Sunday, December 12, 2010

Dominasi Estetika

-- Beni Setia

SECARA sederhana, apa yang diributkan sebagai politik sastra itu (barangkali) cuma merujuk ke semacam manipulasi kuasa nonsastra untuk menegakkan otonomi sastra. Baik dengan memanfaatkan modal, dominasi, maupun pemaksaan kriteria sastrawi dengan ditunjang referensi yang luas untuk sekadar melakukan pengangkangan selera keredaksian media massa. Yang menyebabkan hadir sebuah model ekspresi, corak estetika, dan kriteria kebermutuan karya sastra dominan, yang diperkenalkan c.q. teks kritik dan paparan esai sehingga terbentuk preferensi redaksional seni budaya di media massa yang intoleran pada karya yang tak sesuai standar eksklusif tersebut.

Dengan dramatisasi, hal itu menyebabkan terbentuk isu telah terlahir satu model karya ideal, model ideal yang nyaris tidak mengizinkan hadirnya model ekspresi, corak estetika, serta kriteria kebermutuan karya yang berbeda. Yang diandaikan selalu operasional ketika terjadi praktik seleksi naskah di media massa yang dikuasai si pihak eksklusif ataupun penulisan kritik yang menegaskan karya sastra yang bisa ditoleransi sebagai teks yang sesuai kriteria sambil mengutip aneka referensi-dengan tak mengatakan apa-apa pada teks yang dianggap kurang bermutu dan (bahkan) tidak bermutu sama sekali.

Tindakan "menghalalkan cara" di dalam rangka memuliakan corak sastra alternatif -- sehingga tampil hampir menjadi corak sastra dominan pada masa kini. Hal yang bagi mereka sendiri tidak berlebih, meskipun bagi yang lain itu dianggap sangat berlebih, diskriminatif, bahkan. Hanya dianggap satu perayaan dari upaya penemuan atau terobosan eksperimentasi sastra -- terlepas dari hasilnya orisinal atau cuma pseudo, seperti yang orang Sunda artikulasikan sebagai, mikung, tetapi pembacaan efeknya di ruang publik menyarankan itu sebagai upaya sadar melakukan homogenisasi ekspresi dan estetika sastra mutakhir. Ihwal yang menyebabkan arah atau potensi perkembangan sastra ditelikung, terdominasi, bahkan diapresiasi sebagai telah terjadinya sakralisasi yang dilengkapi pemeo, menjadi seperti inilah atau diabaikan. Akan tetapi, siapa yang mengabaikan? Kenapa?

Kenyataannya, tidak ada pihak otoritatif yang benar-benar dominan dan amat berkuasa untuk mengabaikan yang tak sesuai dengan kriteria yang ditentukan mereka sendiri. Bagi saya, yang begitu tampaknya hanya bisa dibangkitkan oleh rekonstruksi pikiran biner yang mengandaikan bila lu bukan kawan ya gue lawan, tanpa nuansa. Karena suatu tindakan sepihak yang semena-mena menerapkan asumsi nilai eksklusif akan mengabaikan fenomena multinilai yang berserentakan hadir dan spontan minta dimaknai, yang juga aktif melakukan penilaian untuk mengukuhkan keberadaannya.

Tak mungkin bisa leluasa untuk sengaja meminggirkan yang tidak sesuai kriteria dan karenanya hanya pantas berada di level bawah standar atau malahan sama sekali tak memenuhi persyaratan minimal. Tindakan otoritarian yang sangat tak menghargai upaya menegakkan dan menghargai perbedaan. Itu tindakan tidak produktif yang melahirkan penentangan pada upaya mengandalkan power untuk menekan yang tak berdaya sebagai pihak inferior yang pantas dimarginalkan dalam tradisi kompetisi bebas neoliberal. Hegemoni semacam itu hanya kesimpulan orang yang berpikiran biner lu atau gua di tengah semangat multiestetika, selalu bisa dieksplorasi.

Yang mungkin terjadi adalah satu corak estetika tiba-tiba jadi sangat populer dan dianut banyak pihak sehingga menjelma menjadi trendsetter, sesuatu yang tidak bisa dimanipulasi karena menyangkut kesiapan apresiator karya yang ditawarkan.

**

DENGAN pola biner akan terbentuk asumsi sedang dan telah terjadi satu prosesi pembonsaian yang akhir-akhir ini suka diidentifikasi dalam termin "dominasi sastra", upaya sadar terencana memarginalkan corak dan genre sastra lain. Yang mendominasi kecenderungan redaksional lembaran sastra budaya media massa, baik secara fisikal kehadiran orang atau sekadar sugesti yang menata kecondongan preferensial pseudo konsensus tentang wujud teks bermutu dengan merujuk ke estetika sastra dominan yang menyebabkan redaktur media massa di luar lingkaran penunjang pun condong ke genre sastra dominan. Benarkah seburuk itu? Apakah memang tidak ada lagi alternatif untuk corak estetika sastra lain?

