Sunday, December 12, 2010

[Kehidupan] Sejarah: Harapan Baru Setelah Timah

-- Ilham Khoiri

SEJAK abad ke-19 Masehi, Pulau Belitong didatangi banyak orang karena kandungan timahnya. Namun, ketika pamor bahan tambang ini kian merosot tahun 1990-an, kawasan di Bangka Belitung ini seakan ditelantarkan. Kini, lewat novel ”Laskar Pelangi,” muncul harapan baru.

Nama Belitong terkenal setelah Belanda mendirikan perusahaan pertambangan timah bernama Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton (GMB) tahun 1851. Perusahaan besar ini mendatangkan banyak pekerja dari berbagai kawasan di Nusantara, bahkan dari China. Mereka dikenal sebagai kuli kontrak.

Saderi (69), tokoh masyarakat di Gantong, Belitung Timur, menuturkan, kehidupan para pekerja itu dijamin perusahaan. Belanda memasok kebutuhan bahan pangan, sandang, dan papan mereka. Warga lokal yang tidak terkait pertambangan timah sulit mencicipi fasilitas itu.

Belitung kemudian menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan ketika Indonesia merdeka pada 1945. Perusahaan timah dikelola negara lewat PN Timah yang selanjutnya menjadi PT Timah Tbk. Hingga 1980-an, ketika pamor timah mentereng di dunia, kawasan ini masih diperhatikan.

Namun, pada pertengahan 1990-an, seiring dengan merosotnya harga timah dunia, pertambangan di Belitong ditutup. Pulau ini lantas seolah ditinggalkan begitu saja. Ketika penambangan liar mengeduk tanah di pulau itu sehingga bolong-bolong, kerusakan tersebut seperti didiamkan saja.

Kehidupan pulau tak banyak berubah meski kemudian berusaha mandiri sebagai Provinsi Bangka Belitung tahun 2000. Belitung dimekarkan menjadi Belitung (induk) dengan ibu kota Tanjung Pandan dan Belitung Timur dengan ibu kota Manggar. Kerusakan lingkungan akibat penambangan liar kian parah.

”Kami ketinggalan dalam pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur,” kata Saderi.

Berubah

Perhatian masyarakat terhadap Pulau Belitong mulai berubah saat terbit novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, warga asli Desa Linggang, Gantong, Belitung Timur. Novel ini menceritakan perjuangan sekelompok anak kampung di kawasan itu dalam memperoleh pendidikan di tengah kesulitan ekonomi dan fasilitas. Buku terbitan Bentang Pustaka tahun 2005 itu terjual hingga sekitar lima juta eksemplar di pasaran.

Sukses itu kemudian diperkuat novel-novel berikutnya, yaitu Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007), serta Maryamah Karpov (2009). Tiga novel itu lantas diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, masing-masing dengan judul Rainbow Troops, The Dreamer, dan Edensor. Artinya, ketiga karya tersebut telah menembus dunia.

”Kisah perjuangan anak-anak itu bisa jadi inspirasi bagi semua orang, tak terbatas negara,” kata John Colombo (25), penerjemah Edensor asal Amerika Serikat.

Laskar Pelangi kian meledak, terutama setelah diangkat ke layar lebar dengan sutradara Riri Riza pada 2008. Film produksi Miles Films dan Mizan Productions itu ditonton sekitar 4,6 juta orang dan menyabet penghargaan internasional. Salah satunya masuk dalam seksi panorama di Berlinale International Film Festival tahun 2009.

Film berikutnya, Sang Pemimpi (2009), juga ditonton 2,3 juta orang serta mendapat penghargaan festival internasional. ”Sambutan publik luar biasa. Mungkin karena ceritanya mengangkat lokalitas, tetapi problem pendidikan kan memang menjadi masalah universal,” kata Mira Lesmana, pemilik Miles Films. Kini, produser film ini sedang mempersiapkan ”Musikal Laskar Pelangi” yang bakal digelar di Jakarta, pertengahan Desember.

Sukses Laskar Pelangi melejitkan nama Belitong. Nama pulau kecil penghasil timah itu pun mencuat. Kunjungan wisatawan meningkat tajam. Mereka mendatangi situs-situs bekas shooting film, seperti sekolah Laskar Pelangi serta rumah Bu Muslimah (tokoh guru dalam novel itu). Mereka juga menikmati pesona pantai indah pulau itu, seperti Pantai Tanjung Tinggi dan Tanjung Kelayang—yang kebetulan juga menjadi lokasi shooting.

Semua itu memberikan efek ekonomi, terutama jasa transportasi, hotel, dan rumah makan. Lebih penting lagi, masyarakat setempat memaknai sukses Laskar Pelangi sebagai momentum untuk bangkit. ”Inilah saatnya masyarakat Belitong tidak lagi menggantungkan diri hanya kepada timah, tetapi kepada kreativitas seni budaya,” kata Ahmad (51), Kepala SD 28 Gantong.

Festival

Agar tren ini tak jadi momen sesaat, Andrea Hirata bersama tokoh-tokoh warga lokal menyelenggarakan Festival Laskar Pelangi yang direncanakan diadakan setiap tahun. Untuk tahun 2010, festival berlangsung selama November. Berbagai ekspresi seni budaya lokal ditampilkan, seperti tari, musik, dan seni pertunjukan.

Tak hanya memusat di panggung, berbagai kelompok masyarakat juga didorong untuk menyajikan ragam budaya dalam karnaval. Ada barongsai, seni lesung panjang, tari campak, beripat, sepen, pakaian adat, atau bahasa Melayu lokal. Sebagian seni pertunjukan tradisional itu kemudian dikolaborasikan dengan seni modern, seperti puisi atau musik jazz. Salah satunya, Aminoto Kosin, personel Karimata Band yang jaya pada 1980-an sampai 1990-an.

”Masyarakat sangat antusias. Mereka ingin sekali menghidupkan budaya sendiri yang sebenarnya mulai terkikis zaman,” kata Fakhrul Rizal, Kepala Desa Linggang sekaligus Direktur Festival Laskar Pelangi.

Panitia festival mengukuhkan Desa Linggang sebagai ”Desa Sastra”. Tak jelas betul bagaimana konsepnya, tetapi yang jelas salah satu jalan desa diberi nama Jalan Laskar Pelangi, beberapa yang lain dengan nama tokoh-tokoh sastra Indonesia. Dibangun pula rumah puisi Andrea Hirata untuk residensi seniman dari luar serta rumah baca Laskar Pelangi sebagai perpustakaan umum.

Andrea Hirata menuturkan, program desa sastra itu terinspirasi dari perjalanannya di Amerika Serikat beberapa waktu sebelumnya. Dia sempat mampir ke Hannibal di Missouri, Amerika Serikat. Kawasan itu dibangun dengan mengabadikan citra dua karya sastra terkenal Mark Twain (1835-1910), yaitu Adventures of Huckleberry Finn dan The Adventures of Tom Sawyer.

Gerakan serupa mungkin dapat dikembangkan di Desa Linggang, tempat lahirnya Laskar Pelangi. ”Kenapa tidak? Ini diharapkan bisa mendongkrak pariwisata dan ekonomi rakyat, sekaligus menjadi alternatif baru setelah era timah berakhir,” ungkap Andrea.

Sumber: Kompas, Minggu, 12 Desember 2010

No comments: