SUATU hari, Iriantine Karnaya bertemu perempuan bertubuh sangat besar di bandar udara. Segera saja pertanyaan ’bagaimana bisa perempuan itu bisa melihat bagian paling intim dari tubuh yang berada di antara selangkangan,’ melintas. Kali lain ia bermimpi seakan-akan ada yang menunggu, di satu tempat yang ia juga tidak tahu.
Dua peristiwa yang menyisakan galau panjang itu melahirkan tiga karya patung yang berkelindan. Warnanya putih. Bahannya akrilik. Bentuk dasarnya bulatan, dengan kepala sebesar kepalan tangan. Permukaannya licin. Kesannya jenaka, sekaligus satir.
Patung pertama menonjolkan lekuk halus jari-jari dua tangan yang bertemu, terkesan menunggu (I’m Blind, but I Know You). Patung kedua menonjolkan pusar di tengah bagian tubuh yang membola (I Can’t See it). Patung ketiga, bulatan dengan retakan yang garisnya berwarna emas (Earthquake of My Soul).
Tiga patung itu merupakan ekspresi pergulatan dirinya sebagai perempuan bertubuh besar, yang didefinisikan industri kecantikan dan menancap di benak banyak orang sebagai ’keluar dari pakem tentang tubuh perempuan’. Juga merupakan ekspresi kerisauannya akan banyak hal, meningkahi sesuatu yang entah dari alam bawah sadar.
Pergulatan eksistensial
Karya Iriantine memperlihatkan bagaimana perempuan mendefinisikan diri dan pengalamannya secara sangat khas di tengah narasi dominan yang mendefinisikannya. Mereka mengambil kembali subyek diri, menolak definisi peran sebagai ’liyan’, dan menolak obyektifikasi tubuh, yang secara historis, selalu dihubungkan dengan perempuan, memisahkannya dari pikiran dan perasaan.
Interaksi pengalaman personal dan pengalaman sosial mematahkan mitos tentang perempuan. Perempuan tidak lahir, tetapi ’menjadi’. Dekonstruksi makna perempuan yang diperjuangkan secara militan oleh filsuf dan feminis seperti Simone de Beauvoir, Toril Moi, Betty Friedan, juga RA Kartini sampai titik tertentu, mewujud dalam 29 karya 13 perempuan perupa itu yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 14-23 April 2011.
Tema Sedekat Konde Sejauh Cakrawala: A Tribute to Emiria Soenassa membingkai segala teori dan pemikiran tentang pengalaman perempuan. Konde yang merupakan gulungan helai-helai rambut (pengalaman) perempuan, bisa dimaknai sebagai kearifan perempuan menjalani hidup yang luasnya bak cakrawala dengan segenap praharanya.
Karya-karya itu merekam dialektika pergulatan panjang perempuan tentang diri dan berbagai hal di luar diri. Tak hanya menghidupkan notion feminis, ’the personal is political’, tetapi juga ’the personal is social’ dan ’the personal is spiritual’.
Dengan karyanya mereka berbicara soal seksualitas, identitas, sampai pertarungan budaya; dari yang meditatif sampai ekspresif, kemarahan, kemurkaan, dan keserakahan; dari rahim sampai sesuatu yang tak terjangkau nalar; dari perlawanan yang telanjang sampai yang subtil, tak terselami.
Seluruh karya yang dipamerkan itu secara nonteknis seperti terhubung satu dengan yang lain dalam jalinan rumit, sekaligus terurai, eksklusif sekaligus inklusif dalam permadani kehidupan perempuan.
Melalui ”Mother and Child”, Dolorosa Sinaga memotret perempuan yang menggenggam kekinian, tegak, menaklukkan ketakutan. Tak sulit menengarai, karya-karyanya yang senantiasa menjadi ruang bersuara bagi yang terbisukan itu, adalah sikap penolakannya terhadap diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan dan mereka yang terpinggirkan.
Karya Yani Mariani, ”Melihat Surga bagi Anaknya” yang kontemplatif, terhubung dengan karya Lakshmi Shitaresmi dan Arahmaiani. Karya Indah Arsyad yang tajam memotret obyektifikasi perempuan tak sulit dihubungkan dengan karya surealis-simbolik Wara Anindyah dan karya Graziella Sara Renjani. Karya Dyan Anggraini seperti menjadi antitesis dari karya Neneng S Ferrier dan Neddy Santo, tetapi sesungguhnya melengkapi puzzle tentang situasi perempuan, pun karya Lydia Poetrie.
Di tempatnya yang damai, sang perintis, Emiria Soenassa akan tersenyum menyaksikan konvensi tentang perempuan telah dimainkan dengan berani melalui karya 13 perempuan perupa itu. Obyek menjadi subyek, dan subyek menjadi obyek oleh subyek; suatu permainan balik-membalik yang membuat Emiria sempat dipandang sebagai ’liyan’ pada masanya, karena melukis perempuan telanjang.
Zaman telah berubah. Perjuangan Emiria tuntas sudah. (MARIA HARTININGSIH)
Sumber: Kompas, Minggu, 17 April 2011
No comments:
Post a Comment