Sunday, March 18, 2007

Buku: Dunia Sastra Kian Menggelisahkan

Judul buku: Matinya Dunia Sastra

Penulis: Acep Iwan Saidi

Penerbit: Pilar, Yogyakarta

Cetakan: Pertama, 2006

Tebal: xxxvi + 288 halaman

Sejarah sastra Indonesia mencatat bahwa perkembangan sastra saat ini mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Hal ini terlihat ketika sastra Indonesia zamannya H.B. Jassin di tahun 1966-an mengalami masa keemasan. Bahkan, kalah pamor dengan angkatan 45 ke atas yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya sastra Indonesia mengalami tidur panjangnya, dan ironisnya belum ada para penggiat sastra yang mampu untuk membangunkannya.

Sebenarnya, di tahun 80-an telah muncul sejumlah karya sastra yang bisa dibilang tidak kalah hebat dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Masa itu ditandai dengan membludaknya karya Pramudya Ananta Toer. Sayangnya, fenomena Pram tersebut belum membangunkan para penggiat sastra dari tidur panjangnya. Sehingga setelah muncul-tenggelamnya para sastrawan hingga tahun 1990-an, Indonesia tidak lagi mampu melahirkan kritikus sastra yang benar-benar berpihak pada kesusastraan. Pertanyannya, mengapa demikian?

Berangkat dari fakta ironis sejarah sastra Indonesia, buku Matinya Dunia Sastra; Biografi Pemikiran dan Tatapan Terberai Karya Sastra Indonesia ini, hendak menjawab dunia sastra yang kian menggelisahkan. Di dalam buku ini penulis mengkritisi sejumlah karya sastra dan menganalisa sercara rigid terhadap karya-karya yang dihasilkan seorang sastrawan besar, bahkan ia tidak segan-segan melucuti baju para sastrawan yang beruntung pada masanya.

Secara lebih dalam, penulis melihat ada satu hal yang menjadi penyebab matinya dunia sastra yakni adanya perkembangan kritik sastra di media massa yang tidak seimbang dengan perkembangan karya kreatif. Dalam arti, ketika muncul berbagai karya sastra setiap minggunya baik di surat kabar nasional maupun daerah di seluruh Indonesia tidak diimbangi dengan kritik konstruktif para sastrawan.

Sedangkan hal penting yang menjadi faktor kematian kritik sastra Indonesia adalah adanya kesalahan dalam membaca sejarah. Sebagaimana diketahui, dalam sejarah kritik sastra Indonesia bahwa J.B Jassin sebagai kritikus yang mumpuni tapi pembacaan para sastrawan terhadap tokoh ini hanya sampai selesai di sejarahnya saja, sehingga mereka hanya terpesona pada hal-hal yang monumental tapi tidak pernah belajar darinya.

Kritik

Eksistensi seorang kritikus bisa sangat dipengaruhi oleh keberadaannya di media massa. Hal ini berarti, jika persoalan kritik sastra Indonesia yang kini semakin memprihatinkan tersebut mau diatasi, setidaknya para redaktur di berbagai media massa harus berperan sebagai kritikus atau sebaliknya. Karena jika diperhatikan, sampai awal tahun 2005 umumnya "penjaga gawang" kebudayaan di berbagai media massa adalah sastrawan bukan kritikus.

Dalam soal kritik, John Crowe Ransom, salah seorang penggagas New Criticism, dalam Critic Corporation (1937), menyebutkan tiga pihak yang berkompetensi dalam melakukan kritik yaitu; seniman (penyair), ahli filsafat, dan para akademisi sastra. Dari ketiga pihak tersebut, menurut Ransom yang terakhirlah yang kritiknya dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya kritik akademis di Indonesia ini tidak tampak atau menghilang.

Hilangnya sikap kritis akademis di Indonesia ini bisa disebabkan hilangya sikap kritis terhapad teori. Karena jika dicermati, kebanyakan akademisi sangat "ketakutan" dalam menghadapi teori. Teori telah menjadi semacam mitos yang mengandung sejuta kebenaran dan apa yang terdapat dalam teori adalah titik final. Karena itulah yang telah menjadikan dunia akademisi tanpa inovator.

Keadaan akademisi jelas berbanding terbalik dengan dunia sastra itu sendiri yang sering melakukan pendobrakan terhadap "tradisi" yang telah mapan. Agar kritik sastra akademis dapat bergerak ke luar, salah satu yang terpenting adalah melakukan pendobrakan terhadap sistem dan meninggalkan pola pemikiran kelembagaan yang telah mentradisi itu.

Akhirnya, harus ada kesadaran individual para kritikus sastrawan untuk berperan dalam media massa, serta para sarjana sastra yang sebenarnya potensial untuk menulis, harus semakin sadar bahwa pentingnya media massa dalam perkembangan kritik sastra Indonesia tidak bisa ditawar lagi. [Suhadi, S Ag, Pengajar, Alumnus IAIA dan LIPIA Jakarta]

Sumber: Suara Pembaruan, 15 Maret 2007

No comments: