Saturday, April 16, 2011

[Tanah Air] Hidup Mereka Bertumpu di Rawa Biru

-- Erwin Edhi Prasetya dan Timbuktu Harthana

DITEMANI sekawanan anjing, Thomas Sanggra (20) bersama empat rekannya berjalan menuju Rawa Biru, Kawasan Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua. Menyusuri pepohonan bus, Melaleuca sp, mereka siap-siap berburu dengan panah dan tombak.

Warga Rawa Biru, Merauke, Papua, Minggu (10/4), menarik busur panah saat berburu di sebuah kawasan hutan yang terletak tidak jauh dari garis perbatasan negara RI-Papua Niugini. (KOMPAS/EDDY HASBY)

”Kami mau tangkap saham (kanguru). Nanti sore kami juga sudah kembali dan pasti sudah dapat satu saham,” ujar Thomas mengawali kegiatan berburu, Sabtu (9/4).

Bagi Thomas dan komunitas suku Marind, kawasan Rawa Biru adalah savana kehidupan. Di hamparan rawa seluas sekitar 4.000 hektar, suku Kanum, subsuku Marind, di Kabupaten Merauke, Papua, itu menggantungkan hidup. Berburu dan meramu dilakoni saban hari oleh empat keluarga besar (marga) yang menetap di kampung yang terletak di kawasan Taman Nasional Wasur, yakni marga Dimar, Banggu, Maiwa, dan Sanggra.

Kehidupan berburu memang kental di Kampung Rawa Biru yang dihuni sekitar 60 keluarga atau 248 jiwa suku Kanum. Para pria dewasa, bahkan anak laki-laki usia SD, berburu hewan di setiap waktu.

Hamparan savana, rawa, dan pepohonan bus merupakan habitat bagi kanguru tanah, kanguru lapang, rusa, babi, ikan, dan buaya.

Sejak kecil, anak-anak suku Kanum sudah diakrabkan dengan ”kemurahan” alam. Oleh orang tua mereka, anak-anak itu diajari cara menghidupi diri lewat berburu ataupun meramu.

Antonius Dimar (19) belajar berburu saham sejak umur 9 tahun. Sejak usia bocah, ia telah mahir menyergap rusa dan kanguru dengan sekali melepaskan anak panah dari busurnya atau sekali melemparkan tombak.

Tradisi setempat mewajibkan seorang ayah untuk mengajak anak laki-lakinya berburu. Sering kali ajakan berburu lebih diminati anak-anak mereka daripada bersekolah. Bolos sekolah sesuatu yang lumrah.

Sementara kaum pria berburu, kaum perempuan bertugas mengurus bayi-balita, serta menokok sagu, dan memasak.

Rupanya, tidak saban hari warga setempat berburu. Biasanya berburu dilakukan setelah jeda 3-4 hari. Pasalnya, selain tempat perburuan kian jauh, jumlah hewan buruan pun makin berkurang. Hewan buruan kian terdesak menjauh dari perkampungan.

Biasanya, sekali berburu, Antonius menempuh perjalanan menggunakan kole-kole (sampan dari kayu pohon bus) menuju lokasi menyusuri rawa. Sekali perjalanan butuh waktu 6 jam.

Mereka sering kali harus tidur di hutan 1-2 malam dengan membawa bekal secukupnya. Jika ingin berburu rusa, malam hari mereka tidur di hutan dan baru keesokan harinya berburu.

Lain lagi jika urusan berburu buaya. Untuk memburu hewan jenis melata ini, mereka menyusuri sungai pada malam hari. Senter adalah alat utama.

Hukum adat

Perburuan oleh warga suku Kanum lebih didorong faktor ekonomi. Buruan tidak semuanya mereka konsumsi sendiri, tetapi mereka jual. Uang dari hasil berburu mereka gunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras, garam, rokok, dan pinang, serta memberikan uang saku kepada anak.

Uang hasil berburu biasanya akan habis dalam 3-4 hari. Jika uang sudah habis, mereka berburu lagi. ”Hanya dari berburu kami bisa dapat uang,” ungkap Markus Dimar (27), warga Kampung Rawa Biru.

