-- Asvi Warman Adam*
PADA 21 Maret 2007 di Jakarta penerbit Equinox meluncurkan cetakan ulang dari seri buku-buku klasik tentang Indonesia yang pernah ditulis oleh orang asing dan Indonesia. Di antaranya karya Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ada dua buah karangan Ben Anderson.
Dua karya orang Indonesia adalah kumpulan hasil seminar yang disunting Sudjatmoko dan disertasi Widjojo Nitisastro tentang sejarah kependudukan di Indonesia. Semuanya dalam bahasa Inggris.
Buku-buku itu dicetak di Indonesia karena beberapa bulan sebelumnya telah dicoba didatangkan dari luar negeri. Namun, buku-buku itu ditahan oleh pihak Bea Cukai karena di antaranya terdapat dua judul mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni The Rice of Indonesian Communism oleh Ruth McVey dan Indonesian Communism Under Soekarno, Ideology, and Politics, 1959-1965 oleh Rex Mortimer.
Acara berbentuk cocktail itu diadakan di toko buku Aksara, Kemang, Jakarta, dengan Widjojo Nitisastro sebagai pembicara tamu. Di luar dugaan pengunjung, tiba-tiba datang Jaksa Agung Abdurrachman Saleh.
Karena sebagian undangan adalah orang asing, Prof Widjojo berpidato dalam bahasa Inggris. Kemudian penerbit Equinox, Mark Hanusz meminta Jaksa Agung maju ke depan untuk menerima buku Ruth McVey dan Rex Mortimer.
Jaksa Agung didaulat untuk berbicara, walaupun ia mengatakan bahasa Inggrisnya kurang bagus dan ia tidak mempersiapkan teks pidato. Menurut Mark, tidak usah berpidato tetapi hanya menjawab pertanyaan, apakah buku Ruth McVey dan Mortimer itu akan dilarang seperti halnya 13 judul buku pelajaran sejarah sejak 5 Maret lalu.
Menurut Abdurrachman Saleh, ia memeriksa buku pelajaran sejarah atas permintaan Menteri Pendidikan Nasional. Di lain pihak, kedua buku yang ditulis orang asing itu tidak dilarang. Yang menjadi persoalan sebetulnya adalah kedua buku itu memang dalam bahasa Inggris. Tetapi bagaimana kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Saya mengetahui sebuah penerbit di Jakarta akan menerbitkan edisi buku Ruth McVey dalam bahasa Indonesia dalam waktu dekat.
Apakah nasibnya akan sama dengan buku Harold Crouch (The Army and Politics in Indonesia) yang bahasa Inggrisnya bisa beredar, namun dilarang Kejaksaan Agung (Kejagung) begitu diterjemahkan penerbit Sinar Harapan?
Pada pelarangan buku pelajaran dalam konferensi pers 9 Maret 2007, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Muchtar Arifin mengatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengeluarkan surat keputusan tertanggal 5 Maret 2007 tentang pelarangan beberapa buku pelajaran sejarah di sekolah.
Terdapat 13 judul buku dari 10 penerbit yang dilarang, antara lain Yudhistira, Erlangga, Grasindo, Ganeca Exact, Esis, dan Galaksi Puspa Mega.
Termasuk yang dilarang Kronik Sejarah Kelas 1 SMP (karangan Anwar Kurnia, diterbitkan Yudhistira), Pengetahuan Sosial, Sejarah (susunan Tugiyono KS, penerbit Grasindo), dan Sejarah Kelas 2 dan Kelas 3 SMP (karangan Matroji, penerbit Erlangga).
Alasan pelarangan buku-buku tersebut antara lain tidak menyebutkan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan hanya menulis keterlibatan G30S tanpa menyebut PKI pada 1965.
Menurut Muchtar, ''Ini jelas memutarbalikkan fakta dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa." Apabila buku sejarah itu dibiarkan beredar dapat menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban umum. Sejak 2006, Direktorat Sosial Politik Kejagung meneliti buku sejarah terkait dengan peristiwa politik Indonesia pada 1965.
Bahkan, Kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang lama (Dr Siskandar) dan baru (Diah Harianti) juga diperiksa oleh Kejagung. Hal itu dilakukan atas dasar permintaan Mendiknas, Bambang Sudibyo, pada 5 Juli 2005.
Dampak kelembagaan pelarangan itu mengesankan citra lembaga Kejaksaan Agung dan Depdiknas yang tidak profesional. Kenapa Depdiknas tidak menyelesaikan persoalan itu pada internal departemen? Mengapa mengundang Kejagung untuk mengintervensi? Bukankah Mendiknas dapat memanggil bawahannya langsung pada Pusat Kurikulum dan Pusat Perbukuan? Di sisi lain, apakah Kejagung betul sudah membaca buku-buku tersebut? Kalau yang dilarang buku sejarah kelas I SMP, buku itu memang tidak memuat pemberontakan pada 1948 dan 1965.
Pelajaran sejarah pada kelas I SMP membahas kerajaan-kerajaan Nusantara yang dipengaruhi agama Hindu, Budha dan Islam. Pada buku kelas 2 SMP dijelaskan perlawanan rakyat terhadap penjajahan dan baru pada kelas 3 SMP diuraikan perkembangannya sejak Indonesia merdeka.
Kenyataannya, buku-buku tersebut (kelas 3 SMP seperti yang diterbitkan Grasindo, Erlangga, dan Yudhistira) membahas peristiwa Madiun pada 1965 dan menyimpulkan PKI sebagai dalangnya. Jadi, masih versi Orde Baru.
Yang tidak logis juga adalah Kejagung melarang buku-buku yang memakai istilah G30S dan mencantumkan G30S/PKI (seperti karya Tugiyono KS dkk terbitan Grasindo).
Dampak ekonomi dan psikologis
Bagi penerbit buku, pelarangan itu jelas sangat merugikan.
Pertama, buku-buku itu tidak dapat dijual lagi. Selain itu, juga harus ditarik dari peredaran. Secara total untuk penerbit di seluruh Indonesia, kerugian itu bisa mencapai miliaran rupiah. Padahal, kasus tersebut bukan kesalahan mereka. Bahkan, mereka mencetak buku yang sebetulnya masih versi lama yakni versi Orde Baru.
Belum lagi kesusahan yang ditanggung para orang tua di Tanah Air. Di tengah kesulitan ekonomi yang kian mendera, mereka harus membeli buku-buku yang lain untuk anak-anak mereka di sekolah.
Para guru semakin bingung, bagaimana menjelaskan kepada murid tentang pelarangan tersebut. Selain itu, saat ini tidak ada buku teks yang dapat dijadikan acuan seperti SNI (Sejarah Nasional Indonesia) yang ditulis Nugroho Notosusanto pada masa Orde Baru. Bagi para siswa dampak psikologisnya sangat buruk. Mereka kini dipaksa untuk berbohong.
Mungkin mereka sudah mengetahui melalui surat kabar, radio, televisi, atau internet tentang beberapa versi Gerakan 30 September 1965. Namun, agar lulus dalam ujian, mereka harus menjawab sesuai dengan Peraturan Menteri No 22/23/24 tahun 2006, yaitu G30S/PKI.
Secara pedagogis, pemaksaan itu sangat jelek. Sementara itu, kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikemas dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional 2006 itu masih kacau. Misalnya pembabakan sejarah Indonesia setelah merdeka menjadi masa awal kemerdekaan (1945-1955), masa Orde Lama (1955-1967), dan Orde Baru (1967-1998) sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Menarik membandingkan kedua kasus di atas. Buku tentang sejarah perkembangan PKI yang ditulis orang asing tidak dilarang. Sedangkan 13 judul buku pelajaran sejarah dibredel atas permintaan Menteri Pendidikan Nasional. Kalau begitu, pelarangan buku itu bukanlah menyangkut PKI atau bukan, melainkan motif utamanya adalah 'atas permintaan'. Puas, puas, puas, kan?
* Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI dan pengurus pusat MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia), Jakarta
Sumber: Media Indonesia, Senin, 26 Maret 2007
No comments:
Post a Comment