-- Salomo Simanungkalit
SEORANG aktivis mungkin bereaksi sinis: mengapa opera mengenai penculikan yang diorkestrasi oleh negara—melalui tangan rezim Orde Baru—tiga belas tahun silam digelar di sebuah auditorium bank negara, Bank Indonesia, yang megah dan tenteram?
Namun, para penonton Opera Saku Ibu yang Anaknya Diculik Itu karya bersama pianis terkemuka Indonesia, Ananda Sukarlan, dan cerpenis produktif, Seno Gumira Ajidarma, cukup plong ketika soprano Aning Katamsi mengakhiri pertunjukan minimalis itu dengan, ”Gila…. Para pembunuh itu sekarang mau jadi presiden.” Tepuk tangan penonton untuk kalimat penutup itu cukup berderu pada Sabtu, 16 April malam lalu di Auditorium Gedung Bank Indonesia, Jalan Thamrin No 2, Jakarta Pusat.
Cerita pendek Seno yang diterbitkan Kompas edisi Minggu, 16 November 2008, itu adalah sebuah monolog seorang ibu korban penculikan 1998: menerka-nerka apa yang telah terjadi dengan salah satu anaknya yang aktivis. ”Tinggal Ibu yang kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.”
Ia sedang dalam kesepian yang pol. Satria si bungsu yang dulu seorang aktivis entah di mana, masih hidupkah, sudah matikah. Suaminya telah meninggal setahun yang lampau. Dua anaknya yang lain bermukim di luar negeri—jadi pialang saham dan kurator galeri lukisan—dan sesekali datang menengoknya: cuma di hari Lebaran.
Seluruh monolog yang tergolong kritis itu, seperti esai seorang pengamat penculikan (politik) di kolom opini surat kabar, berlangsung hanya di ruang keluarga dengan perabot yang bergeming sebagaimana sepuluh tahun silam: seperangkat kursi rotan dengan meja, televisi, telepon, kembang plastik, dan lukisan seorang laki-laki remaja. Langgam penyampaian kisah, kemudian latar dan perlengkapannya yang minim, memenuhi syarat cukup dan perlu bagi Ananda menulis komposisi opera saku berdasarkan cerpen Seno ini.
Opera saku menyerap ungkapan yang sebelumnya dikenal dalam kepustakaan: buku saku yang—karena ukurannya yang ringkas—mudah dibawa ke mana-mana. Dalam musik sastra, opera saku tak lain tak bukan opera yang dimainkan sesedikit mungkin pemusik dan seminim mungkin perlengkapan sehingga penyelenggaraannya praktis, mudah diadakan di mana-mana.
Biaya pemanggungannya, dengan demikian, bisa sangat ditekan. Komponis Inggris yang termasyhur dengan karya-karya vokalnya, Benjamin Britten (1913-1976), termasuk pemusik yang kerap memanfaatkan bentuk ini untuk gubahan-gubahan operanya.
Menyadari keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk penyelenggaraan opera di negeri ini, Ananda dengan Ibu yang Anaknya Diculik Itu merancang opera saku, justru dalam format ringkas yang ekstrem: dua pemusik—seorang pianis dan seorang peniup flute—dan seorang penyanyi sopran.
Kendala seperti ini tak pelak lagi menimbulkan kesulitan bagi komponisnya. Rentang nada yang cukup lebar bagi vokal adalah kebutuhan artistik untuk mengekspresikan beragam gejolak hati, tetapi beban ini harus ditanggung seorang penyanyi yang punya keleluasaan dalam wilayah nada yang terbatas.
Penggalan recitatif bernada-nada rendah dalam opera saku ini, misalnya, sangatlah menyiksa pita suara seorang soprano sekaligus mengganggu kenyamanan pendengaran penikmatnya. Tentu tak semudah membalik tangan memecahkan masalah ini, misalnya dengan melakukan transpose, sebab tak sedikit pada bagian lain mencuat nada-nada tinggi yang merupakan wilayah sopran murni.
Peran soprano
Ananda, yang dalam beberapa tahun terakhir bermukim di Spanyol, pada malam hari itu bertindak sebagai pianis, Aning Katamsi memerankan ibu yang anaknya diculik itu, dan Liz Ashford meniup flute. Mereka bertiga bahu-membahu selama lebih kurang 45 menit menyerap suara hati ibu yang anaknya diculik itu untuk kemudian meneruskannya kepada penonton. Berhasilkah?
Jawaban pertanyaan ini—apa boleh buat—amat bergantung pada pemeran ibu. Dialah yang harus menyiasati monolog panjang dalam cerpen itu—yang oleh sang komponis terutama dibangun sebagai recitatif, bagian vokal dalam opera yang dinyanyikan seperti ritme orang sedang berbicara dengan sebagian besar kata-kata dinyanyikan pada nada yang sama—agar berjiwa dan terasa bergejolak.
Ananda Sukarlan sangat pelit memanjakan telinga dengan ”aria” dalam karya opera sakunya ini. ”Aria” melodius itu menyebar sporadis hanya beberapa bar di antara recitatif panjang, tidak utuh sebagai sebuah nomor, dan berganti-ganti perannya diambil vokal, piano, atau flute.
Maka, dibutuhkan seorang soprano dengan artikulasi yang berkarakter sekaligus mimik dan bahasa tubuh berwatak di luar persyaratan musik vokal yang harus dipenuhi seorang penyanyi klasik Barat.
Daya hafal Aning Katamsi akan teks yang panjang harus dipuji; demikian pula ketepatan membidik nada, solfegio, dan teknik vokalnya. Dalam konteks ini terpuaskanlah elemen kognitif penonton.
Andaikan saja dilibatkan seorang sutradara yang mampu menenung mimik dan bahasa tubuh berwatak soprano kita ini untuk mencapai 40 persen dari mimik dan bahasa tubuh berwatak seorang Meryl Streep, Ibu yang Anaknya Diculik Itu yang digelar untuk memperingati Hari Kartini tahun ini pastilah tak hanya membekas di kepala, tetapi juga membekas di hati.
Sumber: Kompas, Minggu, 24 April 2011
No comments:
Post a Comment