Mereka umumnya menjual buruan ke Merauke. Di perkotaan, kulit buaya dijadikan bahan kerajinan yang menghasilkan dompet, tas, dan sepatu. Adapun daging rusa dijadikan dendeng, sate, dan bakso. Harga daging hewan buruan relatif murah. Rusa yang diburu semalaman dihargai Rp 20.000 per kg. Berat bersih daging rusa sekitar 20 kg per ekor, sedangkan kanguru dihargai Rp 30.000 per ekor.

Hasil itu harus dibagi rata sesuai jumlah orang yang berburu, biasanya 2-3 orang. Buaya relatif memiliki harga jual lebih tinggi, sebanding dengan risiko memburunya, tetapi hanya kulitnya yang laku dijual. Daging buaya biasanya dikonsumsi sendiri oleh keluarga pemburu.

Nicolaus Nek Tjong (66), pengusaha dendeng rusa di Merauke, mengaku kini semakin susah mendapatkan pasokan daging rusa. Padahal, tahun 1990-an, rusa masih bisa ditemukan berkeliaran di tepi kota Merauke. Kini, pemburu harus mencari rusa di pedalaman. Pihaknya pun sekarang lebih banyak dikirimi daging rusa dari pedalaman jauh dari Merauke, seperti Kimam, Kondo, dan perbatasan RI-Papua Niugini.

Karena tidak ingin rusa makin langka, Nek Tjong selektif membeli daging dari pemburu. Hanya daging rusa dewasa yang dibelinya. ”Kami hanya pilih rusa dewasa. Yang masih muda kami tolak,” kata Tjong.

Komunitas suku Kanum pun mulai menyadari langkanya hewan buruan. Menyikapi hal itu, komunitas itu membuat perjanjian bersama. Hanya hewan dewasa yang boleh diburu. Adapun anakannya dibiarkan hidup. Mereka juga menerapkan hukum adat sasi untuk melindungi populasi hewan.

Adat ini melarang berburu atau mengambil komoditas hutan tertentu yang diikrarkan oleh satu marga dalam satu kurun waktu tertentu. Umumnya, sasi berlaku 1-2 tahun dan harus dipatuhi semua marga. Sasi diberlakukan dengan cara memasang patok-patok kayu di wilayah tanah ulayat marga yang berakad.

Masa jeda itu bertujuan memberikan berkesempatan kepada hewan untuk berkembang biak. ”Ini salah satu wujud kearifan lokal masyarakat Marind dalam menjaga kelestarian alam,” kata Dadang Suganda, Kepala Balai Taman Nasional (TN) Wasur.

Pihak Balai TN Wasur sendiri tidak melarang warga asli yang tinggal di dalam kawasan TN Wasur untuk berburu hewan selama itu dilakukan dengan alat-alat tradisional. Apalagi, orang Marind sudah lebih dulu menghuni taman seluas 413.810 hektar itu sebelum TN Wasur terbentuk. Balai TN Wasur melarang perburuan menggunakan senapan. Adang mengakui, meski memang ada penurunan populasi, jumlah rusa dan kanguru di TN Wasur masih terkendali, 1-2 ekor per hektar.

Tumpuan hidup

Selain sebagai ladang protein bagi suku marind di sekitar TN Wasur, Rawa Biru juga menjadi sumber kehidupan bagi 195.176 penduduk Merauke.

Rawa ini merupakan sumber air bersih. Tiap hari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Merauke mengolah 5,2 juta liter air dari rawa itu untuk dialirkan ke rumah-rumah penduduk.

Menurut Kepala PDAM Merauke, Stasiun Rawa Biru, Jimi S Lobo, air bersih itu berasal dari mata air, hujan, dan air laut yang masuk ke rawa.

Begitu pentingnya Rawa Biru, warga melestarikannya dengan sejumlah kesepakatan bersama. Tidak boleh memandikan ternak di rawa. Juga tak boleh membuang sampah di rawa.

Kini warga bahu-membahu membersihkan tumbuhan tebu rawa (Hanguana sp). Akar tumbuhan ini diduga menyerap air dan mengganggu sirkulasinya.

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 April 2011

1 comment:

herizal alwi said...

Lovely pose