Judul : Dari Kiai Kampung ke NU Miring, Aneka Suara Nahdliyyin dari Beragam Penjuru
Penyunting : Binhad Nurrohmat
Penerbit : Ar-Ruzz Media Group
Cetakan : I, 2010
Tebal : Halaman 248
MEMBINCANG Nahdlatul Ulama (NU) seolah tiada habisnya. Ketika mengobrol tentangnya, selalu ada hal menarik. Apalagi jika yang membincangnya adalah kaum muda NU, justru malah menyisa tanya. Sampai kapan organisasi kemasyarakatan ini mampu berdiri tegak di Republik ini? Atau karena telah lama berdiri tegak kemudian NU menjadi miring?
Buku kumpulan tulisan berjudul Dari Kiai Kampung ke NU Miring, Aneka Suara Nahdliyyin dari Beragam Penjuru yang ada di hadapan sidang pembaca ini ingin memotret NU dari sisi lain, sehingga tampak unik dan heboh. Buku ini merupakan penampungan "suara liar" Nahdliyyin muda masa kini mengenai perkembangan dan kondisi mutakhir NU. Menurut seorang penulisnya, jika kita menemukan buku bersampul hijau berjudul NU, kita sudah tahu isinya tanpa perlu membaca utuh buku itu. Mengapa demikian? Jawabnya sederhana. Tulisan tentang NU masih normatif. Para NU-is belum "berani" mengulas sisi lain NU yang sebetulnya juga layak dielaborasi.
Buku ini terdiri dari tiga kategori utama: Menonton NU, Mengulas NU, dan Mencanda NU. Dalam tulisan di kategori pertama, misalnya, sudut kemiringan NU terletak pada sense humor kelas tinggi para tokohnya. Di situ diceritakan, ketika Gus Dur menghadiri konferensi tingkat tinggi kepala-kepala negara, penampilannya sungguh istimewa. Agar para pemimpin negara tidak ngelantur, tulis Riadi Ng., dipasanglah lampu kuning-hijau-merah laiknya perhelatan MTQ di Indonesia. Begitu Gus Dur usai pidato, tepuk tangan membahana. "Bukan karena isi pidato saya hebat, tapi, mungkin mereka kagum: Saya tak bisa melihat, kok bisa tepat waktu," ujar Gus Dur merendah. (hlm. 39)
Nahdliyyin dan humor memang ibarat dua sisi mata uang, keduanya tak bisa dipisahkan. Humor ternyata menjadi obat penawar untuk melepas rasa penat dan bosan. Bagi kaum santri, humor merupakan bumbu sebuah perbincangan. Humor menjadi penyeimbang suasana. Dalam suasana tegang pun, kita justru menikmati "kemiringan" itu. (hlm. 41)
Menjadi agak serius ketika menelaah kategori kedua, Mengulas NU. Di situ kita pun dibuat terkaget-kaget, betapa tidak, Nahdlatul Ulama betul-betul "miring". Ia tak lagi menjadi kepanjangan dari NU, tapi menjadi "Nahdlatul Umum" di tangan Ahmad S. Alwy. Penulisnya menyatakan ia tak ingin membatasi terminologi NU semata organisasi para ulama dan mereka yang lulusan pesantren. Publik yang merepresentasikan semangat ke-NU-an dalam berbagai praktek keagamaannya juga bisa masuk kategori NU. Mereka, tulis Alwy, bisa datang dari penjuru mana pun: santri, priyayi, abangan, petani, guru, nelayan, dll. Dari kelas borjuis sampai proletar. Alhasil, Nahdlatul Umum merupakan bagian signifikan dalam perspektif lain dari Nahdlatul Ulama. (hlm. 117)
Sementara itu, Syaiful Arif memotret NU dari sudut pandang kebudayaan. Santri Pesantren Ciganjur ini memaparkan secara panjang lebar tentang berbagai persoalan mendasar di NU. Bahkan, ia sempat mengeluarkan otokritik yang cukup menyentil kuping Nahdliyyin di awal tulisannya: Persoalan di NU adalah tak mengerti persoalan NU itu apa...." Arif menyatakan bahwa kini kebudayaan NU tinggallah idealitas. Ia termanifestasi hanya di relung batin kognitif-normatif, pada titik tertentu kontradiksi dengan realita yang ada. Dengan kata lain, NU sekarang tak lagi menjelma kebudayaan, baik dalam arti hakiki maupun dalam NU. (hlm. 177)
Membaca buku ini membuat kita cukup terhenyak, betapa tidak, NU ibarat sebuah gedung laiknya menara condong di Pisa Italia, sungguh tampak miring. �Sudut elevasi kemiringan�-nya pada titik tertentu membuat siapa pun yang menyaksikannya miris dan merinding. Seperti apa kemiringan itu? Simak saja buku yang mendedahkan sisik melik dan siku-liku tubuh NU secara sederhana tapi mudah dicerna ini. (*)
A Musthofa Asrori, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Peneliti di Ciganjur Centre Jakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment