Thursday, April 21, 2011

[Buku] Dalam Dilema Kebebasan

-- Devie Rahmawati

Kompas/Raditya Helabumi

• Judul: Erich Fromm: Psikologi Sosial Materialis yang Humanis

• Pengarang: Nur Iman Subono

• Penerbit: Kepik Ungu

• Cetakan: I, 2010

• Tebal: 176 halaman

• ISBN: 978-602-95766-6-5

KEKEJIAN hanyalah topeng untuk menutupi segala kekecutan akan eksistensi yang rapuh, tak ada pijakan. Manusia berusaha mencari keamanan di bawah berbagai keberadaan besar yang terlihat lebih kokoh—entah rezim politik, ideologi, atau yang lainnya.

Manusia takut dilahirkan, keluar, atau terbebas dari rahim ibu yang selama ini melindunginya dengan total. Ia gamang dan takut dengan kebebasan yang diperolehnya, yang tak memberinya jaminan dan kepastian.

Begitulah deskripsi singkat pemikiran Erich Fromm yang amat terpengaruh filsafat eksistensialisme. Barangkali, sebelum membaca buku ini, kita tidak mengenal namanya, tetapi pada tahun 1980-an hingga 1990-an, buku-bukunya yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh LP3ES amat laris disantap. Pada masa itu, namanya hampir pasti dikenal oleh mereka yang bergiat di dunia intelektual dan aktivisme Indonesia.

Erich Fromm, seorang psikolog sosial keturunan Yahudi yang dilahirkan di Jerman, tumbuh di tengah-tengah situasi mengerikan: Perang Dunia I dan kondisi dunia politik Jerman yang berangsur-angsur dikuasai barisan Nazi yang kejam dan fanatik.

Fromm, dengan kata lain, dibesarkan oleh adegan-adegan manusia menghabisi manusia dengan sadis, tak berperasaan, bahkan penuh kebanggaan.

Dalam kehidupan eksil di AS, menghindari kebrutalan fasisme Jerman, ia menerbitkan karya pertamanya yang membuat namanya mulai dikenal, Escape from Freedom. Lucu, ia yang beranjak dewasa dengan torehan-torehan memori sadisme manusia lewat buku ini mengemukakan rasa kasihannya terhadap rezim-rezim zalim yang didirikan manusia. Totalitarianisme, kekejian, materialisme, dan berbagai manifestasi sifat vulgar manusia lainnya, menurut Fromm, tak lain merupakan bentuk pelarian seseorang dari kebebasan—sebuah pandangan yang akan menggelitik nalar pembaca awam yang menyimaknya saat itu.

Biografi intelektual

Nah, buku Erich Fromm: Psikologi Sosial Materialis yang Humanis merupakan sepotong biografi pemikiran Fromm yang cukup tuntas. Tetapi, ketika memegang buku ini, jangan harap mendapatkan paparan-paparan layaknya jurnalistik populer. Kekurangan sekaligus kelebihan buku ini adalah caranya mengupas sang tokoh dengan metode biografi intelektual. Nur Iman Subono, penulisnya, meneropong akar-akar pemikiran Fromm dengan komprehensif, menelusuri jejak-jejak tradisi filsafat Barat, materialisme Karl Marx, psikoanalisis Sigmund Freud, eksistensialisme Sartre yang memberikan keutuhan pada gagasan psikologi sosial ”menggemparkan” Fromm yang sekilas sudah kita simak di atas.

Dalam rangka menyajikan peta pemikiran Fromm yang utuh, penulis berusaha memperlihatkan kondisi sosial-politik, isu-isu besar pada era Fromm hidup—fasisme Jerman, kapitalisme lanjut Amerika, kehidupan modern yang nihil—sebagai bingkai pemikiran sang tokoh, di mana kemudian ia menghadapinya dengan buku-buku lainnya yang menggebrak. Sebut saja, dalam To Have or To Be, Fromm menyatakan bahwa ada dua modus eksistensi manusia dalam masyarakat kapitalis.

Yang pertama adalah ”memiliki”. Modus ini cenderung tidak sehat. Betapa tidak, manusia dalam modus eksistensi ini utuh dengan membeli, memiliki, dan terobsesi pada sesuatu. Yang kedua adalah ”menjadi”. Sebuah modus yang berkebalikan dari memiliki, cenderung positif, sehat, dan mengaktualisasikan kesejatian manusia. Dalam modus ini, seseorang merasa utuh dengan bekerja, berproses, merealisasikan dirinya—sebuah proses menjadi. Kita tahu, isu yang diserempet oleh Fromm ini sangat dekat dengan masyarakat modern kita, tinggal bayangkan apa yang terjadi pada jam pulang kerja nanti. Orang-orang yang pulang akan mampir ke department store dan memperoleh identitasnya lewat belanjaan-belanjaan bermerek dan memesona.

Fromm cukup radikal dalam mengupas isu-isu penting yang amat dekat dengan kita. Pemikirannya pantas mendapat perhatian kembali. Buku ini membedah Fromm dengan jelas dan tajam. Dengan mengaturkan juga berbagai kritik yang menghampiri Fromm, sekaligus kritik dari penulis sendiri, buku ini tidak melebih-lebihkan dan menempatkan pemikirannya pada proporsi yang tepat.

Dalam salah satu poin yang penting, penulis mengkritik Fromm yang tidak pernah menjelaskan dengan argumen yang kokoh bagaimana kebebasan yang sejati mungkin dipraktikkan, juga bagaimana masyarakat yang well-being dicapai. Fromm hanya sebatas menggambarkan kondisi-kondisi yang ideal, tanpa memperlihatkan dengan meyakinkan bagaimana syarat-syarat realistis untuk meraihnya. Nah, lantaran demikian, Nur Iman Subono dengan tepat mendudukkan sang psikolog sebagai seorang moralis dan utopis alih-alih ilmuwan. Dalam buku-bukunya, memang, telaah psikologi sosial Fromm yang tajam bukan dipergunakan untuk mengembangkan psikologi atau sosiologi, tetapi untuk memperkuat argumen-argumen moralnya.

Namun, sekali lagi, buku ini adalah sebuah biografi pemikiran yang menuntut perhatian kuat untuk membacanya—bahkan mungkin membutuhkan rujukan-rujukan pembantu seperti Wikipedia. Mengupas total sosok Erich Fromm, memang, mau tak mau memerlukan kerja pembacaan yang cukup keras.

Terakhir, meski Fromm telah meninggal tiga dekade yang lalu, buku ini tetap memiliki nilai kontekstualnya. Pada bab penutup, penulis secara agak tersirat mengaturkan keprihatinannya terhadap hari-hari pasca-lengsernya Orde Baru. Kebebasan tidak menjadi jawaban atas masalah yang menimpa Indonesia pada masa Soeharto. Mudahnya, lihat saja, satu dekade selepas Orde Baru, kekerasan masih menjadi opsi kelompok-kelompok tertentu untuk meraih kekuasaan. Etnisitas dan agama malah kian menjadi instrumen mobilisasi massa. Dan bukan pemandangan yang aneh, mereka yang tadinya memperjuangkan kebebasan di masa Orde Baru tergelincir oleh godaan politik dan ekonomi.

Apakah ini semua memang dampak alami dari kebebasan? Penulis menjawab tidak. Menurut penulis, kebebasan yang begitu tak lain merupakan kebebasan semu. Bukankah yang demikian itu justru merupakan pelarian besar-besaran dari kodrat eksistensial manusia sebagai makhluk sosial—lari dari kebebasan menuju jaminan, lari ke kekuasaan, lari dari tanggung jawab, lari untuk menindas sesama?

Devie Rahmawati
, Mahasiswa Doktoral Universitaet Frankfurt

Sumber: Kompas, Kamis, 21 April 2011

1 comment:

Nufaily said...

Adakah versi e-book nya? Agar saya bisa membacanya