-- Dhipa Galuh Purba
TIDAK bisa berjalan bukanlah sebuah alasan untuk berdiam diri atau berpangku tangan. Masih ada tongkat penyangga, kursi roda, atau sepeda motor beroda tiga untuk tetap eksis dalam menjalankan aktivitas. Seperti juga yang dilakukan Tatang Benyamin Koswara. Dengan keterbatasannya itu, Kang Tatang tidak berhenti berjuang, melanjutkan cita-cita sang ayah, menebar rasa cinta terhadap seni budaya bangsa melalui Yayasan Cangkurileung dan Majalah Seni Budaya Swara Cangkurileung.
Sepeninggal Mang Koko tahun 1985, "Cangkurileung" tetap bersuara di bawah kepemimpinan Kang Tatang. Untuk menjaga kelangsungan penerbitan majalah berbahasa Sunda tersebut, Kang Tatang sering kali harus merogoh uang saku pribadi. Kang Tatang lahir di Bandung, 28 Januari 1949. Mewarisi kepiawaian Mang Koko, sejak duduk di bangku SMPN 9 Bandung, Kang Tatang sudah mahir bermain alat musik kecapi. Oleh karena itu, sejak kecil Kang Tatang sudah dilibatkan dalam berbagai pergelaran "Cangkurileung". Namanya dikenal sebagai salah seorang seniman karawitan, bukan hanya karena ia putra Mang Koko, tetapi juga karena kepandaiannya dalam memainkan alat musik.
Pada suatu hari di tahun 1974, Kang Tatang turut bergabung dalam rombongan kesenian dari Uril Azdam III Siliwangi. Rombongan kesenian tersebut mau mengadakan pergelaran di Tanjungpriok, Jakarta. Sebelum berangkat dan bahkan sampai digelarnya pementasan, Kang Tatang dalam keadaan sehat, dengan kondisi prima. Namun, sepulangnya dari Tanjungpriok, ketika bis yang ditumpangi rombongan memasuki kawasan Bogor, tiba-tiba Kang Tatang berteriak kesakitan sambil memegang kakinya. Tentu saja seluruh penumpang sangat kaget. Berbagai spekulasi terlontar saat itu, dari mulai pengeringan tulang, radang tulang sendi, sampai kanker tulang. Yang pasti, sejak saat itulah Kang Tatang harus berjalan dengan tongkat penyangga atau menggunakan kursi roda. Demikian sebagaimana dikisahkan seniman Nano. S., yang sepulang manggung dari Tanjungpriok, duduk persis di sebelah Kang Tatang.
**
PENYAKIT yang dideritanya, tidak lantas memadamkan semangat Kang Tatang untuk terus bergelut di dunia kesenian dan mengajar kesenian di Konservatori Karawitan, yang kemudian berganti nama SMKI, dan berganti lagi menjadi SMKN 10 Bandung. Lebih mengagumkan lagi ketika Kang Tatang berhasil memegang kendali kegiatan Yayasan Cangkurileung dan Majalah Seni Budaya Swara Cangkurileung. Bahkan setelah pensiun mengajar, Kang Tatang masih sempat membuka kursus kecapi di rumahnya secara gratis.
Kursus ngacapi itu sebenarnya diperuntukkan bagi anak muda Sunda yang ingin mempelajari kacapi. Namun, yang berdatangan malah anak-anak muda dari luar negeri. "Urang Sunda mah mani hararésé sakitu digratiskeun. Kalah urang Jepang nu dialajar ngacapi téh, jaba malayar deuih…" begitu kata Kang Tatang ketika beberapa bulan yang lalu sedang melatih Yuko Jindo, Hiromi Yamamoto, dan Sumiko Yoneda di kediamannya, Komplek Jakapurwa, A-16, Bandung.
Selain gigih dan bersemangat, Kang Tatang pun dikenal sebagai seniman periang yang senang bercanda. Bahkan penyakit yang dideritanya pun sering kali menjadi bahan gurauannya. Contohnya, dalam sebuah acara kebudayaan, saya membantu memapah Kang Tatang menuju kursi. Ia malah berkata, "Cicing ulah dibantuan sagala, da bisa leumpang sorangan ogé. Éra tuh ku batur, bisi disangka geus aki-aki..."
Menjelang Ramadan 1431 H, Kang Tatang dirawat lagi di rumah sakit. Kondisinya sudah sangat lemah. Dan Sabtu, 14 Agustus 2010, pukul 23.00 WIB, Kang Tatang berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit Al-Islam, Bandung. Kang Tatang meninggalkan seorang istri (Ibu Nining), dan dua anak, bernama Anita Prilia dan Sri Gantini. Semoga arwah almarhum Kang Tatang Benyamin mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT. Alfatihah...
Dhipa Galuh Purba, Wapemred Majalah Seni Budaya Swara Cangkurileung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 22 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment