Saturday, April 23, 2011

[Tanah Air] Ketika Kearifan Lokal Tergerus Zaman

-- Dedi Muhtadi

DI sekitar Situ Cisanti, tempat pertama kali sungai purba Citarum mengalirkan air dari kawasan hutan Gunung Wayang, Bandung Selatan, terdapat beragam mitos yang diungkapkan sejumlah juru kunci. Namun, titah leluhur Priangan, Jawa Barat, terkait dengan pelestarian alam itu kini tinggal cerita.

Oman (58), seorang juru kunci yang turun-temurun tinggal di sana, mengungkapkan, dulu pamali (tabu) orang masuk hutan Gunung Wayang. Larangan ini sudah dipatok oleh karuhun (leluhur). Siapa saja yang berani masuk, apalagi beritikad buruk, bakal tersesat dan terkena mamala (musibah). ”Pernah ada orang masuk dan menebang pohon di Gunung Wayang, pulangnya meninggal,” ujar Oman.

”Dulu hutan ini angker, siapa saja yang masuk ke hutan ini sering kasarung (tersesat). Dia terus berputar-putar di sekitar hutan dan tidak bisa pulang,” timpal Ma Abu (75), juru kunci lainnya, menguatkan.

Makna dari ketabuan itu sebenarnya adalah agar hutan di kawasan itu tidak rusak dijamah oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Namun, warga sekarang sudah tidak lagi memerhatikan ketabuan. ”Sekarang zamannya sudah lain,” kata Oman menambahkan, seraya menunjuk ribuan petani masuk ke areal hutan dan menyulapnya menjadi lahan pertanian semusim, seperti sayur-mayur.

Padahal, penggunaan mitos atau kepercayaan masyarakat setempat untuk mengeramatkan sebuah tempat masih efektif sebagai upaya melestarikan alam di sekitar tempat tersebut. Bahkan, cara itu bisa berdampingan dengan institusi formal yang sudah ada, seperti undang-undang, termasuk aparat penegak hukum.

”Itulah sebabnya, banyak komunitas adat yang dulu sering menggelar ritual adat di sebuah lokasi bertujuan agar menimbulkan kesan angker atau harus diperlakukan dengan hati-hati oleh masyarakat biasa,” kata Dadan Madani, tokoh pemuda dari Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, beberapa waktu lalu.

Generasi keenam dari kuncen atau penjaga Gunung Wayang, Ujang Suhanda, menambahkan, institusi formal seperti undang-undang disertai aparatnya sebenarnya bisa berjalan bersama dengan institusi budaya.

”Masyarakat masih percaya ada peraturan tersendiri ketika memasuki kawasan yang dianggap angker. Peraturan tersebut bisa berupa pantangan ataupun kewajiban yang harus dilakukan sebelum beraktivitas,” tuturnya.

Di hulu Citarum, penggunaan mitos belum sebanyak yang dilakukan berbagai komunitas adat untuk melindungi alam dari perusakan oleh manusia. Pasalnya, mitos sering dibenturkan dengan agama sehingga yang tampak hanya ideologi atau keyakinan. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal dalam konservasi alam selalu bertujuan pada kemaslahatan bersama.

Acara ritual adat untuk menyelamatkan hutan dan air yang pernah ada di sana, misalnya, upacara Kuwera Bakti Darma Wisada. Terakhir, upacara ini digelar pada pertengahan 2007 dan tidak pernah digelar lagi karena menuai kontroversi.

”Kami akhirnya melakukan pendekatan rasional bahwa sumber air itu milik bersama dan harus dilestarikan. Pengetahuan warga kami cukup terbuka karena akses pendidikan di Kota Bandung relatif dekat,” ungkap Agus Darajat, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lestari, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari.

Konservasi-ekonomis

Perambahan yang menyebabkan alih fungsi lahan dari penangkap air (catchment area) menjadi pertanian semusim, terkait kepemilikan tanah yang sempit akibat tekanan penduduk. Di Kecamatan Kertasari, menurut Dede Jauhari, seorang penggerak Masyarakat Peduli Sumber Daya Alam setempat, berdiam 70.000 penduduk atau 12.000 keluarga yang hampir seluruhnya berusaha tani.

Secara umum, Kawasan Hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan didominasi oleh Kawasan Hutan Lindung dan sebagian besar kawasan itu masuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu. Salah satu area yang menjadi pusat perhatian Perum Perhutani adalah Situ Cisanti yang merupakan hulu Sungai Citarum. Aliran sungainya mengalir melalui kawasan hutan yang berada di Resor Pemangkuan Hutan Pacet Bagian KPH Ciparay petak 59, 60.

Sebagian besar kawasan hutan yang berada pada aliran utama DAS Citarum Hulu lebar kawasan hutan hanya antara 50 dan 200 meter. Adapun areal di sekitarnya merupakan tanah milik masyarakat yang dijadikan areal pertanian sayuran dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.

”Mengingat posisinya yang sangat vital, maka diperlukan kegiatan peningkatan kualitas sempadan sungai DAS Citarum Hulu yang berada dalam kawasan hutan,” ujar Bambang Julianto, administratur Perum Perhutani Bandung Selatan.

Guna meningkatkan fungsi konservasi dari kawasan hutan perlu dilakukan pengayaan dengan penanaman tanaman yang berfungsi sebagai penahan erosi permukaan ataupun longsor. Jenis-jenis vegetasi yang dipilih adalah kaliandra, bambu, dan rumput gajah. Pemilihan jenis tersebut dimaksudkan selain berfungsi sebagai penahan erosi dan longsor, fungsi ekonomi dari ketiga jenis tersebut juga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat sekitar. Warga dapat mengembangkan perlebahan ataupun peternakan.

Terhadap warga perlu dilakukan pendekatan konservasi dan ekonomis. Pemilihan jenis tanaman kaliandra, misalnya, membantu pengembangan perlebahan di samping sebagai penyedia kebutuhan kayu bakar bagi masyarakat sekitar.

Pengembangan rumput gajah sebagai penahan erosi permukaan juga sebagai penyedia hijauan makanan ternak yang merupakan salah satu budaya usaha masyarakat sekitar. Adapun pengembangan bambu yang memiliki perakaran kuat akan berfungsi menahan sempadan sungai dari gerusan air.

Apa pun inisiatifnya, upaya pelestarian daerah hulu Sungai Citarum harus dilakukan semua pihak karena sungai purba sepanjang 310 kilometer yang mengalir dari Situ Cisanti hingga Laut Jawa di ujung Kabupaten Karawang-Bekasi, Jawa Barat, ini ini sangat strategis. Salah satu fungsinya, mendukung keberlanjutan listrik interkoneksi Pulau Jawa Bali untuk menggerakkan usaha dan menerangi hampir setengah dari penduduk republik ini.

Luas daerah alirannya mencapai 718.289 hektar. Itu terdiri dari hutan negara 158.174 hektar (22 persen), yakni milik Perhutani 137.298 hektar (19 persen) dan kesatuan pemangkuan hutan Bandung Selatan 55.446 hektar (8 persen). Kawasan konservasinya sendiri hanya 3 persen.

Sebagian besar lahan di daerah aliran sungai terpanjang di Jawa Barat ini milik masyarakat, 560.094 hektar (78 persen) yang didominasi oleh lahan pertanian, permukiman, industri, dan lain-lain. Semua limbah dari aktivitas kehidupan di kawasan ini dibuang ke Citarum.

Betapa strategisnya ekosistem tersebut bagi kehidupan masyarakat, kiranya kearifan lokal tadi perlu diaktualisasikan kembali dalam konteks kekinian.

Sumber: Kompas, Sabtu, 23 April 2011

No comments: