-- Utomo Danandjaja
ISTIGASAH menjelang ujian nasional adalah fenomena yang terjadi setiap tahun menjelang UN.
Kepala sekolah mengajak guru-guru mendampingi para siswa untuk mengikuti istigasah ini dua atau tiga hari, siang-malam, berturut-turut. Fenomena ini menggambarkan kondisi kejiwaan para kepala sekolah yang merasa terancam oleh kegagalan UN yang akan datang. Maka, fenomena istigasah adalah gambaran ketidakberdayaan individu-individu yang pada saatnya memunculkan hasrat untuk melarikan diri, berlindung pada doa istigasah.
Doa istigasah berarti meminta tolong kepada Tuhan, bersifat pribadi, tidak harus dengan suara keras. Doa istigasah oleh guru menggambarkan, guru tak yakin bahwa usaha yang dilakukan selama setahun mendampingi muridnya belajar mempersiapkan UN sudah cukup sehingga harus dilengkapi dengan doa. Alhasil, kegagalan UN yang mungkin terjadi tidak lagi menjadi tanggung jawab guru dan murid yang ujian, tetapi karena Tuhan tidak mau menolong guru dan murid-murid.
UN sudah menjadi ancaman, bukan saja bagi para murid, melainkan juga kepala sekolah dan guru-guru. Dan, rasa terancam ini ditularkan melalui istigasah bersama menjelang UN.
Padahal, menurut Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, dua atau tiga hari dibutuhkan sebagai waktu tenang untuk menghadapi UN. Istigasah justru membangunkan rasa cemas muridmurid yang akan menghadapi UN. Para murid gelisah dan tak percaya diri dengan usaha yang sudah mereka lakukan bersama guru.
Mengapa UN bisa demikian mencemaskan, bukan hanya bagi murid, melainkan juga guru dan kepala sekolah? Bagi murid, UN terkait dengan persoalan masa depan, sedangkan bagi kepala sekolah dan guru, UN terkait dengan prestasi.
Pemerintah tidak paham
Sesungguhnya pada 2005 beberapa orangtua, murid, guru, dan pemerhati pendidikan yang menyadari bahwa UN menimbulkan kecemasan dan ketidakberdayaan telah mengadu ke pengadilan negeri. Mereka menggugat bahwa penyelenggaraan UN melanggar hak asasi anak. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan ini. Pemerintah justru naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan terakhir mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasasi ini pun ditolak Mahkamah Agung pada September 2009.
Namun, tahun 2010 Menteri Pendidikan Nasional tetap menyelenggarakan UN, bahkan mempertinggi tensi kecemasan dengan berbagai upaya melibatkan polisi sebagai pengawas dan para pejabat tinggi serta kepala dinas pendidikan wilayah menandatangani akta kejujuran. Janji akan berbuat jujur ini adalah bukti ketidakpahaman para pejabat pendidikan terhadap keputusan Mahkamah Agung.
Keputusan Mahkamah Agung tidak menyalahkan timbulnya kecurangan dalam UN, tetapi menunjukkan bahwa UN adalah praktik yang melanggar hak asasi anak, yaitu rasa aman. Seharusnya yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional bukan mencegah kecurangan dengan mengerahkan polisi dan janji para pejabat, melainkan menghapuskan kecemasan, ketakutan, dan ketidakberdayaan yang tidak hanya dirasakan siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah.
Setiap tahun upaya yang dilakukan hanya mengantisipasi ancaman terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan. Namun, ragam antisipasi tersebut justru dirasakan sebagai ancaman yang mempertinggi kecemasan.
UN adalah pelaksanaan dari Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, ”Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.”
Adapun Pasal 58 Ayat (1) adalah pasal yang mengatur evaluasi hasil belajar peserta didik, bukan ”penilaian akhir penyelesaian jenjang pendidikan”. Di sana tertuang, ”Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Jadi, kebijakan UN sebagai keputusan Mendiknas tidak mempunyai dasar hukum dan bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung.
Walaupun tidak ada aturan hukumnya, UN bisa saja diselenggarakan sebagai evaluasi hasil belajar peserta didik secara nasional. Hanya saja, pola dan mekanisme penyelenggaraannya tidak boleh melanggar hak asasi anak (tidak menyebabkan kecemasan, ketakutan, dan rasa tidak percaya diri).
Kecemasan yang ditimbulkan UN adalah karena UN sebagai alat evaluasi akhir peserta didik untuk pemberian ijazah kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar. Padahal, untuk memperoleh ijazah tersebut peserta didik harus lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan (sekolah) yang terakreditasi, bukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional ataupun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kewenangan pendidik
Jadi, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Adapun evaluasi untuk memperoleh ijazah diselenggarakan oleh sekolah. Sebetulnya, berangkat dari pesan Pasal 57 Ayat (1) yang berbunyi ”Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional...”, memungkinkan Mendiknas menyelenggarakan UN tanpa menimbulkan rasa terancam atau takut bagi peserta didik.
Jadi, UN diselenggarakan bukan sebagai ujian penyelesaian suatu jenjang pendidikan. Sebab, mutu pendidikan tidak hanya ditentukan dari evaluasi peserta didik, tetapi juga harus dievaluasi lembaga dan program pendidikan pada semua jenjang pendidikan. Fungsi UN seperti yang sekarang ini terbatas pada pemetaan mutu pendidikan secara nasional.
Selain pilihan waktu untuk menghindari kesan penyelesaian sebuah jenjang satuan pendidikan, perbaikan UN perlu dilakukan pada alat ujinya, yaitu soal. Mutu soal harus dapat mengukur perkembangan kecerdasan.
Pada zaman ebtanas, bentuk soal bukan hanya pilihan ganda. Soal ujian sebanyak 50 soal yang terdiri dari 35 soal pilihan ganda, 5 soal pilihan salah atau benar, 5 soal melengkapi, dan 5 soal esai. Saat itu UN berada di bawah tanggung jawab Direktorat Evaluasi. Saat ini UN terdiri atas 50 soal pilihan ganda dan diselenggarakan oleh BSNP. Setelah ujian diselenggarakan oleh badan independen (BSNP), soal ujian bukannya makin bermutu, malah melanggar hak asasi anak.
Dalam kaitan ini, Mendiknas dituntut punya keberanian melakukan beberapa perubahan. Pertama, penyelenggaraan UN tidak dikaitkan dengan kelulusan penyelesaian suatu jenjang pendidikan. Kedua, UN tidak diselenggarakan pada akhir tahun dan kelas akhir pada satu jenjang pendidikan. Ketiga, UN tidak diembel-embeli ancaman yang menakutkan peserta didik.
Utomo Danandjaja, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina
Sumber: Kompas, Sabtu, 16 April 2011
No comments:
Post a Comment