-- Budiawan
• Judul: Ceritalah Indonesia
• Penulis: Karim Raslan
• Penerjemah: Rizal Iwan
• Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
• Cetakan: I, September 2010
• Tebal: xxi + 135 halaman
• ISBN: 978-979-91-0276-8
KETIKA kita jengah dengan apa yang kita alami sekaligus menginginkan perubahan, kita cenderung melihat apa yang dialami orang lain dengan kacamata positif. ”Rumput tetangga kelihatan lebih hijau”, kata sebuah ungkapan klasik.
Sebaliknya, ketika kita ingin memastikan bahwa diri kita hebat dan karena itu tidak menginginkan perubahan, kita cenderung melihat apa yang dialami orang lain dengan kacamata negatif. Dalam kasus yang pertama, pihak lain kita tempatkan sebagai proyeksi apa yang kita inginkan terjadi pada diri kita, sedangkan dalam kasus kedua, pihak lain kita tempatkan sebagai proyeksi apa yang tidak kita inginkan pada diri kita.
Proyeksi apa yang tersimpulkan dalam buku kumpulan esai tentang Indonesia karya kolumnis terkemuka Malaysia ini? Apakah buku ini ditulis dengan kacamata pandang pertama atau kedua, atau melampaui keduanya?, atau di antara keduanya?
Satu hal jelas bahwa esai-esai ini ditulis dengan suatu motif utama: ”saya tertarik pada Indonesia, dan berharap dengan itu saya akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang negara yang membesarkan saya” (hal. xxi). Jadi, Karim menempatkan Indonesia sebagai semacam cermin pembanding untuk melihat kekurangan dan kelebihan ”diri” Malaysia. Dari sini dapat dikatakan bahwa Karim tidak terjebak ke dalam salah satu sudut pandang ekstrem di atas. Dia tidak terjebak ke dalam sudut pandang ”rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau”, atau sebaliknya ”rumput sendirilah yang kelihatan lebih hijau”. Ia tidak terjebak ke dalam pilihan either/ or, tetapi mencoba melampaui keduanya meskipun beberapa esai condong dekat ke kacamata pertama. Akan tetapi, beberapa esai Karim juga melontarkan sejumlah kritik untuk Indonesia tanpa bermaksud mengunggulkan Malaysia. Bahkan lebih dari itu, dia juga berharap ada upaya untuk saling belajar antara Indonesia dan Malaysia sehingga dapat ”bergerak maju bersama” (hal. xxi).
Kejengahan penulis
Sebagai contoh bagaimana sudut pandang Karim condong ke kacamata pertama, antara lain bisa dibaca dalam esai ”Demokrasi dalam Praktiknya” (hal. 80-83). Di sini Karim mengangkat kasus kontroversi penahanan (yang kemudian diikuti pembebasan beberapa hari sesudahnya) dua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Fokus perhatian Karim bukan kasusnya itu sendiri, melainkan reaksi khalayak yang begitu responsif dan cepat tersebar luas berkat adanya kebebasan dan keterbukaan pers, serta semakin populernya teknologi informasi baru internet. Tentang hal yang disebut terdahulu, ia melihatnya sebagai buah Reformasi, yang ”telah menyebabkan terbukanya kotak pandora, yang tidak mungkin bisa tertutup kembali, dan ini merupakan bukti kekuatan karakter sebuah Republik” (cetak miring, tambahan saya). Saya membaca kalimat terakhir itu sebagai kejengahan Karim terhadap struktur sosial-politik di dalam negeri Malaysia sendiri, yang mewarisi feodalisme kesultanan yang dulu dilindungi dan bahkan dipupuk penguasa kolonial Inggris, sedemikian rupa sehingga apa yang disebut ”ruang publik” nyaris tidak ada.
Kejengahan serupa juga bisa dibaca dalam esai ”Hikayat Dua Bangsa Melayu” (hal. 114-117). Dalam esai ini Karim menulis tentang perbedaan mendasar tentang konsep ”Melayu” (dan ”etnisitas”) di antara Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia, konsep ”Melayu” berkonotasi politik, terkait langsung dengan hak dan kewajiban warga negara Malaysia yang dikategorikan ”Melayu”, sekaligus membentuk dan memapankan persepsi mereka terhadap warga negara Malaysia lain ”non-Melayu”. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bagaimana ”etnisitas” didefinisikan secara politis, sedemikian rupa sehingga perbedaan ”etnis” dibentengi oleh negara dan direproduksi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu sangat berbeda dengan Indonesia. Tanpa ragu-ragu Karim berpendapat bahwa ”Dari sudut pandang ras, Indonesia lebih terbuka, bahkan merupakan tempat yang sangat menyenangkan, terutama bagi orang Malaysia seperti saya yang sudah dikondisikan memandang orang lain dengan membeda-bedakan budaya dan agama mereka. ... Orang-orang Indonesia lebih cair dalam hal ini. Perbedaan bukan sesuatu yang penting” (hal. 114).
Dalam kaitannya dengan definisi ke-”Melayu”-an yang di Malaysia sangat berkonotasi politis itu, Karim menganjurkan kepada orang Melayu Malaysia untuk ”membuka mata mereka dengan datang ke Indonesia dan sekadar menemukan bahwa komunitas mereka telah lama berakhir dalam pelajaran-pelajaran sejarah, menderita dan dikalahkan oleh orang-orang yang lebih dinamis dan ambisius” (hal. 117). Di sini saya membaca Karim tengah mengungkapkan kejengahannya terhadap chauvinisme di kalangan sebagian orang Melayu Malaysia, yang memandang diri mereka sebagai bagian dari sekaligus menempatkan diri sebagai berada di pusat ”Dunia Melayu” yang besar.
Saling memahami
Sebagaimana saya singgung di depan, beberapa esai ditulis untuk dibaca khalayak pembaca Indonesia. Apa yang dilihat Karim tentang Indonesia, ia kembalikan ke publik Indonesia sendiri. Karim menempatkan diri sebagai semacam konsultan. Misalnya, dalam esai ”Ubud sebagai Notting Hill?” (hal. 92-95), ia berkomentar tentang pembuatan film Eat, Pray, Love yang dibintangi Julia Roberts di Bali. Karim mengagumi pesona Bali, sekaligus mengkritik lemahnya berbagai hal yang langsung terkait dan menunjang pengembangan suatu industri wisata, seperti infrastruktur, mekanisme, dan kualitas pelayanan terhadap wisatawan asing, serta aspek lingkungan.
Pemosisian-diri serupa juga bisa dijumpai dalam esai ”Perdagangan yang Bebas dan Bergaya” (hal. 96-99). Dalam esai ini Karim menyarankan perlunya buat komunitas bisnis ataupun Pemerintah Indonesia untuk selalu memerhatikan standar internasional menyangkut kualitas produk yang hendak diperdagangkan. Sebab, dengan kualitas produk yang seperti itulah ”ada banyak pasar besar yang bisa ditaklukkan oleh orang-orang yang berani dan bertekad kuat” (hal. 99).
Karim menutup bukunya ini dengan sebuah esai yang berupaya menjembatani jurang-jurang perbedaan yang memisahkan antara Malaysia dan Indonesia. Jembatan itu berupa upaya saling memahami. Sebab, kesalingpahaman akan bisa membantu menetralisir setiap potensi konflik yang hendak muncul ke permukaan. Persoalannya, mungkinkah hal itu terwujud kalau pihak media massa Malaysia arus utama sebagai pembentuk opini publik yang paling dominan terus-menerus mengekspos segala karut-marut yang terjadi di Indonesia, sementara media massa Indonesia cenderung hanya mengekspos kasus tenaga kerja Indonesia atau tenaga kerja wanita di Malaysia yang menderita karena disiksa oleh majikanya atau dikejar-kejar polisi? Alih-alih saling memahami, bukankah politik pemberitaan semacam ini malah mengukuhkan sikap saling prasangka?
”Rumput tetangga memang tidak selalu lebih hijau”, tetapi ”rumput di pekarangan sendiri juga belum tentu lebih hijau”. Barangkali memang bukan membanding-bandingkan rumput mana yang lebih hijau, tetapi kejernihan pikiran melihat aneka warna rumput baik di pekarangan sendiri maupun di pekarangan tetangga yang lebih dibutuhkan agar dua tetangga satu kawasan bisa saling memahami. Buku ini minimal berniat ke arah itu.
Budiawan, Dosen Tidak Tetap Jurusan Sejarah, FIB-UGM
Sumber: Kompas, Jumat, 17 Desember 2010
No comments:
Post a Comment