-- M Fadjroel Rachman
TAK mudah mencintai Indonesia sekarang ini jika cita-cita berdirinya Republik Indonesia yang menjadi ukuran kecintaan kita kepadanya seperti yang ditulis dengan nyawa, darah, dan air mata rakyat serta para pendiri Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ”mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
Serta, ditegaskan lagi dengan janji akan ”membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Maka, cita-cita tulus itu seolah kata- kata hampa tak bermakna yang membuat orang bertanya-tanya, mengapa harus tetap mencintai Indonesia pada hari kemerdekaannya yang ke-65?
Ketidakadilan sosial
Apabila para pendiri bangsa itu masih bersama kita pada hari kemerdekaan ini, apakah yang akan mereka lakukan?
Misalnya, Anda adalah Sutan Sjahrir, salah seorang Bapak Bangsa seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan HOS Tjokroaminoto, juga seperti Ibu Bangsa Kartini, Tjut Nyak Dien, Roehana Koedoes, dan Dewi Sartika yang meyakini bahwa ”tiap manusia sungguh merdeka mengembangkan kehidupannya... di mana hal-hal jasmani tidak lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan”.
Pasti Anda akan memperjuangkan politik nilai yang percaya bahwa politik sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan manusia, Politics is the science of the good for man, to be happiness (Aristoteles, The Nicomachean Ethics), bukan politik Machiavelian di mana politik hanya sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan semata.
Anda juga akan berjuang keras menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948) serta hak-hak dasar sosial seperti hak untuk bekerja juga hak jaminan hidup untuk warga negara yang tidak mampu bekerja karena pengangguran, cacat, sakit, atau lanjut usia, dan bebas dari kelaparan seperti Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial, dan Budaya (PBB 1966 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005) serta Kovenan Internasional Sipil dan Politik (PBB 1966 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005).
Sebab, ini sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Bahkan diamanatkan terang benderang seperti Pasal 34 UUD 1945, ”Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”.
Jadi, apakah kemerdekaan itu? Perjuangan untuk membebaskan manusia dari pengisapan, penindasan, dominasi, dan penghinaan oleh manusia lainnya. Kemerdekaan individual dan kemerdekaan sosial. Mendudukkan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya setiap warga negara.
Nyatanya, setelah 65 tahun merdeka, ada 35 juta penduduk miskin atau 15,2 persen populasi (BPS, 1 Juli 2008). Jika garis kemiskinan menjadi 2 dollar AS per hari, orang miskin mencapai 52 persen populasi. Ada 4.516.100 dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka adalah lulusan SMA, SMK, diploma, dan universitas (Februari 2008). Kemudian, 4 juta anak kurang gizi. Misalnya, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mencatat, per 18 Juni 2010, ada 147 anak balita yang mengalami gizi buruk, ada 9 anak balita penderita gizi buruk yang meninggal.
Ketimpangan sosial juga semakin melebar, laporan BPS (Income Distribution by Classification World Bank; BPS, 2002-2006), untuk 20 persen pendapatan tertinggi rata-rata meraih 42 persen kue nasional (42,07 persen pada 2004 dan 44,78 persen pada 2005). Sementara untuk 40 persen pendapatan terendah rata- rata 20 persen kue nasional (20,80 persen pada 2004 dan 18,81 persen pada 2005).
Pendidikan sangat memprihatinkan dengan 11 juta anak buta huruf tidak pernah sekolah, 4.370.492 anak putus SD, dan 18.296.332 anak putus SMP.
Bahkan, wakil rakyat sibuk mengurus dirinya sendiri dengan usulan rumah aspirasi untuk 560 anggota DPR didanai APBN senilai Rp 200 juta per orang per tahun, sebelumnya dana aspirasi senilai Rp 15 miliar per orang per tahun, juga asuransi Rp 66 juta per orang per tahun, serta meminta gedung baru DPR senilai Rp 1,8 triliun. Selain pejabat publik, elite parpol berkuasa dan kepala daerah juga sibuk korupsi.
Kesejahteraan dan demokrasi
Pendiri bangsa kita memilih negara kesejahteraan dalam pengertian Robert E Goodin (The Real Worlds of Welfare Capitalism, 1999), yaitu (1) mengurangi kemiskinan, (2) memajukan kesetaraan sosial (mengurangi ketimpangan sosial), (3) memajukan stabilitas sosial, (4) memajukan inklusi sosial dan menghindari eksklusi sosial, serta (5) memajukan efisiensi ekonomi.
Suatu negara kesejahteraan sosial-demokrat adalah negara dengan jaminan sosial universal dan kelompok target luas serta tingkat dekomodifikasi ekstensif seperti Swedia, Denmark, Norwegia, Finlandia, dan Belanda. Dengan demikian, negara kesejahteraan bukan hanya suatu mekanisme melakukan intervensi atau mengoreksi struktur ketidaksetaraan, melainkan juga suatu kekuatan dinamis menata ulang relasi sosial.
Bung Karno menyebut sosiodemokrasi, Bung Hatta menyebut demokrasi ekonomi, dan Sutan Sjahrir berupaya keras mewujudkan negara kesejahteraan sebagai perdana menteri pertama Republik Indonesia (15 November 1945-3 Juli 1947).
Tentu saja sejumlah program kesejahteraan yang diimpikan Bapak atau Ibu Bangsa sejak merintis kemerdekaan tak bisa dijalankan secara sempurna pada awal kemerdekaan, seperti (1) mengusahakan menghilangkan pengangguran dan eksploitasi manusia oleh manusia, (2) mengusahakan perwujudan asas kerakyatan dalam perusahaan, serta (3) penyempurnaan undang-undang perburuhan dan jaminan sosial.
Kemudian, (4) menjamin hak dasar sosial: hak untuk bekerja, hak untuk menerima upah yang mencukupi kehidupan buruh sekeluarga, hak mendapat penghasilan yang sama untuk pekerjaan yang sama, hak untuk beristirahat, hak untuk memperoleh perawatan kesehatan jika sakit atau hamil, hak jaminan hidup untuk warga negara yang tidak mampu bekerja karena pengangguran, cacat, sakit, atau lanjut umurnya. Kita ditantang keras untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan sosial tersebut.
Membandingkan cita-cita kemerdekaan dengan realitas sosial kita setelah 65 tahun adalah upaya membangkitkan kesadaran kritis (Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas), yaitu ”membuka jalan ke arah pengungkapan ketidakpuasan sosial secara tepat karena ketidakpuasan itulah unsur nyata dari sebuah situasi menindas”.
Muncul optimisme bahwa kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial, ketidakpedulian dapat kita atasi bersama secara rasional dan realistis. Jadi, bagaimana cara mencintai Indonesia? Kata Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia, ”Aku cinta pada negeri ini, terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah”. Karena itu, optimistislah dan jangan pernah letih mencintai Indonesia.
M Fadjroel Rachman, Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment