Jakarta, Kompas - Keputusan Kejaksaan Agung untuk melarang pengadaan dan peredaran buku teks sejarah untuk SMP dan SMA atau yang sederajat sangat disesalkan oleh kalangan guru sejarah.
Mereka menilai, pelarangan buku yang mengacu pada Kurikulum 2004 tersebut lebih didasari pertimbangan politik. Sementara pertimbangan akademis dan pedagogis dikesampingkan.
"Kalau memang ada yang kurang pada buku itu, mengapa tidak dikaji bersama lalu direvisi? Itu lebih arif ketimbang melarangnya beredar," ujar Ratna Hapsari, guru sejarah SMA Negeri 6 Jakarta, Selasa (13/3).
Hal senada dikemukakan Suparman, guru sejarah SMA Negeri 17 Jakarta. "Sangat disayangkan, karena persoalan sejarah ditarik ke wilayah politik. Padahal, sebetulnya itu lebih pada urusan akademis dan pedagogis," ucap Suparman.
Menurut Suparman, apa yang diajarkan oleh guru tidak sebesar yang dikhawatirkan secara politis. Sebab, guru sendiri saat ini tidak terlalu mengacu pada apa yang termuat dalam buku-buku Kurikulum 2004.
Baik Ratna maupun Suparman malah khawatir, pelarangan yang tertuang melalui Keputusan Jaksa Agung tanggal 5 Maret 2007 itu justru membuat siswa bingung dan penasaran, lalu mencari-cari bahan informasi yang tidak proporsional di berbagai media.
"Kalau dilarang begini, siswa malah akan mencari bahan-bahan melalui berbagai saluran informasi dengan pikiran yang sudah terpatron secara politis. Kalau tidak dilarang, siswa tentu berpikir jernih lalu menyimpulkannya secara obyektif," urai Ratna, perintis Asosiasi Guru Mata Pelajaran Sejarah DKI Jakarta.
Aspek biaya
Suparman mengingatkan bahwa Kurikulum 2004 adalah kurikulum yang sedang dieksperimenkan, kemudian urung diberlakukan menyusul bergulirnya Kurikulum 2006 yang kini dikenal sebagai kurikulum tingkat satuan pendidikan alias KTSP. Oleh karena itu, mestinya pemerintah juga mempertimbangkan implikasi ongkos pengadaan buku itu, baik di tingkat penerbit maupun di tingkat siswa.
"Terlepas dari berapa biaya yang sudah dikeluarkan penerbit, sudahkah diperhitungkan berapa biaya yang dikeluarkan orangtua siswa untuk membeli buku baru?" tanya Suparman.
Seperti diberitakan, alasan pelarangan buku-buku tersebut, menurut pihak Kejaksaan Agung, adalah karena tidak sepenuhnya mencantumkan fakta kebenaran sejarah Indonesia. Kejaksaan Agung minilai, hal itu dianggap sebagai pemutarbalikan sejarah yang dapat menimbulkan kerawanan.
Pertimbangannya, antara lain, tidak menyebutkan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan hanya memuat keterlibatan G30S tanpa menyebut PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1965. Keputusan pelarangan itu berproses sejak 2006 ketika Direktorat Sosial Politik pada Bagian Intelijen Kejaksaan Agung mulai meneliti buku teks sejarah terkait penulisan peristiwa politik di Indonesia tahun 1965 (Kompas, 10/3).
Pelarangan pengadaan dan peredaran buku tersebut mencakup 13 judul untuk buku teks sejarah SMP/MTs, buku teks sejarah SMA/MA/SMK). Buku-buku tersebut antara lain merupakan terbitan Yudhistira, Erlangga, Galaksi Puspa Mega, Esis, Ganesa Exact, dan Grasindo.
Terbitan Erlangga, misalnya, berjudul Sejarah untuk SMP/MTs (1 dan 2) karangan Martoji. Terbitan Grasindo berjudul Pengetahuan Sejarah SMP/MTs karangan Tugiyono. Adapun terbitan Galaksi Puspa Mega berjudul Sejarah untuk SMP/MTs (1, 2 dan 3) karangan Agus Gondo dkk.
Mendiknas Bambang Sudibyo seusai rapat koordinasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, senin lalu, menghargai keputusan Kejaksaan Agung atas pelarangan tersebut. Ia justru mengarahkan penggunaan buku sejarah yang mengacu Kurikulum 1994 karena buku yang mengacu pada Kurikulum 2004 dinilainya bermasalah. (idr/NAR)
Sumber: Kompas, Rabu, 14 Maret 2007
No comments:
Post a Comment