Pontianak, Kompas - Penguatan kembali hak atas tanah adat beserta hukum adat diyakini mampu menopang kelangsungan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Untuk mewujudkannya, kemitraan masyarakat adat— yang diperkirakan kini masih mencapai 70 juta jiwa di Indonesia—dengan pemerintah sekarang mutlak diperjuangkan.
"Saya mendorong masyarakat adat di Indonesia untuk terus memperjuangkan dan mendiskusikan kepada pemerintah perlunya penguatan kembali hak atas tanah-tanah adat, hukum-hukum masyarakat adat, serta hak-hak politik, sosial, dan ekonomi," kata Raja Devasish Roy, perwakilan Masyarakat Adat Internasional, Sabtu (17/3), dalam pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Kalimantan Barat.
Menurut Roy, pemerintah perlu membuka ruang baru untuk hak asasi masyarakat adat. Pengakuan serta penghargaan terhadap pranata sosial masyarakat adat merupakan bagian dari prinsip-prinsip kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri.
Pemanfaatan sumber daya alam dengan mengabaikan pranata sosial masyarakat adat saat ini sering berdampak pada perusakan dan bencana ekologis. Tanpa jalinan kemitraan dengan masyarakat adat, upaya pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan sumber daya alam tidak menjamin kelangsungan usaha. "Satukan langkah menuju kedaulatan masyarakat adat," begitu pesan Roy terhadap sekitar 850 orang yang mewakili masyarakat adat di seluruh Indonesia yang hadir dalam KMAN III.
Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf juga menuturkan, Indonesia lahir dari kemajemukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Namun, percepatan pembangunan yang berbeda-beda telah melahirkan kesenjangan sosial satu sama lain di wilayah yang berbeda- beda.
"Pembangunan pada masa lalu belum memerhatikan kearifan lokal masyarakat adat sehingga pembangunan hanya menjadi mercusuar," kata Saifullah.
Dia mengatakan, dari total penduduk Indonesia yang mencapai 210 juta jiwa, yang terdiri atas 45 juta keluarga, ada sekitar 15 juta keluarga yang masih mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Sementara dari 70.611 desa di Indonesia, 10.000 desa sama sekali tidak teraliri listrik dan 30.000 desa lainnya juga tidak secara penuh mendapatkan aliran listrik.
"Perlunya sekarang ada sinergi program pembangunan dengan aspirasi masyarakat adat. Ini karena masyarakat adat bisa menjadi salah satu energi dalam pembangunan. Yang penting bagaimana (ke depan) aspirasi masyarakat adat bisa diakomodir dalam pengambilan keputusan maupun perencanaan pembangunan," katanya.
Menurut Roy yang berkewarganegaraan Banglades, masyarakat adat tak bisa mengharapkan pihak lain berbicara dan berjuang untuk penguatan kembali hak-hak masyarakat adat. Jika ingin mengembalikan identitas budaya dan hukum yang berdasarkan tradisi kolektif, dalam kapitalisme global dan rezim pasar bebas ini, masyarakat adat harus berjuang menggunakan teknologi, media, dan jaringan yang efisien.
"Tindakan-tindakan melalui komisi hak asasi manusia nasional dan sistem hukum penting dilakukan untuk memperjuangkan keadilan bagi kelompok-kelompok yang termarginalkan secara sosial, budaya, dan ekonomi," katanya.
Rehabilitasi sosial
Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat AR Mecer mengatakan, tantangan mewujudkan transformasi sosial yang lebih adil dan sejahtera saat ini adalah rehabilitasi dan pemulihan tatanan sosial-politik serta tatanan ekologis.
"Demokratisasi politik melalui otonomi daerah tidak cukup kalau belum dibarengi dengan pemberian otonomi komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki hak-hak yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, usaha revitalisasi, pengayaan, dan penguatan terhadap pranata masyarakat adat meliputi aturan, kelembagaan, dan metode masyarakat adat tidak bisa ditunda lagi," kata Mecer.
Direktur Eksekutif Institut Dayakologi John Bamba kepada Kompas mengatakan, dengan alasan keseragaman langkah pembangunan, pranata sosial masyarakat adat saat ini sedang dihancurkan.
"Langkah untuk mencapai homogenitas seperti ini juga akan menghancurkan ekologi yang selama ini dihuni dan dijaga masyarakat adat," kata John Bamba.
Salah satu peserta KMAN III, Nyirum Oreng (62), pemangku adat Dayak di Mempawah, Kabupaten Pontianak, mengatakan, dengan adanya kongres ini diharapkan ada langkah konkret yang bisa didesakkan masyarakat adat kepada pemerintah. "Permintaan masyarakat adat di Kalimantan sekarang cukup sederhana, yaitu tanami kembali hutan yang sudah hilang," kata Nyirum. (WHY/NAW)
Sumber: Kompas, Minggu, 18 Maret 2007
No comments:
Post a Comment