-- Suparman*
ADA apa lagi dengan kurikulum sejarah? Itulah pertanyaan yang muncul di benak kita ketika mendengar berita terkait pelarangan beredarnya buku-buku teks sejarah untuk SMP-SMA sederajat oleh Kejaksaan Agung.
Sebelum pelarangan itu dilakukan, beberapa waktu lalu kita pun sudah disuguhi pemberitaan terkait diperiksanya kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) oleh Kejaksaan Agung. Pemeriksaan itu dilakukan terkait dengan beredarnya buku sejarah untuk SMP-SMA sederajat yang tidak mencantumkan kata PKI di belakang penyebutan G 30 S (Gerakan 30 September), salah satu peristiwa sejarah politik yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1965.
Pertanyaan ini wajar muncul karena memang sudah sejak lama pelajaran sejarah di sekolah sering menimbulkan kontroversi. Sebut saja di antaranya keberadaan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang mengundang reaksi. PSPB dinilai sarat dengan kepentingan politik untuk melestarikan kekuasaan Orde Baru melalui penanaman "nilai-nilai" sejarah perjuangan bangsa sejak kemerdekaan sampai masa pemerintahan Orde Baru.
Ada lagi soal konflik dalam penyusunan buku babon setebal enam jilid berjudul Sejarah Nasional Indonesia, yang berakhir dengan mundurnya beberapa sejarawan penulisnya yang ingin tetap mempertahankan prinsip akademis daripada harus mengikuti kemauan penguasa. (Asvi Warman Adam, Pengantar dalam Berpikir Historis, 2006).
Kontroversi lain juga muncul ketika orang mulai mempertanyakan kembali otentisitas naskah Supersemar yang diberikan Soekarno kepada Soeharto, menjelang terjadinya peralihan kekuasaan, yang disinyalir bukan naskah asli dan isinya tidak memuat apa yang sesungguhnya dikehendaki Soekarno saat itu.
Dan, beberapa waktu, hangat pula dibicarakan seputar buku Habibie yang mengundang kontroversi baru karena mengungkapkan fakta yang dibantah oleh Prabowo sebagai salah satu pelaku sejarah dalam peristiwa yang dikisahkan Habibie di dalam bukunya tersebut.
Masih banyak contoh lainnya yang bisa disebutkan. Di antaranya yang agak ringan dan sempat menghiasi kontroversi pelajaran sejarah adalah soal pembabakan sejarah, soal perbedaan orientasi dalam pendidikan sejarah dan padatnya materi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, sampai soal keaslian wajah Gajah Mada yang bertahun-tahun sempat akrab di benak kita sejak SD.
Permintaan Mendiknas
Kontroversi kurikulum sejarah saat ini yang terungkap setelah adanya pemeriksaan Kejaksaan Agung terhadap Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas, dan dilanjutkan dengan pelarangan terhadap sejumlah buku-buku pelajaran sejarah menarik untuk kita cermati.
Peristiwa tersebut bermula dari permintaan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa buku-buku pelajaran sejarah tingkat SMP sampai SMA sederajat yang tidak mencantumkan kata PKI pada penyebutan G 30 S. Buku-buku itu dinilai tidak sesuai dengan kurikulum. Kejaksaan Agung sendiri menyebutkan bahwa pemeriksaan ini sebagai bagian dari prosedur untuk memastikan apakah buku-buku tersebut memiliki potensi mengganggu ketertiban umum atau tidak (Kompas, 16 September 2006).
Pertanyaannya sekarang, salahkah para penyusun buku tersebut menghilangkan kata PKI sehingga buku-buku mere- ka harus ditarik dari peredaran? Apakah buku-buku tersebut selama terbitnya telah menim- bulkan gangguan ketertiban umum?
Jika acuannya adalah Kurikulum 2006 yang sah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 yang telah mencantumkan kata PKI pada penyebutan G30 S, maka penyusunan buku tersebut memang patut dipertanyakan, terlepas dari kenyataan bahwa gerakan tersebut secara riil ha- nya menyebutkan gerakannya sebagai G 30 S (Asvi Warman Adam, Kompas, 13 Oktober 2006).
