-- Bre Redana
ADA profesi yang pada dirinya tak melekat pengertian bekerja, yakni ”selebriti”. Cita-cita menjadi selebriti, kata remaja cantik. Televisi sering mengucapkan, dia adalah selebriti. Dia telah menjadi selebriti.
Sama seperti ”budayawan”, sebutan itu agaknya lebih dimaksudkan untuk menggambarkan alam dewa-dewi yang serba enak, serba ada, tak perlu bekerja. Berbeda dengan misalnya desainer yang berarti harus membikin desain, petugas asuransi yang harus cari klien dan terkadang menjengkelkan, tukang sapu yang berarti harus nyapu, dan seterusnya. Menjadi selebriti atau jenis-jenis ”pekerjaan” yang tidak usah berkonotasi kerja lebih menjadi dambaan.
Terlebih untuk suatu bangsa yang melompati fase-fase perkembangan peradaban. Bayangkanlah, tanpa pernah melalui zaman pencerahan yang mengagungkan akal budi dan pemikiran, dilanjutkan revolusi industri yang mengutamakan efisiensi serta utility, tiba-tiba masuk ke era konsumsi. Jadilah yang berkesempatan punya segalanya tanpa bekerja pamer kekayaan.
Sedangkan yang belum berkesempatan, ngiler di depan televisi, silau oleh gebyar kebendaan. Menunggu mukjizat menjadi kaya mendadak. Segala sesuatu pokoknya gemebyar, tak punya mutu sekalipun akan disukai. Ini yang seharusnya membuat kritikus maklum, mengapa program-program kita sebagian besar jelek.
Kritik terhadap banalisme kebudayaan seperti itu telah lama ada. Thorstein Veblen pernah menulis buku The Theory of the Leisure Class (terbit pertama tahun 1953), yang lalu menjadi acuan semua yang tertarik pada perilaku kelas atas. Di situ Veblen menegaskan maksudnya dengan ”leisure class”, yakni penggunaan waktu yang tidak produktif.
Dia lacak dari akarnya sejak zaman baheula, kelahiran leisure class berkoinsidensi dengan ihwal kepemilikan dalam sejarah ekonomi. Pada zaman barbarian, kepemilikan dimulai dengan kepemilikan atas perempuan—umumnya hasil rampasan. Dari kepemilikan atas perempuan terjadi evolusi sampai ke pemilikan atas hasil-hasil industri.
Kita harus melihat konteks Veblen menulis bukunya di zaman itu. Ia tengah menyorot munculnya kelas baru di Amerika pada waktu itu, nouveau riche, yang ia anggap tidak konsisten dengan kebutuhan produktivitas masyarakat modern. Kelas sosial baru itu adalah predator dari benda-benda mewah, bergaya hidup limpah ruah. Di situ ia menggunakan istilah ”conspicuous leisure”—ketidakproduktifan yang mencolok mata.
Saudara-saudara sebangsa setanah air, itu juga yang kita lihat di sekeliling kita sekarang. Pihak-pihak dan kelas penguasa yang kita ragukan produktivitasnya secara mencolok memamerkan kemakmurannya. Pakaiannya bagus, memakai jaket kulit meski ini negeri tropis, arloji mewah, cincin bermata berlian. Dari yang diam-diam kita duga korupsi sampai yang telah terdakwa sebagai koruptor dan penilep uang rakyat, semua tampil di televisi dengan kemewahan.
Itu semua adalah antitesa produktivitas. Makin Anda melihat gemebyar-nya kelas atas, sebenarnya berarti makin reyotnya kehidupan rakyat secara keseluruhan. Anda tahu sendiri, jalanan rusak di mana-mana, sekolah ambruk, kemiskinan rakyat tecermin sampai ke hantu-hantunya yang muncul di bioskop. Kuntilanak hidup di pohon, pocong ngumpet di rumah sakit, jelangkung jalan kaki ke mana-mana karena tak punya ongkos.
Sumber: Kompas, Minggu, 24 April 2011
No comments:
Post a Comment