-- Budi Suwarna dan Maria Serenade Sinurat
SETELAH tujuh tahun dibawa keliling dunia, kisah I La Galigo akhirnya dipentaskan di Makassar, boleh dibilang tanah kelahirannya. Pementasan ini bisa menjadi pintu masuk untuk membuka tabir mitologi I La Galigo yang belum terkuak.
Para seniman mengikuti geladi resik pementasan I La Galigo di Benteng Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (22/4) malam. Geladi yang sekaligus menjadi pementasan perdana tersebut hanya berisikan 2 dari 12 scene yang seharusnya dipanggungkan. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)
Tabu telah dilanggar. Sawerigading menebang pohon suci welenrenge. Tiada pilihan lain baginya selain meninggalkan tanah kelahiran di Luwuq (Luwu) dan We Tenriabeng, saudari kembarnya. Pengembaraan sang putra dewa mencari cinta yang sempurna pun dimulai hingga dia sampai ke negeri China dan menikahi I We Cudai.
Perjalanan Sawerigading ini menjadi inti cerita pementasan I La Galigo. Kisah Sawerigading ini dijalin dalam sebuah rentetan kejadian dari siklus penciptaan, pengosongan, hingga pembaruan tanpa henti di Dunia Tengah (Bumi). Sebagai catatan, mitologi I La Galigo membagi dunia menjadi tiga, yakni Dunia Atas, Dunia Bawah, dan Dunia Tengah.
Lakon arahan sutradara teater kontemporer Robert Wilson itu hanya mengambil secuplik sureq (serat) I La Galigo yang dianggap sebagai naskah sastra terpanjang di dunia. Panjangnya diperkirakan dua kali lipat dari naskah Mahabharata.
”Ini cerita versi saya yang saya kembangkan dari naskah I La Galigo,” ujar Robert seusai konferensi pers, Rabu (20/4).
Lakon I La Galigo dipentaskan di tengah Benteng Rotterdam, salah satu ikon Kota Makassar pada Sabtu dan Minggu, 23-24 April. Jumat malam, panitia menggelar pementasan khusus untuk wartawan, keluarga pendukung acara, dan anak yatim piatu. Namun, pementasan khusus itu dihentikan sekitar 30 menit setelah acara dimulai. Robert dan tim memilih melanjutkan latihan untuk pementasan hari berikutnya. Sekitar 1.000 penonton yang datang pun tampak kecewa.
Animo untuk menonton pentas ini memang luar biasa. Sejak Jumat sore, ratusan penonton antre di depan pintu benteng di tengah hujan rintik-rintik. Tiket untuk penonton, menurut media relations pementasan I La Galigo, Yusi Pareanom, habis terjual dengan harga mulai dari Rp 75.000 hingga Rp 250.000. Sebagian tiket terjual di Jakarta. Dua hari pementasan itu ditonton sekitar 2.200 orang.
Pementasan I La Galigo itu dianggap momen penting khususnya bagi orang Bugis. Inilah pertama kalinya lakon yang selama tujuh tahun dibawa keliling dunia itu dipentaskan di tanah kelahirannya sendiri. Sebelumnya, lakon ini dipentaskan di berbagai panggung teater kelas dunia dalam rentang tujuh tahun, mulai dari Singapura, Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Jakarta, Melbourne, Milan, hingga Taipei.
Pementasan di kota-kota itu, kabarnya, mendapat sambutan bagus. Robert dianggap sanggup mengemas legenda arkais itu menjadi sebuah tontonan kosmopolitan. Kekuatannya, antara lain, terletak pada kemampuan Robert memainkan pencahayaan dan artistik. Pada pementasan di Benteng Rotterdam, adegan penciptaan bumi ditingkahi gradasi warna biru seolah membawa penonton pada sebuah keheningan yang subtil.
Pintu masuk
Pementasan lakon ini memberikan rasa bangga khususnya bagi orang Bugis sebagai pemilik mitologi I La Galigo. ”Kami harus berterima kasih kepada orang-orang yang telah mementaskan legenda Sawerigading ke luar negeri. Mitologi Bugis yang tersisa dalam serpihan-serpihan ingatan itu bisa dikenal dunia,” ujar Asdar Muis, budayawan muda Sulawesi Selatan.
Yayath Pangerang, pekerja budaya asal Luwu, berharap lakon ini terus mengembara di panggung dunia untuk memperkenalkan tradisi Bugis. ”Secara alamiah, Sawerigading memang pengembara. Jadi, biarkan dia (legenda) berkeliling dunia agar dia menjadi mata air kebudayaan. Kemasannya mau dibikin seperti apa dan dipentaskan oleh siapa tidak lagi penting. Yang penting, tradisi Bugis dikenal orang.”
Ikrar Andi Mohammad Saleh, dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar, yang juga generasi ke-4 Arung/ Raja Belo—sebuah kerajaan palili di Soppeng—mengatakan, pementasan I La Galigo memberikan kebanggaan terutama bagi orang Bugis.
”Ini baru kulitnya, masih jauh dari esensi mitologi I La Galigo yang sangat kaya dan menjadi pijakan nilai hidup bagi orang Bugis. Derivasi (turunan) dari naskah itu sebenarnya sangat kaya, yakni mengatur mulai dari pertanian, lingkungan, sampai hubungan seks suami istri,” ujarnya.
Meski demikian, pementasan ini bisa dijadikan pintu masuk untuk menguak lebih dalam tabir mitologi I La Galigo yang sebagian besar belum diketahui. ”Kita harus terus mendalami I La Galigo agar orang tidak menyangka mitologi ini isinya sebatas kisah cinta Sawerigading seperti lakon yang dipentaskan,” lanjut Ikrar.
Sumber: Kompas, Minggu, 24 April 2011
No comments:
Post a Comment