk jualan, mulai dari terasi, RBT, sampai mobil Mercy. Bahkan, jasa yang terdengar tak lazim pun ditawarkan. Salah satunya adalah layanan menjemput barang tertinggal. Febri (34) pernah memanfaatkan jasa yang disediakan situs ”Asistenpribadi” itu enam tahun lalu. Ketika itu, surat cuti yang harus dia serahkan kepada pimpinannya di kantor tertinggal di rumah. Dia segera menelepon pengelola ”Asistenpribadi” dan petugas situs mengambil surat tersebut ke rumah Febri di Cinere. Febri tinggal membayar jasa layanan dan persoalan pun beres.
Jadi, apa yang tidak bisa dilakukan di era ketika ruang dan waktu bisa dimampatkan oleh teknologi? Semua orang, asal terhubung dengan dunia digital, punya akses yang sama untuk berlomba dalam percepatan penetrasi pasar global. Polanya mungkin sama dengan telemarketing atau teleshoping yang digunakan para kapitalis tulen dalam merebut pasar global.
Bertetangga secara aneh
Begitulah, di era serba digital ini, cara orang mengonsumsi, memproduksi, dan berjualan telah berubah secara radikal. Tidak hanya itu, pola relasi sosial ikut berubah. Pada zaman ini, orang kian intim bergaul lewat jejaring sosial. Mereka berbagi informasi, curhat, atau hasrat melalui Twitter atau Facebook, bahkan dengan orang yang belum tentu mereka kenal. Ajaibnya, mereka merasa sangat dekat dan akrab.
Tony, warga Cipinang, bercerita, dia berkomunikasi intens dengan seorang artis terkenal meski tidak pernah bertemu secara fisik. Ketika pertemuan fisik terjadi, Tony dan artis itu langsung akrab seperti sudah lama sekali berteman.
Tidak hanya pertemanan, solidaritas massal pun bisa digerakkan secara sporadis lewat Twitter, Facebook, dan blog pribadi. Ini antara lain dilakukan Dian Paramita (22), mahasiswa UGM. Dua bulan lalu dia mengetuk hati para pengguna media sosial untuk menyumbangkan dana bagi korban letusan Merapi. Pesan itu langsung disambut. Dalam beberapa jam, dana jutaan rupiah pun mengalir dari para dermawan yang sebagian tidak dikenalnya.
Sampai sekarang Dian terheran-heran bagaimana pesan yang dia kirim melalui media sosial ternyata bisa menggerakkan empati banyak orang. ”Awalnya saya hanya iseng kirim pesan, barangkali ada orang yang mau bantu korban Merapi. Ternyata responsnya besar sekali,” ujarnya.
Meski begitu, era digital juga memperlihatkan sejumlah paradoks. Ketika hubungan antarmanusia serba difasilitasi media, orang bisa teralienasi dari kehidupan nyata. Putri (28), warga Legoso, Ciputat, menceritakan, betapa hubungan dengan tetangga dekatnya terasa agak aneh. Dia tahu apa yang dilakukan seorang tetangganya melalui Facebook. Dia berbincang akrab melalui bilik ngobrol Facebook atau SMS. Tapi, sejak tiga bulan lalu, Putri tidak pernah bertemu dengannya secara fisik.
Masyarakat ”cyber”
Yanuar Nugroho, dosen Manchester Business School The University of Manchester yang sedang meneliti media sosial di Indonesia, melihat, masyarakat Indonesia telah bergeser ke masyarakat cyber. Jumlah mereka pun sangat besar.
Pengguna telepon seluler di Indonesia sekitar 120 juta orang, atau setengah dari jumlah penduduk. Pengguna internet 30 juta (Internet World Stats, 2010). Dari jumlah itu, 20,8 persen di antaranya nge-twitt (ComScore, 2010). Sementara itu, pengguna Facebook sekitar 32 juta (Check Facebook, 2010). Nomor dua setelah AS.
Mereka ini—bersama masyarakat cyber di negara lain—setiap hari ikut berlomba mengisi ruang-ruang virtual dengan berbagai keperluan, mulai dari jualan terasi, menghimpun solidaritas, kampanye, memupuk pencitraan, berkomunitas, hingga sekadar iseng kurang kerjaan.
Persoalannya, kata Yanuar, masyarakat cyber Indonesia masih sebatas konsumen informasi dalam kontestasi mewarnai ruang virtual itu. ”Padahal, kalau kita konsumen informasi sudah pasti kita konsumen goods (barang-barang).”
(CAN)
Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment