-- Robert Bala
HARI ini maraton ujian nasional dimulai. Siswa SMA mengawalinya, diikuti SMP dan SD, dengan jumlah total peserta yang cukup fantastis: hampir 10 juta anak.
Tanpa mengingkari berbagai modifikasi yang sudah dilakukan, pelaksanaan UN masih menyisakan tanya: apakah telah mendekati atau malah menjauhkan kita dari transformasi sosial sebagai titik tuju dari semua perubahan? Apakah kita sudah berada di jalan yang tepat?
Dalam bukunya El Fin de la Educación (1999), Neil Postman punya jawaban. Dengan berkaca pada hukum termodinamika, ia membuka mata siapa pun yang berkecimpung dalam pendidikan untuk menyadari kesia-siaan yang kerap terjadi dalam kebijakan pendidikan.
Jelasnya, setiap kebijakan—ibarat materi dalam fisika—akan mengalami proses entropi atau ketidakberaturan yang mengarah pada kehancuran. Itu hukum alam. Tidak ada orang yang terbebas dari aturan itu. Yang bisa dibuat adalah upaya negentropis untuk memperlambat kehancuran.
Demikian pula dengan kebijakan pendidikan. bila tidak kontributif terhadap perubahan sosial, pendidikan hanya menjadi fenomena yang ditakuti. Oleh karena itu, pendidikan perlu berubah sesuai tuntutan zaman. Sampai di titik ini muncul pemahaman, mengapa para pengambil keputusan pendidikan begitu gemar membarui kurikulum, termasuk UN di dalamnya?
Akan tetapi, mengapa perubahan itu tidak berimbas langsung terhadap perbaikan kualitas bangsa? Antonio Arboledas dalam Problemas de la Educación (2010) punya jawaban. Pendidikan yang semestinya integratif mencakup otak, hati, dan tangan tidak dijalankan sebagaimana diwacanakan. Dalam praksis, yang lebih mengutama adalah rasio atau yang dikenal sebagai hipertrofi rasionalitas.
Tentu saja pola ini tidak seimbang, ia pincang dalam praksis. Kecerdasan otak yang semestinya amat mulia dengan mudah dibelokkan untuk hal-hal tak terpuji: bukan untuk mencari solusi, melainkan sekadar mengakal-akali orang lain.
Banyak akal-akalan
Tidaklah mengherankan bila dalam kehidupan nyata terjadi banyak akal-akalan. Pajak yang seharusnya jadi harga mati bisa dinegosiasikan.
Aparat yang sudah digaji melayani publik malah sering melakukan pungutan liar. Tabungan nasabah yang semestinya dijaga dibobol dengan mudah. Namun, nasabah kakap yang dirugikan tidak berani angkat bicara karena ternyata rekeningnya adalah bagian dari mekanisme pencucian uang. Jadilah adagium ”jika Anda diam, Anda emas”.
Seribu satu contoh masih bisa disebutkan tanpa melupakan begitu hebat anggota Dewan kita memperjuangkan pembangunan gedung baru DPR, padahal masih punya gedung yang bisa dipakai. Sekali lagi yang muncul adalah mentalitas merasa lumrah menganggarkan untuk diri sendiri, lupa bahwa rakyat yang diwakili masih hidup menderita.
Keadaan seperti ini semestinya mencemaskan. Kita telah memasuki zona yang disebut jurnalis Spanyol, Iñaki Gabilondo, sebagai el pacto de la ceguera atau pakta kebutaan. Semua orang seakan sepakat untuk tidak melihat apa yang menjadi masalah dan malah berusaha membenarkan diri sendiri.
Lalu, haruskah kita membiarkan percepatan pelapukan entropis yang menggerogoti bangsa ini merajalela? Apakah derita akibat salah ajar, dalam istilah Thomas Amstrong, dibiarkan berlarut sambil bangsa ini melewatkan waktu tanpa ada perubahan transformatif yang lebih mengena?
Tentu saja tidak. Duka bangsa ini sudah begitu banyak dan tidak perlu diperpanjang. Karena itu, yang dibutuhkan adalah komitmen untuk melawan pola peraksasaan otak dan pengerdilan hati ini dengan menawarkan model pendidikan yang lebih kritis, kreatif, dan tentu saja konstruktif.
Melawan di sini tentu tidak sekadar berarti menghalangi pelaksanaan UN lantaran di baliknya ada megaproyek yang tentu saja jadi tumpuan hidup banyak orang. Melawan juga bukan sekadar melansir model UN baru yang lebih transparan lantaran pola yang ada saat ini terkesan misterius dan baru disosialisasikan tiga bulan sebelum pelaksanaan.
Hal yang sangat diharapkan adalah mentalitas proses pembelajaran. Suasana pendidikan akan menjadi akrab dan menyenangkan karena antara konsep dan proses metodologis begitu baik diimplementasikan. Dengan demikian, ujian (apalagi UN), apa pun modelnya, akan disambut gembira dan tidak lagi menjadi makhluk aneh yang ditakuti.
Namun, pembelajaran semestinya punya sokongan publik sehingga tidak hanya dilaksanakan di ruang kelas, tetapi juga di semua lini: dari pasar, jalan, lembaga publik, hingga media massa. Semua sadar bahwa apa pun yang dilakukan akan menjadi panutan yang nilainya tidak kalah penting daripada ujian di sekolah.
Bila kita berkomitmen demikian, niscaya bangsa ini akan lebih cepat maju. Proses entropis yang menjadi proses alamiah tidak perlu dicemaskan karena semua orang yakin, pada masanya mereka sudah berbuat yang terbaik. Itulah harapan kita.
Robert Bala, Pengajar Creative and Critical Thinking di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong
Sumber: Kompas, Senin, 18 April 2011
No comments:
Post a Comment