Persoalannya, tidak sedikit buku pelajaran sejarah yang terbit saat itu disusun berdasarkan Kurikulum 2004 yang memang sudah menghilangkan kata PKI. Bahkan, salah satu indikator dari kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik adalah membandingkan beberapa pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September.
Salah satu buku pelajaran sejarah yang terbit di Jakarta untuk siswa SLTA kelas 3 dan disusun dengan cara mengikuti versi Kurikulum 2004 telah mengutip beberapa pendapat yang berbeda versinya satu dengan yang lain dalam mengungkap peristiwa G 30 S tersebut. Secara keilmuan buku ini cukup obyektif, artinya ditulis dengan menyertakan lebih dari satu pendapat.
Akan tetapi, persoalannya menjadi semakin rumit ketika Mendiknas menyatakan bahwa Kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen buatan Pusat Kurikulum Depdiknas yang belum disahkan (Kompas, 2 Oktober 2006). Artinya, buku-buku sejarah tersebut dinilai tidak sesuai dengan kurikulum "resmi" yang berlaku saat itu dan saat ini, yaitu Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2006.
Mungkin kita patut mempertanyakan alasan para penyusun buku pelajaran sejarah tersebut, mengapa mereka sampai mengadopsi Kurikulum 2004, yang sebenarnya masih merupakan eksperimen dan belum disahkan.
Akan tetapi, sebelum pertanyaan tersebut bergulir, patut pula kita ajukan pertanyaan mendasar: mengapa Kurikulum 2004 yang masih merupakan eksperimen tersebut telah diterbitkan oleh pusat kurikulum, apalagi disertai dengan kata pengantar oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas? Bagaimana mempertanggungjawabkan kurikulum eksperimen yang dinyatakan belum sah dan terdapat kekeliruan tetapi sudah dilaksanakan di sejumlah sekolah?
Dalam kaitan ini, bukankah Mendiknas wajib mempertanggungjawabkannya kepada publik atas kesalahan eksperimen yang dilakukan pusat kurikulum yang secara struktural berada di bawah tanggung jawabnya? Perlu diingat, eksperimen terhadap kurikulum berarti melakukan eksperimen terhadap jutaan anak-anak Indonesia!
Terlalu berlebihan
Saat ini sejumlah buku sejarah di tingkat SMP-SMA sederajat yang ditulis berdasarkan Kurikulum 2004 telah dilarang oleh Kejaksaan Agung dan wajib ditarik dari peredaran. Sebagai pihak yang berwenang, tentu kita dapat memaklumi tindakan Kejaksaan Agung meneliti dan menyelidiki buku-buku yang "dianggap" dapat mengganggu ketertiban umum.
Hanya saja, kekhawatiran akan terjadinya gangguan ketertiban umum dalam konteks pembelajaran sejarah tentu dapat dikatakan berlebihan. Sebab, kenyataannya materi sejarah tentang peristiwa tahun 1965 yang diajarkan oleh guru-guru sejarah sebenarnya tetap mengacu pada Kurikulum 1994.
Penarikan buku di toko-toko buku tentu tidak berdampak secara psikologis. Akan tetapi, penarikan buku secara tiba-tiba pada anak didik tentu akan berdampak psikologis. Anak akan bertanya, apa yang sedang terjadi pada negara ini sehingga buku sejarah yang sedang mereka pelajari saat ini harus "diambil" dari tangannya. Lalu, bagaimana dengan biaya penggantian buku yang harus mereka beli ulang? Akan- kah ditanggung oleh pemerintah?
Kebijakan Kurikulum 2004 yang berlanjut pada penerbitan buku sejarah berdasarkan "kurikulum eksperimen" tersebut, dan pelarangannya oleh Kejaksaan Agung akan menjadi kontroversi baru dalam dunia pendidikan sejarah di Indonesia.
Tampaknya kurikulum eksperimen inilah yang dinilai oleh sejarawan Asvi Warman Adam sebagai kebijakan pendidikan yang dapat membingungkan masyarakat, murid, dan tentu guru sejarah.
Selain membingungkan, bisa jadi makin menjauhi usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
* Suparman, Guru Sejarah di SMA, Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Sumber: Kompas, Senin, 26 Maret 2007
No comments:
Post a Comment