-- Maria Darmaningsih
TAHUN ini kelompok kesenian yang mengusung seni tradisi Jawa di Jakarta Padnecwara berumur 35 tahun. Retno Maruti, sang maestro itu, masih saja berkarya bahkan tetap berunjuk kebolehan di atas pentas.
Pada 30 April dan 1 Mei 2011, Padnecwara akan mementaskan lakon Savitri di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Pentas ini tidak saja bakal membuktikan kesetiaan Retno Maruti menekuni kesenian tradisi, tetapi juga membersitkan ”kekeraskepalaannya” menyeruak kesibukan kota seperti Jakarta dengan seni yang ”seolah-olah” berkesan lamban.
Padnecwara, yang diambil dari bahasa Sansekerta padmi dan iswara berarti permaisuri raja. Dalam pengertian itu ada unsur pengagungan terhadap perempuan yang berada dalam ranah tradisi. Kelompok ini memiliki ciri khas memakai tembang sebagai dialog.
Sampai saat ini telah melahirkan 12 karya tari yang dipentaskan, di antaranya Bedaya-Legong Calon Arang koreografer bersama Ayu Bulantrisna Djelantik, Suropati, Dewabrata, Kangsadewa, Ciptoning, Sekar Pembayun, Palgunadi, Abimanyu Gugur, Roro Mendut dan Damarwulan.
Tiga puluh lima tahun melalui karya-karyanya Padnecwara senantiasa mengajak kita untuk melakukan kontemplasi batin dan filosofis atas nilai kehidupan masa lalu yang bisa diterapkan di masa kini. Tiga puluh lima tahun sebuah kurun waktu yang penuh kesetiaan melakukan panggilan hidup untuk menampilkan kebudayaan Jawa dalam sentuhan kekinian.
Tiga puluh lima tahun Padnecwara melawan arus modernisasi dan materialisasi dalam kehidupan kota metropolitan, yang demikian lahiriah, dan tiga puluh lima tahun Retno Maruti bagai sebuah teratai yang senantiasa lahir kembali dan hidup lumpurnya duniawi.
Tidak mudah
Tidak mudah menegakkan sendi-sendi tradisi di tengah kebisingan kota, yang cenderung bergerak cepat dan urban. Tetapi sekeluarga Retno dan suaminya Sentot Sudiharto dan anak semata wayang mereka, Rury Nostalgia, seperti batu karang yang teronggok. Mereka berdisiplin keras untuk sampai kepada pentas demi pentas yang tentu tidak mudah.
Jangan kata soal dana, mengumpulkan orang-orang urban yang ”masih” punya hati untuk menekuni tradisi dalam pusaran kota saja sulitnya minta ampun. Tetapi toh kali ini kelompok ini seolah menyeruak kembali menghadirkan Savitri.
Garapan Savitri pernah ditampilkan di Teater Arena (yang sekarang telah menjadi Teater Jakarta) Taman Ismail Marzuki (TIM), tahun 1978, ketika Retno Maruti mendapatkan penghargaan Penulisan Naskah Tari Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta.
Seakan sebuah lingkaran, sebagai titik balik yang menunjukkan keteguhan hati seorang perempuan Savitri (Maruti). Perjuangan selama 35 tahun berada di ranah kesenian Jawa, tetapi senantiasa memberi arti kekinian terhadap kisah-kisah terutama kisah perempuan dalam Ramayana ataupun Mahabarata. Keteguhan cinta yang tiada pernah putus dalam menjalani pilihan hati (pilihan hidup).
Pementasan Savitri di GKJ diawali dengan adegan para penari putra, kemudian disusul keluarnya satu per satu penari perempuan, Retno Maruti/Rury Nostalgia, Wati Gularso, Yuni Trisapto, Nungki Kusumastuti, Yully Purwanti, Inda Turner, Chrystina Binol, Hanny Herlina, dan Risna Astari, sembilan penari bedoyo, yang melakukan gerak lincak gagak, dengan tenang, lembut tanpa pretensi mereka membentuk komposisi yang indah.
Keindahan tercipta atas perpaduan dari kontrasnya penari putri lembut gaya Surakarta dan penari putra gagah gaya Yogyakarta. Penari putra yang terlibat kali ini adalah Wahyu Santosa Prabawa, Agus Prasetya, Sarjiwo, Widaru Krefianto Kaswarjono, Hermawan Sinung Nugroho, Anter Asmorotejo, Yestriyono Piliyanto, Joko Sudibyo, dan Sagitama Krisnandaru Kaswarjono. Bambang Pujasworo, dosen dan ahli tari Yogyakarta sebagai koreografer untuk penari putra.
Gerak-gerak tari ini disatukan dengan tembang yang ditulis oleh Blacius Subono, sebagai penata gending. Subono, seorang komposer dan dosen ISI Surakarta, menulis tembang sesuai karakter situasi tokoh dalam setiap adegan dalam bentuk yang bukan macapat.
Pada lagu tertentu diberi nuansa Gregorian, di mana dihadirkan suara 1, 2, dan bahkan 3. Juga dalam garapan ini Subono melepaskan keterikatan atas pathet, di mana biasanya dalam tembang Jawa pathet merupakan pakem. Karena itu, dalam tembang-tembang Savitri, terasa nuansa puitis terdengar mendayu sekaligus kuat dan mampu membawa kita ke dunia antah berantah.
Pada pentas kali ini Retno Maruti mencoba memadukan gaya tari Surakarta dengan Yogyakarta, yang sebelumnya tidak dilakukan dalam naskah yang sama. Perpaduan ini bisa jadi sebuah upaya sinergi untuk memupus opini Surakarta dan Yogyakarta yang selalu berkelahi....
Selamat ulang tahun ke-35 Padnecwara....
Maria Darmaningsih, Direktur Indonesian Dance Festival 2012
Sumber: Kompas, Minggu, 24 April 2011
No comments:
Post a Comment