Jawabannya perlu dua pengandaian. Pertama, selama yang merasa dimarginalkan itu rindu ingin diakui pihak eksklusif, ia selalu tampak membenci, tetapi dengan harapan akan diakui-meski ia tetap menulis sesuai kriteria sastra dominan. Gugatan agresif yang diteriakkannya itu sekadar mempertanyakan kapan ya giliran saya projek "cari muka" sambil berakting gigih menggugat keabsahannya kriteria sastra dominan, sambil aktif agresif menunjukkan ke-mikung-an pihak yang kini sudah jadi si teridentifikasi sesuai kriteria. Ketermarginalan itu diapresiasi sebagai cobaan, modul tantangan sehingga ia terus aktif menulis sesuai dengan kriteria, sastra dominan tetap dijadikan anutan.

Kedua, ketika seseorang sudah tidak bergantung kepada kriteria sastra dominan, pada pengakuan penguasa sastra dominan, ia percaya kalau sastra dominan itu tidak akan bisa mendominasi dirinya. Sastra dominan hanya dianggap pengajuan satu corak sastra alternatif yang berada pada level bisa dipertimbangkan, tak perlu loyal diikuti. Hanya cakrawala kemungkinan untuk dieksplorasi. Oleh karenanya, ia tidak mungkin "mendewakannya" dengan menghilangkan segala corak sastra yang berbeda. Semua kemungkinan estetika sastra tetap dipertimbangkan karena akan membuatnya bebas melakukan eksplorasi bentuk ucap dan pilihan materi ungkap yang mendorong menulis dengan corak sastra yang diyakininya, lantas memublikasikannya ke media massa mana saja, bahkan ke media massa si penunjang sastra dominan.

Kenyataannya, di luar estetika dominan dan media massa penunjangnya itu masih banyak media massa yang kebijaksanaan redaksionalnya tetap otonom. Akan tetapi, apa pihak yang agresif melakukan penentangan kepada sastra dominan itu memahami keberadaan pihak yang mempunyai corak estetika serta objektivitas redaksional agar tidak berat sebelah yang selalu bersiteguh menjamin kehadiran yang multiestetika, yang berani menjaga netralitas dan terbuka kepada segala macam estetika? Akan tetapi, apa pihak yang merasa tergencet oleh estetika sastra dominan itu mau memanfaatkan itu untuk mengekspresikan eksplorasi kreatif sastra alternatif mereka?

**

ADA pihak yang tak nyaman dengan dominasi estetika, dengan dominasi sastra, meski tak semua media massa dan redaktur bekerja dengan skenario redaksional yang memihak, setidaknya itu asumsi yang diajukan pihak yang berhadapan biner dengan sastra dominan, meski ini merupakan penyederhanaan dengan rekonstruksi dialektika yang mimpi membangun dunia baru dengan melabrak sesuatu yang hadir sewajarnya. Meski, nyatanya, pertentangan biner itu hanya ada di tataran ilusi dan jadi logis dengan menghadirkan aneka teori sastra yang mampu mernghadirkan tataran skeptik, apa memang seperti itu ciri bermutu itu. Sesuai dengan kodrat kualitas sastrawi teks yang bisa diperdebatkan selama bisa cerdas memungut banyak argumen dan referensi.

Lewat polemik di tataran ide dengan esai-esai yang ditulis cerdas punya banyak rujukannya. Momentum yang memperkaya khazanah intelektual teori sastra. Meski di aspek praktis penulisan kreatif, di aspek manajemen energi kreatif yang menghasilkan puisi dan prosa, semua ide yang diperdebatkan itu nyaris tidak berguna. Karena upaya penciptaan karya kreatif itu selalu bergerak dalam langkah misterius, rancangan karya hanya kekal sebagai draf sementara prosesi aktualisasinya menjadi karya terkadang nyelonong mengingkari draf. Saman dan Larung Ayu Utami adalah bukti dari karya yang tak sesuai draf, tetapi sukses.

Bukti konkret dari aspek tragis Mikhail Salokov dan faktor ketidaksengajaan, bila mengutip rumusan Iwan Simatupang. Dengan kata lain, dominasi sastra itu hanya berada di tataran teori, selama apa yang direncanakan akan ditulis, tertera pada draf, dan termanifestasikan dengan tanpa banyak lanturan. Pada praktik penciptaan riil, hal itu tak mungkin terjadi sehingga karya yang tercipta sama sekali tak bergantung kepada ide sastra dominan, setidaknya bila penciptaan tidak mengikuti panduan teknik matematika tanpa kehadiran mood atau pengaruh bacaan dan peristiwa besar terkini.

Nyatanya, siapa saja bebas menulis secara bagaimana saja dan dengan tema apa saja, serta apa karya itu akan dimuat atau tidak dimuat, tidak bergantung pada preferensi redaktur atau kriteria sastra dominan. Pada dasarnya, keunikan orsinal dan pencapaian (level) kualitas karya itu sendiri yang menentukan nasibnya. Semua kreator itu leluasa bersikukuh memilih menulis apa dan secara bagaimana saja-isu dominasi sastra itu nyaris mitos yang diciptakan untuk menutupi keterpurukan kreatif. ***

Beni Setia, pengarang

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Desember 2010

No comments: