JAKARTA, KOMPAS - Kebudayaan tak tumbuh dalam tubuh politik kita. Visi tentang keadilan tidak lagi memukau sebagai nilai kebudayaan karena semua transaksi sosial dapat diselesaikan secara koruptif. Inspirasi kebudayaan tidak lagi datang dari kampus karena refleksi dan kritisisme bukan lagi energi akademis utama pendidikan tinggi.
Budayawan dan pengajar filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, mengemukakan hal itu pada panel diskusi bertajuk ”Kebudayaan dalam Kita, Kita dalam Kebudayaan” yang digelar Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI) dan Bale Sastra Kecapi, Rabu (25/8) di Galeri Nasional Jakarta. ”Kita tidak mendengar suara kebudayaan di ruang-ruang sidang parlemen. Yang ada adalah suara dengkur para politisi,” katanya.
Rocky, yang berbicara tentang letargi kebudayaan, menjelaskan, apabila kita kini menemukan tendensi kebudayaan menjauh dari ide keadilan (dalam ruang ekonomi), ide kedaulatan (dalam ruang politik), dan ide kebebasan (dalam ruang imajinasi), itu pertanda daya cipta sudah dalam kondisi letargi. Sudah terjadi immobilitas mental dan cita-cita kebudayaan dalam semua sektor kehidupan.
”Tetapi ada hal yang lebih berbahaya dalam cara kita berbangsa sekarang ini, yaitu pemicikan nilai-nilai republik,” ujarnya.
Penyair dan esais Afrizal Malna, yang menyorot ”krisis teater politik”, mengatakan, fenomena yang hadir dewasa ini adalah merosotnya komitmen, etos, ataupun visi kita bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Menurut Afrizal, dalam konstitusi, kebudayaan dilihat sebagai ”puncak-puncak kebudayaan daerah”. Konstitusi yang justru menempatkan kebudayaan tanpa subyek yang jelas. Kebudayaan bukan dilihat sebagai ”hak seluruh rakyat Indonesia untuk mencipta dan berpendapat”.
Kita tidak tahu bagaimana mekanisme dan infrastruktur dari puncak-puncak kebudayaan daerah ini? Siapa pelaku dan siapa yang bertanggung jawab? Apa produk dari puncak-puncak kebudayaan daerah ini?
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengatakan, masalah kebudayaan seharusnya diurus kementerian pendidikan. Pendidikan nasional juga tak benar karena dalam praktiknya berkembang pendidikan internasional dengan bahasa pengantar yang mengkhianati Sumpah Pemuda. (NAL)
Sumber: Kompas, Kamis, 26 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment