JANGAN remehkan pengunjung museum. Apalagi menganggap mereka datang dengan ”kepala kosong”, lalu seolah boleh disodori apa pun dan disajikan sesuai versi para pengelola museum. Pola pikir dan sikap semacam inilah yang, antara lain, jadi penyebab mengapa museum-museum di negeri ini seperti jalan di tempat.
Salah satu dari ribuan benda bersejarah hasil penggalian di situs-situs purbakala di Jazirah Arab dan Persia koleksi Oriental Institute Museum Chicago, Illinois, AS. (KOMPAS/KENEDI NURHAN)
Sedikit terdengar keras, tetapi itulah pesan penting yang harus disimak oleh para pengelola museum di Tanah Air sebab dalam banyak hal, pengunjung justru memiliki referensi sendiri yang mungkin berbeda daripada keterangan pada panil-panil yang menyertai koleksi pajangan suatu museum.
Pola pikir orang-orang museum yang selalu mencoba ”menyadarkan masyarakat akan pentingnya museum”, tetapi tanpa memahami apa yang diinginkan pengunjung, seperti saat ini, sesungguhnya adalah sebuah anakronisme. Sikap para pengelola museum yang masih saja selalu cenderung ”menyalahkan” masyarakat bahwa mereka yang tidak tertarik datang ke museum dinilai tidak sadar akan pentingnya fungsi museum, sesungguhnya adalah bentuk apologi semata dari orang-orang museum itu sendiri.
Dalam bahasa gaul anak muda generasi sekarang, pandangan semacam itu sudah ”jadul” alias ketinggalan zaman! Zaman sudah berubah. Pengetahuan tentang segala sesuatu, termasuk koleksi- koleksi yang dipajang di museum, kini dengan mudah bisa diakses melalui jaringan internet.
Ketika pengunjung jenis ini datang ke museum, kehadiran mereka lebih dimaksudkan untuk mengonfirmasi pengetahuan yang sudah ia peroleh tersebut dalam wujud yang lebih mendekati kenyataan; bertemu langsung dengan benda atau koleksi dimaksud. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada yang juga mendalami masalah permuseuman, menyebut proses ini sebagai salah satu bagian dari upaya mencocokkan pengetahuan dan hasil interpretasinya atas sesuatu.
Di sinilah kerap terjadi perbedaan tafsir antara pengetahuan yang ada pada masyarakat pengunjung dan sajian informasi dari pihak museum. Bagi pengunjung, museum bukan semata tempat rekreasi edukatif, tetapi juga sumber informasi untuk beragam kepentingan yang jauh lebih luas. Celakanya, tidak jarang informasi terkait koleksi yang ditampilkan sangat minim sehingga konteks makna dari suatu benda bersejarah gagal dihadirkan.
Pengalaman Daniel Haryono, kurator Museum Ulen Sentalu di Yogyakarta, cukup menarik disimak. Sekali waktu ia menghadiri pameran koleksi keraton-keraton Nusantara. Salah satu koleksi yang dipamerkan diterakan sebagai tombak Sriwijaya. Ironisnya, koleksi sebagus itu ditaruh begitu saja dengan lembar keterangan kecil yang hanya menyebutkan bahwa benda dimaksud adalah tombak Sriwijaya.
”Tidak di-protect, juga tidak dikasih sinar agar bisa mengundang perhatian pengunjung. Koleksi yang seharusnya bernilai tinggi itu betul-betul tidak bisa bercerita banyak,” kata Daniel.
Situasi ini berbanding terbalik ketika Daniel berkesempatan mengunjungi pameran ”Batu Berkisah” di luar negeri. Salah satu koleksi yang dipamerkan disebutkan batu dari Mesopotamia. Keterangan yang menyertainya begitu kaya. Bahkan, antara lain, disebutkan bahwa batu dimaksud jangan-jangan bagian dari menara Bibel di mana kuda Alexander melompatinya di situ.
Lewat ilustrasi sekilas ini, Daniel ingin mengungkapkan bahwa di luar sana ternyata—lewat penataan dan penyajian informasi yang kaya—sebongkah batu bisa menghadirkan begitu banyak cerita. Sementara di sini, kita yang memiliki tombak begitu bagus ukirannya, tetapi di ruang pamer koleksi itu hanya ditaruh begitu saja tanpa disertai keterangan yang cukup berarti.
Mengelola pengunjung
Boleh jadi akan muncul pandangan, adalah tidak pas membandingkan keberadaan museum-museum di negeri ini dengan sejumlah museum ternama di belahan lain dunia ini. Kesadaran masyarakat mereka, juga masyarakat dunia yang ramai mendatangi museum-museum ternama itu, sudah jauh lebih maju akan nilai penting peran dan posisi museum bagi kehidupan. Topangan dana operasional yang mereka terima juga tidak sebanding dengan apa yang ada di Tanah Air.
Jika itu masalahnya, bagaimana dengan cara penyajian dan penghargaan pada pengunjung? Bukankah seperti dikemukakan Daud Aris Tanudirjo, keberhasilan suatu museum juga terkait bagaimana pihak museum mengelola pengunjung.
Memasuki museum sejarah tentang Hongkong, misalnya, yang secara kualitatif tidaklah tergolong mewah dan luar biasa itu, pengunjung seperti dibangunkan kesadaran bahwa gemerlap Hongkong hari ini adalah hasil dari suatu proses panjang. Di sini, lewat sajian yang dikemas dalam beragam media, termasuk ruang ”pandang-dengar”-nya, rentang jarak yang panjang antara masa lampau dan masa kini, Hongkong terasa begitu dekat dan seolah menyatu dalam ru- ang pamer yang memang relatif sempit.
Museum Louvre di Paris, Perancis? O’o! Menyaksikan antrean di pintu masuk saja sudah membuat kita iri. Sementara museum-museum dalam kelompok Smithsonian Institute di Washington DC, Amerika Serikat— terutama Smithsonian Natural History Museum dan Smithsonian Air and Space Museum-nya— bukan saja membuat pengunjung berdecak kagum pada atmosfer yang melingkupinya, tetapi juga muncul pujian terkait bagaimana seharusnya koleksi museum disajikan kepada pengunjung.
Begitu pun museum ”kecil” di bawah bendera Oriental Institute di Hyde Park, sebuah kawasan elite di Chicago, Illinois, AS, sajian koleksi benda-benda purbakala hasil penggalian ratusan ilmuwan mereka yang dikirim selama puluhan tahun di Jazirah Arab dan Persia itu sungguh atraktif. Memasuki ruang-ruang pamer yang dibagi per wilayah temuan, pengunjung seolah dibawa ke dunia masa silam peradaban kawasan Mesopotamia berikut lembah Sungai Euprat dan Tigris-nya, juga kekayaan peradaban dari lembah Sungai Nil di Mesir. Menikmati sajian koleksi yang disuguhkan pengelola museum hanya perlu sedikit imajinasi apabila pengunjung ingin merasakan sensasi lain, ”bermimpi” ikut terlibat dalam suatu petualangan pencarian harta karun seperti dalam kisah sekuel film Indiana Jones-nya Harrison Ford.
Pertanyaannya, mengapa museum-museum di Tanah Air masih tergolong sepi pengunjung? Tentu saja dengan sedikit pengecualian terhadap Museum Geologi Bandung yang sudah sejak beberapa tahun terakhir lumayan diminati. Museum yang berada di bawah naungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini tercatat sebagai museum dengan pengunjung terbanyak. Jika pada 2005 jumlah pengunjung mencapai 150.000 orang, pada 2008 meningkat dua kali lipat menjadi 300.000 pengunjung. Tahun ini, jumlah itu diperkirakan melampaui angka 400.000 pengunjung mengingat hingga Juli 2010 jumlah pengunjung sudah mencapai 290.000 orang.
Museum-museum lain? Ada yang rata-rata cuma 2.000-3.000 pengunjung per tahun. Secara umum, museum-museum negeri (milik pemerintah) yang relatif terawat baik hanya bisa menjaring puluhan ribu pengunjung. Jika dibandingkan dengan keberadaan museum-museum di bawah naungan Smithsonian Institute yang selama 2009 membukukan jumlah pengunjung hingga 30 juta orang, gabungan pengunjung museum di seluruh negeri ini pun masih kalah jauh. Bahkan, dibandingkan Smithsonian Natural History yang dikunjungi 7,5 juta orang per tahun, kemampuan kita menarik pengunjung ibarat masih seujung kuku-nya.
Memang ada banyak faktor penyebab yang bisa dirunut. Salah satunya, para pengelola museum kebanyakan terlalu asyik dengan diri mereka sendiri. ”Apa yang mereka punya mereka sajikan. Tidak peduli apakah pengunjung yang datang kemudian puas atau tidak, apakah dia tertarik atau tidak,” kata Daud.
Kenyataan ini sekaligus menunjukkan, pihak museum tidak pernah melakukan penelitian tentang pengunjung. ”Ini satu hal yang harus mendapat perhatian,” tambahnya. (che/ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment