Sunday, April 17, 2011

Mari Menghargai Sebuah Dokumentasi

-- Riki Utomi

KITA tentu sepakat bila suatu ilmu yang kita geluti menjadi bermakna karena kita mengamalkannya, karena juga oleh faktor tersedianya referensi yang menjadi sumber pengetahuan ilmu tersebut. Segala sumber ilmu itu dapat termaktub pada buku-buku, juga dapat berupa kliping-kliping koran yang terbit dari berbagai tahun silam. Tetapi tidak semua orang yang memiliki sebuah gagasan besar untuk mendokumentasikan semua literatur buku dan kliping-kliping itu secara konsisten agar orang lain dapat dengan langgeng belajar dari dokumentasinya. Hal itu tentu memerlukan kerja keras selama bertahun-tahun.

Seorang HB Jassin, seperti yang dikatakan Ignas Kleden (2004) merupakan seorang “dokumentator”. Negeri ini boleh merasa beruntung seandainya dapat memiliki seorang Jassin lagi dalam 50 atau 100 tahun mendatang. Dokumentasi Sastra HB Jassin, bukan hanya menjadi saksi ketekunan dan komitmennya seumur hidup, tetapi juga sebuah dokumentasi terbaik dan juga terbesar di dunia tentang apa yang telah dicapai dalam sastra Indonesia modern. Lanjut Kleden, lebih dari itu, dokumen itu telah dibangun selama bertahun-tahun tidak dengan dukungan dari lembaga manapun —pemerintah maupun swasta, nasional maupun asing— tetapi dilakukan sendiri dengan kekuatan fisik, kekuatan finasial, kekuatan intelektual, dan juga kekuatan jiwa yang ada padanya.

Baru setelah itu, Ali Sadikin yang pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dapat menghargai usaha tersebut dan meringankan beban keuangan dan menajemen Jassin. Dalam dunia sastra Indonesia (modern) di Indonesia dewasa ini, pertumbuhannya telah mengalami perkembangan yang pesat dan mengagumkan. Perkembangan yang diiringi apresiasi yang memadai menjadikan pertumbuhan sastra Indonesia mampu menunjukkan eksistensinya bukan hanya di Indonesia tetapi juga di manca negara.

Sebuah dokumentasi memiliki arti penting untuk memajukan sebuah ilmu pengetahuan. Dia —dokumentasi itu— sebagai tempat tumpuan, harapan, dan “pelarian” setelah sumber-sumber lain tak dapat ditemukan. Maka sebuah dokumentasi mampu hadir sebagai pencerminan dari, katakanlah “budaya baca” kita, inilah pentingnya dari sebuah dokumentasi. Bukankah untuk menanamkan sikap budaya membaca juga ditopang dari lengkapnya literatur dan sumber-sumber buku yang memadai dan mudah didapat?

Dan kemudian, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dalam hal memajukan budaya baca, sungguh telah memiliki peran dan andil besar. PDS HB Jassin bukan saja sebagai bentuk perpustakaan, tetapi juga sebagai ruang publik untuk diskusi, pertemuan sastra, dan gedung ilmu pengetahuan yang patut dijaga dan dilestarikan. Mengingat begitu urgennya pusat dokumentasi ini, sudah semestinya siapapun yang cinta akan dunia sastra patut menghargainya.

Namun belum lama ini, seperti yang kita saksikan di tayangan berita-berita televisi atau juga di media-media massa , mengabarkan bahwa PDS HB Jassin tidak lagi memiliki dana subsidi yang memadai dari pemerintah. Ini tentu sangat menyedihkan. Sebagai sebuah pusat perbukuan sastra terlengkap, keberadaan PDS ini mampu menjadi tumpuan utama bagi semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah sastra.

Dari sepucuk surat yang diterima Ajip Rosidi pada 16 Februari 2011 lalu, yang langsung ditandatangani oleh Fauzi Bowo, sangat mengejutkan. Surat yang memiliki keterangan nomor SK IV 215/2011 itu menetapkan secara jelas bahwa Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin tahun ini hanya memperoleh dana dari pemerintah DKI Jakarta sebesar 50 juta rupiah. Hal ini menyedihkan Ajip Rosidi selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, sebab Ajip tahu betul bahwa angka Rp50 juta setahun tidak dapat menopang perkembangan PDS.

Tak dapat disangkal, dengan alokasi dana seperti itu tentu akan tidak memadai untuk perawatan optimal. Pemerintah semestinya lebih jauh melihat betapa besar fungsi dan peran PDS HB Jassin selama ini dalam menumbuhkan perkembangan sastra. Harus diakui bahwa HB Jassin sebagai pendirinya benar-benar berjuang untuk memajukan dunia sastra di Indonesia ini dengan semangat dan cita-cita yang luhur juga tanpa mengenal lelah. Bertahun-tahun Jassin mengumpulkan dan mendokumentasikan buku-buku sastra hingga orang lain hari ini dengan mudah dapat menikmatinya tanpa kesulitan. Jassin dengan kesadarannya ingin menunjukkan bahwa sastra Indonesia memiliki sejarah perkembangan yang panjang dan perlu diapresiasi. Dia juga banyak menulis, membela kritikan-kritikan tajam yang menyerang karya-karya sastrawan Indonesia , mengulasnya dengan brilian nan menggugah bahwa karya-karya sastrwan kita memiliki kualitas yang unggul. Semua itu dilakukan oleh sang “Paus Sastra” Indonesia itu dengan loyalitas tinggi. Seperti Ignas Kleden bilang, seandainya kita mempunyai lima orang Jassin saja, maka mungkin sekali ingatan kita akan tertolong, mungkin banyak kesalahan dapat terhindar, dan mungkin pula kita sudah maju beberapa langkah lebih ke depan dari sekarang, dan tidak terlalu sering salah alamat.

Jassin tidak sebatas dokumentator, dia juga memberi contoh apa gunanya membangun sebuah dokumentasi, karena itu dia menulis, melakukan kritik, menulis pengantar teori, membuat studi, mengajar sastra dan mengajak orang lain melakukan hal yang sama dengan memanfaatkan dokumentasinya tanpa meminta bayaran dari menggunakan dokumentasinya. Upaya-upaya besar Jassin itu tentulah harus dinilai dengan apresiasi A Plus dan gegapnya tepuk tangan kita kalau kita sendiri, memang, mau menghargai sebuah dokumentasi itu.

Budi Darma (dalam Kleden) menyebutkan bahwa Jassin adalah kritikus tulen dan juga kritikus plus. Dia menjadi kritikus tulen karena telah menghargai sastra sebagai benar-benar suatu produk, bukan sekadar produk sampingan. Dia juga kritikus plus, karena diantara banyak kritiknya, ada beberapa yang matang menjadi kritik yang penting yang tak mungkin dilewatkan peneliti lainnya.

Bercermin pada semua itu, setidaknya pemerintah DKI Jakarta memiliki andil besar dalam mempertahankan PDS HB Jassin. Sebab, jerih payahnya dalam menumbuhkan ilmu pengetahuan sastra Indonesia telah jauh dan tanpa pamrih. Sepatutnya kita memberi apresiasi tinggi dengan menjaga dan menghargai PDS itu yang telah didirikannya. Arti penting dokumentasi tersebut baru dapat dipahami, bila diingat bahwa untuk berbagai bidang studi lainnya hampir tidak ada pusat dokumentasi di Indonesia yang dapat diandalkan. Untuk belajar sejarah dan kebudayaan Indonesia mahasiswa dan sarjana Indonesia akan pergi ke Leiden (Belanda). Untuk belajar politik mereka harus ke Ithaca, Amerika Serikat. Untuk belajar ekonomi ke Canberra (Australia). Dan untuk belajar asal-usul dan perkembangan bahasa sendiri mungkin harus ke Hamburg (Jerman) atau Kyoto (Jepang). Hanya untuk belajar sastra Indonesia modern seorang sarjana atau mahasiswa yang tekun cukup indekos di Jakarta dan bisa mendapatkan hampir segala bahan yang dibutuhkannya. Demikian pula mahasiswa asing yang ingin menulis tentang sastra Indonesia modern niscaya belum mantap hatinya jika belum pernah memanfaatkan PDS HB Jassin.

Maka, betapa urgennya sebuah PDS HB Jassin dalam menumbuhkembangkan sastra Indonesia di Tanah Air ini. Untuk itu kita mesti menghargai jerih payahnya dan alangkah terpujinya kalau kita turut menjaga Pusat Dokumentasi itu. Pemerintah DKI Jakarta dalam hal ini, hendaklah berpikir kembali, berpikir jauh ke depan dalam mengambil langkah-langkah sebuah kebijakan. Dan harus ada upaya konkret dari pemerintah untuk mempertahankan PDS HB Jassin ini dengan perhatian yang tinggi, selain memberi dana besar yang memadai untuk segala proses perawatannya.

Membangun manusia Indonesia seutuhnya bukan hanya dari segi finansial yang mati-matian mengejar nilai ekonomis, bersifat hedonis, dan serba praktis, tetapi lebih luhur kita mau menjaga dan menghargai juga melestarikan jasa-jasa penegak ilmu pengetahuan yang bersifat humaniora, sastra dan budaya sebagai contohnya. Semoga harapan kita Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin tetap berdiri kokoh dan dikenang sampai kapanpun. Semoga.

Riki Utomi
, peminat dan penikmat sastra. Menulis puisi, cerpen, esai dan dimuat di sejumlah media dan terangkum dalam beberapa antologi bersama. Alumnus FKIP UIR Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini berproses di sekolah kejuruan di Kep. Meranti. Tinggal di Selatpanjang.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 17 April 2011

No comments: