-- M Kurniawan dan Cornelius Helmy
MUARA Citarum diyakini pernah menjadi pelabuhan internasional saat kerajaan terbesar di Jawa Barat, Tarumanagara (4 Masehi-8 Masehi), berkuasa. Tempat pedagang dari bangsa-bangsa lain singgah, berdagang, dan membangun peradaban. Hal itu dibuktikan dengan temuan candi, rangka manusia berikut bekas kuburnya, serta aneka corak tembikar.
Beberapa pengunjung berekreasi di Candi Blandongan di kompleks Situs Batujaya, Karawang utara, Jawa Barat, Minggu (27/3). Kompleks percandian ini diperkirakan menjadi salah satu kompleks peradaban tertua di Nusantara. (Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)
Meski tidak ditemukan lagi sisa pelabuhan kuno, beberapa ahli dan bukti sejarah di sekitar muara Citarum menguatkan hal itu. Peneliti Cornell University, Oliver William Wolters, mengatakan, dalam kitab Nan Chou I Wu Chih yang ditulis Wan Chen, pernah ada pelabuhan internasional bernama Ko-ying atau Ka-iwang pada abad ke-3 di Jawa Barat. Pelafalan Ko-ying dan Ka-iwang diduga menjadi asal-usul penamaan Karawang.
Bukti lain didapat melalui penggalian kompleks percandian Batujaya yang dimulai tahun 1985. Kompleks percandian batu bata ini memiliki 30 candi kecil dan berjarak sekitar 500 meter dari Sungai Citarum.
Penemuan ratusan gerabah arikamedu, misalnya. Gerabah pada abad ke-3 dan ke-5 ini diduga dibawa dari Pelabuhan Arikamedu di pantai timur India. Ada juga cermin, peralatan perunggu, gelang loklak, dan keramik dari Guangdong, China, dari abad IX dan X.
Arkeolog Hasan Djafar menduga ratusan barang itu tak begitu saja muncul, tetapi dibawa jauh menggunakan kapal besar yang bersandar di Pelabuhan Citarum. Sebagian buktinya dibawa dan disimpan oleh masyarakat saat itu di kompleks percandian Batujaya, yang letaknya sama-sama di pesisir laut utara.
”Batujaya muncul dari hasil perpaduan kebudayaan antara masyarakat pendatang dan warga setempat. Namun, Batujaya sepertinya bukan pusat pemerintahan Tarumanagara, melainkan bangunan peribadatan. Di tempat ini banyak disimpan barang-barang yang diperjualbelikan di Pelabuhan Ko-ying,” tutur Hasan.
Candi Buddha
Melalui metode isotop Carbon-14 diketahui, candi Buddha ini dibangun pertama kali antara abad VI dan VII, dilanjutkan abad IX dan X. ”Sejauh ini Candi Batujaya adalah candi Buddha tertua yang pernah ditemukan di Indonesia,” ujarnya.
Situs Candi Batujaya berjarak sekitar 1 kilometer di sebelah timur aliran Sungai Citarum. Luas kompleks itu 5 kilometer persegi, yang mencakup wilayah Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya, atau 47 kilometer arah barat laut pusat kota Kabupaten Karawang.
Kompleks percandian ini memiliki 30 situs candi dan tempat pemujaan. Beberapa candi besar yang sudah diekskavasi adalah Candi Jiwa yang berbentuk bujur sangkar ukuran 19 meter x 19 meter serta Candi Blandongan yang berukuran 25,33 meter x 25,33 meter.
”Ada pengaruh tradisi Nalanda di India utara. Kebudayaan India itu datang seiring banyaknya pendatang dari sejumlah negara lewat perdagangan di pantai utara Jabar,” ujar Hasan.
Dari berbagai eksplorasi, ditemukan beragam bukti sejarah. Teknologi pembuatan candi terbilang canggih dan masih dipakai hingga saat ini.
Pengolahan tanah liat menjadi batu bata, misalnya. Pembuatan batu bata menerapkan inovasi campuran sekam atau kulit padi. Itu diyakini mematangkan bagian dalam batu bata saat dipanaskan hingga suhu 700 derajat celsius.
Teknologi lain adalah stuko atau plester berwarna putih berbahan dasar kapur. Kapur diambil dari pegunungan kapur di Karawang selatan. Perbukitan tersebut masuk dalam Formasi Parigi yang terdiri dari batu gamping klastik dan batu gamping terumbu yang melintang dari barat ke timur sekitar 20 kilometer.
Bahan dan kegunaannya disesuaikan dengan tujuan pengguna. Untuk melapisi tembok, arsitek mencampur kapur dan kulit kerang. Hal ini terkait dengan keberadaan candi di tepi pantai. Kerang dianggap sebagai bahan kuat penahan abrasi air laut. Stuko juga digunakan untuk membuat ornamen, relief, dan arca. Untuk ini, biasanya pekerja membakar kapur dengan suhu 900-1.000 derajat celsius. Untuk memperoleh fondasi yang kuat, kapur dicampur dengan pasir dan kerikil.
Penerapan mitigasi bencana juga sudah terlihat dari usaha meninggikan halaman candi dan mengeraskan lantai dengan lapisan beton stupa guna menghindari banjir. Buktinya bisa dilihat dari reruntuhan Candi Segaran V (Candi Blandongan). Hasan mengatakan, arsiteknya sudah mengetahui risiko banjir apabila hidup di sepanjang sungai dan muara Citarum.
Keterkaitan erat antara Batujaya dan pelabuhan di muara Citarum sempat menimbulkan perdebatan. Alasannya, kini Candi Batujaya berada 5-6 kilometer dari garis pantai Laut Jawa. Letak Batujaya pun kini lebih tinggi 2 meter di atas permukaan laut (mdpl) dibandingkan dengan muara Citarum.
Menurut ahli geografi T Bachtiar, apabila menilik kurva perubahan muka laut 10.000 tahun silam di Indonesia, terlihat jelas kebenaran teori itu. Kurva ini diambil dari tulisan Yahdi Zaim yang memuat gambar peta buatan De Klerk tahun 1983. Dikatakan bahwa telah terjadi transgresi (penambahan muka air laut) dan regresi (penurunan muka air laut) dihitung dari 7.000 tahun lalu hingga tahun 1983. Kurva tersebut menyebutkan bahwa tahun 485 Masehi-983 Masehi, atau saat pembangunan Batujaya, muara air laut berada pada ketinggian 0 mdpl-0,5 mdpl. Sejak tahun 1983 candi itu telah berada pada ketinggian 2 mdpl.
”Jika dieksplorasi lagi, yang menarik adalah kemungkinan adanya kanal mengelilingi layaknya bangunan suci kuno. Jika benar, semakin nyata bukti bahwa air, sungai, dan laut adalah identitas utama masyarakat Batujaya,” kata arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Youndri.
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 April 2011
No comments:
Post a Comment