-- Damanhuri
JIKA kita bisa bersepakat bahwa salah satu tujuan utama pendidikan adalah menciptakan suatu “masyarakat yang peduli” (caring society), sebuah komunitas persaudaraan yang selalu berupaya mengedepankan kepentingan semua pihak ketimbang sekadar memuliakan dan menyantuni privilese kelompok tertentu (Sastrapratedja, 2004: 19); pelbagai kritik dan bahkan gugatan terhadap sekolah-sekolah berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang mengemuka akhir-akhir ini sebenarnya sepenuhnya bisa dimaklumi—-sekadar tidak mengatakan justru harus kita rayakan.
Sekolah yang Memecah-Belah (?)
Merujuk pelbagai keluhan para orang tua peserta didik tentang tingginya biaya yang harus ditanggung, praktek diskriminasi berbasiskan kelas sosial-ekonomi, atau kecenderungan mengutamakan peserta didik berkemampuan istimewa, misalnya; rasanya saya malah berhak khawatir: jangan-jangan praktek pendidikan yang tengah diujicobakan sekolah-sekolah berlabel RSBI itu justru kian menguatkan tengara Pierre Bourdieu tentang peluang sekolah untuk mengalami malafungsi menjelma jadi “arena reproduksi kesenjangan sosial” (Haryatmoko, 2010: 173-174). Dan, dengan mengiyakan kritik yang sebenarnya telah diserukan Bourdieu tiga dekade yang lampau itu, mitos kesetaraan kesempatan yang belakangan begitu akrab di telinga kita lewat slogan “pendidikan untuk semua” (education for all) itu pun sesungguhnya ikut rontok dalam waktu yang sama.
Pada aras konsep, pelbagai kritik di atas memang telah ditepis dengan klaim karakter inklusif RSBI—"pendidikan yang mengakomodasi setiap perbedaan potensi, kemampuan, minat, dan bakat siswa yang berbeda"—
seperti diutarakan salah seorang pengelolanya di harian ini, misalnya (Lampung Post, 9 April 2011). Pun terbuka lebarnya gerbang RSBI bagi peserta didik berlatar belakang ekonomi lemah (Lampung Post, 25 Maret 2011).
Tapi, seperti bisa kita baca dalam salah satu tulisan Fokus Lampung Post berjudul parodis, RSBI, Rintihan Sekolah Bertarif Internasional? (20 Maret 2011), keluh-kesah seorang wali murid RSBI tentang besarnya uang yang harus ia keluarkan tiap bulan mendorong kita layak meragukan akseptabilitas para peserta didik berlatar belakang keluarga miskin. Kesangsian yang belakangan juga didukung oleh munculnya keluh-kesal senada yang disampaikan sejumlah wali murid salah satu RSBI (Guru 'Ancam' Siswa tak Ikut Les, Lampung Post, 12 April 2011).
Karakteristik inklusif RSBI sebenarnya sudah gugur tepat saat klaim itu diapungkan. Sebab, seperti kita maklumi, para peserta didik yang memiliki kemampuan istimewa dan berlatar belakang kelas sosial-ekonomi istimewa pula yang sejak awal "dibidik" oleh sekolah-sekolah berlabel RSBI. Sedangkan bagi para calon peserta didik dengan kemampuan medioker, apalagi jika berlatar belakang miskin, RSBI jelas bukan tempat yang tepat buat mereka.
Jadi, karakteristik sekolah RSBI yang konon menghargai perbedaan potensi, kemampuan, minat, dan bakat siswa yang berbeda, sejak awal seolah-olah memang didesain sekadar jadi janji-janji untuk dikhianati. Padahal, jika karakteristik inklusif tersebut betul-betul dijadikan warna dasar dalam politik pendidikan yang membingkai RSBI, apa yang belakangan ini disebut-sebut sebagai pendidikan multikultural sejatinya tengah mendapatkan ruangnya yang paling tepat.
Pendidikan multikultural yang memungkinkan setiap peserta didik memuliakan segala kepelbagaian (kelas, budaya, etnik, agama) sebagai berkah yang patut disyukuri; bukan politik pendidikan yang memecah-belah dan pada akhirnya secara (tidak) langsung menggoda para peserta didik untuk membangun "benteng dan tirani"-nya sendiri-sendiri. Lewat pendidikan berperspektif multikultural itu pula kekhawatiran akan terjadinya "darwinisme sosial" akibat malapraktek sekolah sebagai ranah peneguhan kasta-kasta sosial diharapkan kehilangan dasar pijakannya.
Ihwal Bahasa
Selain watak elitis dan eksklusif RSBI, perkara penting lain yang sejak awal merundung sekolah-sekolah berlabel RSBI adalah soal pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Persoalan yang sebenarnya tidak saja menyangkut rendahnya kompetensi bahasa Inggris para guru; tapi juga berkaitan dengan arah kebijakan politik bahasa yang ditempuh—jika kendala kecakapan berbahasa para guru tersebut sudah teratasi, misalnya.
Setakat ini, polemik pembelajaran bahasa asing di sekolah secara umum pun memang masih jauh dari memuaskan. Hanya saja, jika di sekolah-sekolah non-RSBI perdebatan masih berkisar seputar pencarian metode atau pendekatan paling efektif untuk meningkatkan tingkat kompentensi berbahasa Inggris; RSBI seolah hendak melampauinya dengan langsung menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Ironisnya, tepat ke titik inilah kritik justru harus kita arahkan. Sebab, dengan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pendidikan, konsekuensi penomorduaan posisi dan peran bahasa Indonesia hampir mustahil bisa dielakkan.
Alhasil, selain RSBI layak kita nilai inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 45 yang menjamin hak seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, alih-alih hanya mempersiapkannya bagi mereka yang mampu membayar; pemangkiran bahasa Indonesia dalam kegiatan pendidikan dengan memilih bahasa Inggris sebagai gantinya, sejatinya juga menyodorkan sumber legitimasi lain bagi kita untuk mendakwa RSBI telah mempraktekkan pendidikan secara inkonstitusional. Lalu, untuk (si)apa sebenarnya RSBI?
Damanhuri, Periset lepas, bergiat di IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 April 2011
No comments:
Post a Comment