Sunday, December 26, 2010

[Kehidupan] Sastra Digital: Kembali pada Komunalitas

KEHADIRAN teknologi digital sejak penemuan komputer, lalu diikuti gadget dengan tingkat mobilitas tinggi, telah menyeret dunia kreativitas seperti sastra. Lahirlah komunitas-komunitas sastra, seperti sastra cyber, fiksimini, cerfet, dan puisikita atau tulisan-tulisan dalam blog personal.

Fiksimini dan cerfet (cerita estafet) yang lahir dalam akun Twitter menjelma menjadi komunitas dalam dunia virtual dengan ciri-ciri yang unik. Akun @fiksimini yang digagas sastrawan Agus Noor, Eka Kurniawan, dan Clara Ng, sampai Selasa (21/12) telah memiliki followers (pengikut) 52.712. Padahal, akun ini baru diluncurkan 18 Maret 2010. ”Dalam sehari kami menerima tak kurang dari 3.000 fiksimini,” tutur Clara Ng.

Sementara akun @cerfet yang digagas penulis dan web designer Zeventina Oktaviani sejak 12 September 2010 memiliki 413 followers. Cerfet memiliki karakter yang khas karena kisah-kisah ditulis secara estafet oleh para pemilik akun yang menjadi followers, dengan sebelumnya ikut dalam antrean. ”Justru karena antrean itu cerfet, jadi begitu menegangkan karena kita tidak tahu apa yang bakal ditulis pemilik akun sebelumnya,” tutur Zeventina.

Hal yang menarik juga, semua karya cerfet dalam seketika bisa diakses dalam situs web: http://www.cerfet.zeventina.com, yang dikelola langsung oleh Zeventina. ”Bagi peserta yang telat mengikuti bisa langsung baca kisah sebelumnya di web,” ujar Zeventina.

Para pengelola fiksimini sendiri memosisikan diri sebagai seorang editor. Karya-karya yang masuk akan diseleksi oleh editor untuk kemudian di-RT (retweet) kepada semua followers. Tidak mudah meyakinkan editor agar karya fiksimini di-RT lantaran begitu banyaknya karya yang masuk.

Satu ciri dasar karya-karya dalam media cyber, ia dikerjakan dalam segala aktivitas dan bisa seketika dari berbagai lokasi (kota). Semua followers dipersatukan menjadi komunitas fiksimini atau cerfet tanpa sebelumnya harus saling mengenal. Tetapi, perkenalan virtual itu telah menghasilkan karya-karya, yang menurut Ketua Kelompok Keahlian Ilmu-ilmu Desain dan Budaya Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), Yasraf A Piliang, sebagai karya komunal.

”Sifat sastra cyber itu seperti kembali kepada sastra lisan. Komunal, karena merupakan kerja komunitas, bisa ditambah bisa dikurangi,” kata Yasraf. Oleh sebab itu, ia agak sulit memasukkannya dalam genre sastra. Sebab, ”Pengertian sastra itu berasal dari literasi, karya-karya fisik, ada tulisan, ada buku, dan ada hak cipta dari pengarangnya,” ujarnya.

Lepas dari itu semua, fenomena gaya hidup yang diembuskan teknologi telah memasuki relung-relung dunia sastra. Para penulis sastra dalam Twitter sangat berbeda dengan komunitas sastra era 1970-an, misalnya. Selain berasal dari beragam profesi, sifat teknologi digital yang borderless memungkinkan sastra dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. Karakter ini akan mencairkan pembedaan antara sastra serius dan sastra populer.

(CAN)

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

No comments: