SUDAH +banyak yang bilang bahwa mal adalah katedral masyarakat kontemporer. Terlebih di Indonesia, terutama di Jakarta, mal menjadi tempat yang sebegitu multifungsi.
Perhatikan perbedaannya dengan mal di metropolitan dunia lainnya. Di tempat lain, mal utamanya adalah tempat belanja. Tempat makan umumnya sebatas food hall.
Beda di Jakarta. Semua hal berlangsung di mal. Restoran bagus atau istilahnya fine dining, pesta, peragaan busana, semua berlangsung di mal. Mal telah menjadi ruang publik paling utama di Jakarta.
Kegiatan seni rupa sampai ke art fair, tak terkecuali sering berlangsung di mal. Kali ini, yang tengah berlangsung di Grand Indonesia Shopping Town adalah pameran patung bertajuk ”Intersection: Indonesian Contemporary Sculpture”. Diselenggarakan oleh Andi’s Gallery, pameran akan berlangsung sampai 24 April 2011.
Pameran diikuti 50 perupa. Tergolong hajatan besar. Apalagi kalau melihat beberapa karya, yang volumenya juga besar. Bisa dibayangkan kerepotan memasukkan barang-barang itu, dengan waktu terbatas, pada malam hari ketika mal sudah ditutup untuk pengunjung.
Hati-hati
Dengan keluasan bentuk karya berikut keberagaman peserta, baik dari segi umur, angkatan, sampai ke kecenderungan artistik, terlihat kehati-hatian kurator menyikapi pameran ini. Kurator pameran Hardiman dari Bali dan Asikin Hasan dari Jakarta.
Hardiman, misalnya, membuka catatan kuratorialnya dengan mengutip Joost Smiers, yang kalau diterjemahkan ungkapannya lebih kurang sebagai berikut: ”... betapapun, dalam konteks sosial lebih luas, kebanyakan adalah kriteria—dibandingkan kualitas—yang menentukan mengapa suatu karya menemukan tempat penting dalam masyarakat, sementara yang lain kelihatan tak penting sama sekali”.
Itu bisa dilihat sebagai ancang-ancang untuk memberi permakluman atas pameran ini yang sifatnya fragmentaris dalam semua hal: tema, bentuk, materi, dan lain-lain. Hubungannya dengan publik yang menikmati karya-karya ini di mal bisa kita perbincangkan nanti.
Sedangkan Asikin memilih mendudukkan perkara karya-karya itu pada sejarah seni patung modern kita. Sejarah seni patung kita dia sebut masih sangat singkat—lebih kurang enam dekade. Dari situ dia menerang-jelaskan ihwal patung modern dengan pelopornya, seperti Trubus Soedarsono, Affandi, Kusnadi, dan sejumlah nama lain, yang dalam perkembangannya kemudian memicu seni patung kontemporer, muncul lewat karya Gregorius Sidharta Soegijo. Awal kecenderungan seni patung kontemporer di pameran ini diwakili G Sidharta dengan karya berjudul ”Dewi Sri”, terbuat dari kayu diwarnai.
Uraiannya berlanjut sampai ke fenomena baru masa kini, di mana para perupa merambah seluruh gejala rupa. Astari, Entang Wiharso, Heri Dono, Agapetus Kristiandana, Tisna Sanjaya, Samuel Indratma, dan beberapa nama lagi ia sebut untuk mewakili kecenderungan tersebut.
Fragmentaris
Yang paling bisa menerima gejala fragmentaris serta keterpisahan-keterpisahan seperti itu barangkali memang masyarakat mal. Pada masyarakat mal, seluruh gejala yang bagi para pemikir serius dianggap tak jelas asal-usulnya, diterima sebagaimana adanya.
Inilah masyarakat yang terlepas dari asal-usul, sangkan paran. Seperti fase lanjut post-modernisme itu sendiri. Modernisme tinggal seperti gaya formal jas lelaki, sempurna, tetapi kini tinggal menjadi simbol para pejabat yang ketinggalan zaman.
Andi Yustana, pemilik Andi’s Gallery, makin yakin dengan pilihannya menyelenggarakan pameran di mal. ”Dulu, waktu pameran di Galeri Nasional, tak ada yang laku. Lalu saya display di lobi Grand Indonesia, laku beberapa buah,” katanya senang. (Bre Redana)
Sumber: Kompas, Minggu, 24 April 2011
No comments:
Post a Comment