-- Indra Tranggono
MENDADAK demokrasi prosedural hendak ”menceraikan” Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Republik Indonesia.
Ini terjadi terkait pernyataan bahwa sistem monarki yang melekat pada Pemerintah DIY bertentangan dengan demokrasi. Pernyataan itu mendudukkan DIY sebagai ”terdakwa”: anomali di tengah demokrasi.
Jika tidak mengidap amnesia sejarah, Pemerintah Indonesia pasti paham bahwa negara tidak mungkin lahir jika tidak ada perjuangan rakyat dan para pemimpin lokal, termasuk dari Yogyakarta. Kepemimpinan Raja Yogyakarta Sultan HB IX, secara signifikan, telah ikut menghadirkan sosok negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Ini artinya: Yogyakarta adalah salah satu rahim penting atas kelahiran Indonesia.
Amnesia sejarah
Jika Indonesia yang tumbuh menjadi negara modern bercorak republik memberikan status keistimewaan kepada Yogyakarta, maka hal itu merupakan keharusan sejarah: Presiden Soekarno adalah sosok yang tahu membalas budi kepada Yogyakarta.
Soekarno tidak ingin mendidik bangsa bersikap ahistoris atau memelihara amnesia. Soekarno tahu sangkan paraning dumadi (asal-usul keberadaan). Sikap apresiatif itu membuahkan status keistimewaan dan wewenang: raja Yogyakarta dan adipati dari Kadipaten Pakualaman memimpin Provinsi DIY.
Dalam praktik tata kelola kekuasaan era Soekarno, antara Indonesia dan Yogyakarta berlangsung harmonis. Begitu juga dalam era Orde Baru, meski dalam perkembangannya muncul gejolak-gejolak kecil akibat perbedaan politik antara Hamengku Buwono IX dan Soeharto. Harmoni kembali mulus pada pemerintahan Megawati dan Abdurrahman Wahid.
Pemerintahan SBY mendadak merasakan Yogyakarta sebagai klilip atau duri demokrasi. Pemerintah DIY—yang berbasis penetapan gubernur dan wakilnya—pun hendak dilenyapkan dan digantikan dengan sistem pemilihan langsung. Karakter budaya kepemimpinan DIY yang melekat pada Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam pun hendak dilucuti.
Dengan melucuti keistimewaan DIY, terutama dengan menerapkan sistem pemilihan gubernur dan wakilnya, pemerintah pusat ingin mewujudkan agenda politiknya: DIY menjadi daerah terbuka sekaligus pasar bebas politik tanpa sekat feodalisme. Akibat yang diharapkan adalah lenyapnya kepemimpinan kultural yang berbasis pada akar tradisi. Gubernur dan wakil gubernur bisa datang dari mana saja dan bisa siapa saja, asal memiliki kekuatan modal uang dan lobi politik. Tidak penting apakah mereka paham atau tidak atas soal-soal kebudayaan.
Tragedi demokrasi liberal
Demokrasi liberal, yang kini menentukan detak jantung negara-bangsa, identik dengan uang. Padahal uang—seperti dinyatakan Sophocles, penulis drama tragedi Yunani—merupakan hasil kebudayaan yang paling buruk. Uang mereduksi manusia menjadi alat kepentingan sesaat. Uang pun memiliki daya linuwih menciptakan dehumanisasi dan dekulturalisasi, dua praktik penghancur peradaban manusia.
Tragedi demokrasi liberal— antara lain melalui pemilihan langsung—telah kita rasakan bersama. Konflik horizontal rentan tersulut. Pilkada-pilkada menjelma menjadi arena para gladiator politik tanpa sikap kesatria.
Demokrasi liberal terbukti menjauhkan pemimpin dari rakyatnya, karena pemimpin merasa telah ”membeli” jabatan melalui politik uang. Rakyat diapresiasi haknya hanya saat pemilu, sesudah itu mereka dilupakan. Ini menambah dosis kelenyapan peran negara atas rakyat.
Demokrasi liberal—yang tanpa diimbangi pendidikan politik atas rakyat—tidak mengenal kearifan kolektif karena hanya mengandalkan ukuran kuantitas. Padahal, tidak semua persoalan bangsa bisa diselesaikan dengan mayoritas suara. Tanpa kearifan, mayoritas berpotensi menjadi diktator. Dalam konteks ini, kita semakin kehilangan makna ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Demokrasi yang dibangun di negeri ini telah kehilangan empati atas nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini punya peran penting dalam membangun sosok negara/bangsa Indonesia. Atas nama pragmatisme politik dan kekuasaan kapital, berbagai nilai kearifan lokal (hendak) dilenyapkan. Pelenyapan ini berujung pula pada pelenyapan karakter dan bangsa ini semakin tumbuh dalam penyeragaman dari gaya hidup sampai ide. Tragisnya, penyeragaman bermuara pada konsumtivisme.
Maka, untuk menyelamatkan Indonesia dari ”kodrat kapital” yang mencetak bangsa ini menjadi bangsa konsumen, salah satunya dengan menghidupkan berbagai kekayaan kearifan lokal. Ini termasuk dalam soal kepemimpinan. Kita justru semakin banyak membutuhkan kepemimpinan kultural semacam yang ada di Yogyakarta, bukan malah melenyapkannya atas nama demokrasi liberal, demokrasi uang!
Indra Tranggono, Pemerhati Budaya; Anggota Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa
Sumber: Kompas, Kamis, 2 Desember 2010
No comments:
Post a Comment