JAKARTA, KOMPAS - Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan bahwa larangan peredaran 13 judul buku teks sejarah untuk SLTP dan SLTA tetap berlaku. "Sejarawan boleh berpendapat sendiri-sendiri, tetapi kami menjaga agar anak-anak tidak bingung," katanya di Jakarta, Rabu (21/3), sambil mengutip dasar hukum sanksi pelanggaran pengajaran marxisme-komunisme.
Menurut Jaksa Agung, tidak semua sejarawan setuju dengan pernyataan Komunitas Masyarakat Sejarah Indonesia. "Kalau kita ikuti 10 sejarawan bisa kita lihat 10 pendapat yang berbeda-beda, kita yang bukan sejarawan bingung," ujarnya.
Pernyataan Jaksa Agung itu mengulang apa yang sebelumnya dia nyatakan dalam sambutan peluncuran delapan buku terbitan Penerbit Equinox di Toko Buku Aksara, Kemang, Jakarta Selatan. Tidak dicantumkannya pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan PKI dalam peristiwa nasional 1965, menurut Jaksa Agung, menjadi salah satu alasan pokok pelarangan. Sebab, hingga saat ini pemerintah tetap menempatkan keterlibatan PKI dalam kedua peristiwa tersebut.
Keanehan bahwa penulisan buku-buku tersebut justru di bawah koordinasi Depdiknas, menurut Jaksa Agung, sudah dibantah oleh Mendiknas Bambang Sudibyo. Permintaan pelarangan disampaikan oleh Mendiknas ke Kejaksaan Agung enam bulan lalu. Tentang PKI yang masih menjadi wacana di kalangan sejarawan, Jaksa Agung mengingatkan pengakuan Sudisman soal keterlibatan PKI dalam peristiwa 30 September 1965.
Asvi Warman Adam dari Komunitas Sejarah Indonesia menyatakan jumlah penanda tangan terus bertambah. "Sekarang sudah 60 orang, dan akan terus bertambah," kata Asvi, yang hadir pada acara yang sama. (STS)
Sumber: Kompas, Jumat, 23 Maret 2007
No comments:
Post a Comment