Sunday, March 25, 2007

Sastra: Pengarang Perempuan Jadi Agen Perubahan

JAKARTA (Media): Pengarang perempuan harus menjadi agen perubahan sosial, dalam pembelaan terhadap nasib perempuan, melalui karya mereka.

Karya sastra para pengarang perempuan itu juga harus mampu mendekonstruksikan tafsir-tafsir atasan ajaran agama yang diskriminatif terhadap perempuan.

Pendapat itu diungkapkan oleh Ketua Yayasan Puan Amal Hayati, sekaligus mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid, dalam pembukaan seminar bertema Perempuan dan Agama dalam Sastra: Pengalaman Indonesia dan Kanada, di Jakarta, Kamis (22/3).

''Hampir tidak ada perubahan sosial yang lepas dari pengaruh sastrawan," kata Sinta. Tetapi, selama ini catatan sejarah dan analisis sosial masih lebih mengedepankan peran kepala pemerintahan, kepala negara, atau aktivis gerakan dalam mengadvokasi terjadinya perubahan daripada peran sastrawan.

Padahal pendekatan sastra kerap digunakan dalam menyebarluaskan suatu ajaran agama. Menurut Sinta, hal itu membuktikan bahwa sastra mampu berperan dalam diseminasi politik dan ideologi.

Ia memberi contoh pada masa pra-Revolusi Prancis, sosialisasi nilai-nilai kebebasan dan persamaan disampaikan lewat puisi dan cerita. ''Ini kemudian memunculkan semangat dan etos yang melahirkan pergerakan sosial,'' kata Sinta.

Namun Sinta mengingatkan, sastrawan juga rentan terhadap fungsi agen kekuasaan. Karya sastra juga dapat berfungsi sebagai instrumen pelindung status quo. ''Mereka dapat memunculkan karya-karya yang melestarikan budaya patriarkat,'' kata Sinta.

Oleh sebab itu, pemunculan pengarang perempuan harus menjadi kesempatan untuk melakukan perubahan sosial. Caranya, menurut Sinta, dengan menyebarkan nilai-nilai yang melawan budaya patriarkat, berempati pada nasib perempuan, dan menampilkan karya sastra yang berpihak.

Pendapat lain muncul dari Maman S Mahayana, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Sejak Ayu Utami menulis novel Saman, penulis perempuan terjebak pada tema seks sebagai alat sensasi dan alat perjuangan ideologi yang diterjemahkan secara artifisial.

''Tulisan mereka belum menyentuh substansi problem sosiologi, kultural, dan ideologi,'' kata Maman. Selain itu, bangunan narasi yang ditampilkan juga belum kukuh. Tetapi, Maman menyebutkan beberapa karya pengarang perempuan Indonesia yang dianggapnya sebagai perkecualian, yaitu Geni Jora karya Abidah el Khalieqy, Tarian Bumi karya Oka Rusmini, dan Namaku Teweraut karya Ani Sekarningsih. Karakter-karakter perempuan dalam tiga novel tersebut menunjukkan perempuan yang berani menerjang kultur dan religi.

Sementara itu, penulis asal Kanada Camilla Gibb yang hadir dalam seminar tersebut mengatakan, saat ini adalah masa yang paling bagus bagi para penulis muslim untuk menulis tentang Islam sesuai sudut pandang mereka. Menurutnya, saat ini dunia Barat juga tengah mencari tahu dan membaca lebih banyak tentang Islam. (Isy/H-4).

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007

No comments: