-- Eddy D. Iskandar
SEBUTAN apa yang paling pantas bagi Rd. Aang Kusmayatna Kusumadinata atau lebih populer dengan panggilan Kang Ibing? Selama ini masyarakat lebih mengenalnya sebagai pelawak, bahkan lebih tepat komedian, bersama grupnya De Kabayan. Akan tetapi Kang Ibing juga menyanyi, mencipta lagu, main film, menyutradarai drama dan sinetron, menulis karya sastra Sunda, menjadi pembawa acara, menguasai ilmu bela diri silat, bisa ngadalang, tukang dongeng "heureuy" Sunda, pembaca puisi yang andal, dan yang kini dijalani pada masa tuanya - sebagai seorang mubalig.
Sulit menemukan sosok yang memiliki kemampuan seperti Kang Ibing, dengan penguasaan yang tidak hanya sekadar bisa. Boleh sebut pelawak mana pun, pasti tak ada yang memiliki kelengkapan talenta seperti Kang Ibing. Bahkan ketika ia tampil sendirian di pentas pun, tak pernah kehilangan magnet humornya.
Memang Kang Ibing tidak menjadi pelawak nasional yang legendaris seperti halnya Bing Slamet, tetapi bagi Jawa Barat, khususnya bagi masyarakat Sunda, sosok Kang Ibing boleh dibilang "tidak ada duanya", bahkan tidak tergantikan. Di mana saja ia berada, selalu membuat orang terhibur dengan sentuhan heureuy Sunda yang mengalir deras. Pentas dan kehidupan pergaulan sehari-hari menjadikannya sebuah ruang ekspresi yang menunjukkan keistimewaan sosok Kang Ibing, sosok yang tak pernah kehilangan rasa humor. Apa yang dilakukan Kang Ibing, seolah tanpa beban, mungkin cocok dengan sikap hidup Si Kabayan - peran yang melekat pada dirinya, sebagai orang yang "teu nanaon ku nanaon". Ia selalu bersikap seperti apa adanya, apakah menghadapi pejabat atau tukang becak sekalipun.
Adalah Rektor Unpad Prof. Dr. Ganjar Kurnia yang secara gamblang menunjukkan perhatian yang besar terhadap potensi yang dimiliki Kang Ibing sebagai seniman yang layak disebut genius. Beruntung cita-cita Ganjar untuk menampilkan Kang Ibing di Grha Sanusi Harjadinata, beberapa bulan lalu, untuk ngetrukkeun atau menunjukkan semua kemampuan dan kelebihan Kang Ibing dalam sebuah acara - lebih mengenal sosok Kang Ibing, bisa terwujud. Di atas pentas yang dipandu sastrawati Aam Amilia, Kang Ibing secara brilian menunjukkan kemampuan semua bidang seni yang dikuasainya, termasuk juga gaya berceramahnya sebagai seorang mubalig. Ganjar menilai, Kang Ibing sebagai komedian yang jenius, sebab setiap humor-humornya selalu menampilkan kejutan ketawa yang di luar dugaan.
Identitas Sunda
Meningkatnya kerinduan akan kesundaan yang ditunjukkan dengan berbagai aktivitas yang menegaskan identitas kesundaan, kadang kala terkesan masih "mencari-cari" atau baru menemukan sesuatu, apakah itu identitas pakaian ataupun ucapan salam. Akan tetapi bagi Kang Ibing, kesundaan itu sejak awal memang sudah melekat menjadi satu wujud penampilan yang apa adanya.
Humor-humornya sebagai penyiar radio Mara, pada 1970-an, bersama Aom Kusman (awal kepopuleran Kang Ibing), yang digandrungi pendengar, berbeda dengan umumnya penyiar waktu itu, sebab Kang Ibing menggunakan bahasa Sunda yang sangat komunikatif, sehingga begitu melekat bagi umumnya masyarakat Sunda. Ia juga masuk ke organisasi Sunda, Daya Mahasiswa Sunda (Damas), untuk lebih mengembangkan sikap kesundaannya. Ia mewarnai Damas - melalui kegiatan "Mimitran Damas" dengan drama Sunda karyanya dalam acara "Kawinan Senapati", bahkan memopulerkan lagu-lagu Sunda bagi anggota Damas.
Jika banyak pelawak yang mengenalkan bahasa Sunda ke masyarakat dengan bahasa Sunda gaul - seperti halnya yang dilakukan pelawak yang kini sedang naik daun, Kang Ibing justru tetap konsisten dengan bahasa Sunda yang hidup di tengah masyarakat umum dari masa ke masa. Kata "aing", "sia", "silaing", "dewek", yang dianggap kasar, menjadi lentur dan akrab, karena penempatannya yang benar dan hidup. Saya kira Kang Ibing pula yang memelopori masuknya kata-kata Sunda berkonotasi heureuy ke dalam kolom humor analisis sepak bola dunia yang secara tetap ditampilkan "PR" setiap berlangsungnya Piala Dunia.
Pada diri Kang Ibing, kita akan melihat kesundaan itu melekat secara utuh, apakah itu melalui ucap, tekad, dan lampah. Di manapun ia tampil, apakah sebagai pelawak, sebagai pembawa acara, sebagai pemain film dan lainnya - termasuk ketika berdakwah, kita akan selalu menyaksikan Kang Ibing sebagai orang Sunda yang lekat dengan kesundaannya. Dua skenario film saya yang menampilkan Kang Ibing bukan sebagai pemeran utama "Si Kabayan dan Gadis Kota" dan "Glen Kemon Mudik", tidak membuat Kang Ibing kehilangan daya tarik dengan ciri khas kesundaannya (antara lain dengan kostum pakaian pangsi, kain sarung, dan kopiah yang miring), bahkan bisa "mengalahkan akting" pemeran utamanya. Kejelasan atau keutuhan identitas kesundaan membuat Kang Ibing menjadi sosok yang sulit dicari bandingannya, sebab hadir tanpa dibuat-buat atau hanya sekadar nyunda.
Saya pernah berseberangan pendapat dalam diskusi tentang rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membuat film tentang "Perang Bubat". Kang Ibing dengan tegas menolaknya, bahkan meminta saya untuk tidak mendukung. Saya sangat memahami sikap Kang Ibing, apalagi ketika ia menekankan dengan ucapan tanpa kompromi, "Saya tidak mau ada yang mengalihkan perasaan urang Sunda yang tertanam selama ini terhadap peristiwa Bubat. Jangan lagi diutak-atik atau direkayasa, meskipun itu oleh ahli sejarah. Kalau mau bikin film jangan Perang Bubat". Dalam diri Kang Ibing seakan ada emosi kesundaan yang bergelora, meskipun ia tidak memaksakan untuk setuju atau tidak.
Dalam karya sastra Sunda, beberapa buah cerpennya yang dimuat dalam majalah Gondewa, Kania, Galura, juga naskah dramanya yang dimuat dalam majalah Cakakak, sangat khas Kang Ibing, dengan bahasa sehari-hari yang hidup dan humor-humornya yang di luar dugaan. Bahkan kritikus dan budayawan Mh. Rustandi Kartakusumah (yang pada 1970-an menjadi Redaktur majalah Gondewa) - dalam sebuah esainya, memuji karya Kang Ibing sebagai karya sastra Sunda yang layak disejajarkan dengan karya sastrawan Rusia ternama, Anton Chekov. Belakangan, secara berkelakar Kang Ibing juga suka berbangga diri, "Biar saja karya-karya saya luput dari perhatian kritikus sastra, yang penting mah dipuji oleh tokoh sastrawan Indonesia dan Sunda Kang Rustandi, bahkan dibandingkan dengan Anton Chekov!".
Kini Kang Ibing telah tiada, tetapi ia akan tetap hidup melalui karya-karyanya; film-filmnya, kasetnya, CD dongeng dan dakwahnya, dan akan dikenang sebagai putra Sunda yang sangat lekat dengan kesundaannya. Ia telah banyak berbuat untuk masyarakat, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Amin.***
Eddy D. Iskandar, Ketua Umum Forum Film Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 22 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment