-- Salahuddin Wahid
SEORANG kenalan warga negara Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di London bercerita tentang anaknya yang bersekolah setingkat SMP di sana.
Suatu hari saat berbelanja di department store, si anak itu menemukan sepatu merek internasional terkenal yang berlabel ”made in Indonesia”. Maka dengan bersemangat dia minta dibelikan sepatu itu. Di sekolah, anak itu dengan bangga memamerkan produk dengan label ”made in Indonesia” itu kepada kawan-kawannya. Rupanya dia sudah lama memendam rasa ingin mendapatkan suatu produk buatan Indonesia yang bisa dia banggakan kepada kawan-kawannya. Mungkin selama ini dia anggap tidak ada yang dapat dia banggakan dari Indonesia.
Anak itu tidak tahu sebetulnya sepatu itu bukanlah produk Indonesia yang tepat untuk dibanggakan karena kita hanya menjadi semacam ”tukang jahit”. Banyak produk yang betul-betul asli dan milik orang Indonesia yang bisa dibanggakan, tetapi tidak dia ketahui. Walau begitu, kita menghargai sikapnya yang membanggakan produk Indonesia.
Kapan terakhir Anda bangga sebagai orang Indonesia? Banyak yang menjawab sudah lama sekali. Saya ingat bahwa saya merasa bangga saat Sarengat, kawan satu SMA, menjadi orang tercepat di Asia pada Asian Games 1962 di Jakarta. Saya bangga saat pemain bulu tangkis merebut Thomas Cup dan juga bangga dan terharu saat Susi Susanti mendapat medali emas Olimpiade.
Jutaan rakyat Indonesia bangga menyaksikan pesawat N-250 produksi IPTN tinggal landas dengan mulus, terbang berkeliling di angkasa, lalu mendarat kembali dengan mulus. Produksi pesawat N-250 itu memberi bukti bahwa bangsa Indonesia bukanlah ”bangsa tempe”, tetapi bangsa yang sanggup menghasilkan produk teknologi tinggi.
Krisis ekonomi 1997/1998 membuat IPTN mengalami kemunduran amat parah. Ratusan insinyur dan teknisi yang dibina selama puluhan tahun akhirnya terpaksa menyebar ke berbagai penjuru dunia untuk bisa bekerja. Entah kapan mereka dapat bekerja kembali ke Indonesia untuk mengabdikan ilmunya bagi kemajuan kita.
Supaya seimbang, perlu dikemukakan banyak kritik terhadap kebijakan industri BJ Habibie, baik dari kalangan ahli teknik—khususnya di luar teknik dirgantara—maupun dari ahli ekonomi, khususnya ahli keuangan. Karena hampir semua kekuatan kita fokuskan pada industri dirgantara, bidang teknologi lain dilupakan pengembangannya, seperti industri telekomunikasi dan industri otomotif.
Tak menghargai
Bangga terhadap produk kita mestinya diikuti kemauan kuat untuk menggunakan produk tersebut. Pada 25 tahun lalu pernah ada Keputusan Presiden untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri. Namun, tampaknya kini kita tidak selalu mau menggunakan produk kita, padahal negara lain menggunakannya. Kerajaan Malaysia memesan CN-235 yang ditingkatkan mutunya (interior) untuk digunakan sebagai pesawat kunjungan keluarga kesultanan di dalam negeri.
Pemerintah Korea Selatan juga meminta PT DI memodifikasi pesawat CN-235 menjadi pesawat peneliti. Hal itu membuktikan bahwa pesawat CN-235 adalah pesawat yang unggul di kelasnya. Namun, penghargaan terhadap produk PT DI itu tampaknya tidak banyak dilakukan oleh pihak DN, termasuk pemerintah. Tidak hanya di bidang dirgantara saja kita tidak bangga dan tidak menghargai kemampuan teknologi anak bangsa, tapi banyak pejabat pemerintah/ BUMN yang lebih senang menggunakan jasa tenaga ahli luar negeri walau banyak tenaga ahli Indonesia yang punya kemampuan di bidang teknologi.
Sebagai wakil presiden, Jusuf Kalla memerintahkan banyak pabrik gula milik BUMN untuk menggunakan jasa para insinyur dari PT Rekayasa Industri untuk melakukan overhaul mesin-mesin mereka, menggantikan para insinyur luar negeri. Kebijakan itu setiap tahun menghemat dana ratusan miliar rupiah.
Jusuf Kalla juga memerintahkan untuk membeli lebih dari 100 tank produksi Pindad supaya memungkinkan Pindad mendirikan pabrik untuk produk itu sehingga lebih bersaing. Itulah sikap dari pemimpin yang bangga akan produk dan manusia Indonesia serta mendorong penggunaan produk dan jasa mereka.
Kemampuan teknologi
Bangga, menghargai, dan mengakui kemampuan anak bangsa di bidang teknologi tentu harus diikuti dengan kepercayaan terhadap kemampuan teknologi anak bangsa dalam memecahkan masalah kita sebagai bangsa. Sayangnya, pemerintah sering mencontohkan sikap tidak percaya terhadap kemampuan anak bangsa sendiri.
Salah satu contoh ialah ketidakpercayaan pemerintah terhadap kemampuan para ahli pengeboran berpengalaman puluhan tahun yang mengajukan usul untuk menutup sumur sumber lumpur Lapindo. Sudah empat tahun bencana itu menyusahkan warga dan membebani pemerintah, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa pemerintah akan memberi lampu hijau terhadap usul para ahli itu sehingga bisa diperoleh pemecahan terhadap beban yang harus dipikul masyarakat dan pemerintah.
Bandingkan dengan Presiden AS Barack Obama yang terus memantau dan menekan para ahli BP untuk berjuang mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menutup semburan minyak di dasar laut Teluk Meksiko, suatu tugas yang lebih sulit dan lebih mahal dibanding menutup sumur Lapindo. Dalam waktu sekitar tiga bulan, kepercayaan Obama dijawab dengan keberhasilan memasang kubah raksasa yang harus dilanjutkan dengan metode relief well.
Sudah lebih dari Rp 4 triliun dana pemerintah dikeluarkan untuk mengatasi masalah lumpur ini dan tidak tahu kapan akan selesai. Padahal, perkiraan biaya untuk menutup sumber lumpur Lapindo yang diusulkan para ahli pengeboran itu hanya sekitar Rp 1 triliun. Sikap menolak usul menutup sumber lumpur Lapindo dari para ahli pengeboran itu adalah wujud pesimisme, sikap tidak percaya, tidak menghargai, dan tidak bangga terhadap kemampuan teknologi anak bangsa. Sikap negatif itu masih ditambah lagi dengan sikap tidak tegas terhadap korporasi yang menyebabkan bencana, amat berbeda dengan sikap Obama terhadap BP.
Di Indonesia banyak anak bangsa yang punya kemampuan teknologi tinggi, hasil didikan AS, Eropa, Jepang, dan juga Indonesia. Mereka sudah punya pengalaman kerja di negara maju, lalu kembali ke sini untuk mengabdikan ilmu bagi kemajuan bangsa. Karena berbagai hambatan, termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, banyak dari mereka tidak mendapat kesempatan memanfaatkan keahliannya.
Yang dibutuhkan ialah kepemimpinan yang mau menyadari adanya potensi yang disia-siakan, lalu mengapresiasi potensi itu dengan memberi kesempatan agar mereka bisa mengembangkan diri. Harus dihindari mentalitas dan kebijakan yang meragukan kemampuan produksi para ahli bidang teknologi sehingga mereka terdorong menjadi pedagang, bukan produsen. Sikap menghargai dan memberi kepercayaan adalah sikap yang membanggakan dan bisa membuat kita membanggakan Indonesia.
* Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment