PONTIANAK (Borneonews): Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Saefullah Yusuf mengakui, pembangunan yang tidak merata di Indonesia salah satunya disebabkan sikap pengambil kebijakan masa lalu yang mengabaikan kearifan lokal sebagai kekayaan budaya bangsa.
"Tanpa mempertimbangkan kearifan lokal, pembangunan hanya akan menjadi (proyek) mercusuar," kata Saefullah Yusuf usai menghadiri Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Sabtu (17/3).
Menurut Saefullah Yusuf, pembangunan seharusnya disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah sehingga "pemerataan" tidak sekedar menyamakan nilai sebuah proyek di seluruh Indonesia.
Ia menyontohkan proyek pembangunan sekolah dasar berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang besarannya tidak membedakan kondisi antardaerah.
"Tidak heran kalau dengan angka sekian juta bisa membangun sebuah SD di Jakarta. Tetapi dengan angka yang sama, hanya bisa untuk membangun satu lokal di Papua," ujarnya.
Ia menambahkan, melalui kearifan lokal, kelestarian sumber daya alam dapat terjaga dan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
Sistem tebang pohon satu tanam dua atau kelipatannya, menjadi bukti betapa masyarakat adat telah memiliki aturan yang menjaga kelangsungan kekayaan alam bangsa.
Selain itu, kearifan lokal juga dibutuhkan untuk mengakomodir kemajuan-kemajuan yang dicapai sesuai dengan kondisi saat ini.
Ia menyarankan agar masyarakat adat memberikan masukan yang lebih kongkrit kepada pemerintah terhadap rencana pembangunan untuk menghindari ketidaktepatan penggunaan serta eksploitasi kekayaan alam yang berlebihan.
"Aspirasi masyarakat adat diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan sehingga keberadaannya dapat mewarnai berbagai kebijakan. Ini yang terpenting," katanya.
Sedangkan perbedaan yang terjadi selama ini dapat dimusyawarahkan guna mengakomodir aspirasi tersebut.
Negara telah menjamin hak-hak masyarakat adat melalui UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sementara itu, Masykur dari Komunitas Masyarakat Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) meminta pemerintah untuk lebih mengakui keberadaan masyarakat adat.
Ia menambahkan, selama ini perhatian pemerintah kepada lembaga maupun masyarakat adat masih amat minim.
"Masyarakat adat tetap mengakui Indonesia, tetapi bagaimana pengakuan Indonesia terhadap adat?" ujarnya setengah bertanya.
Masykur berharap pemerintah membentuk departemen atau lembaga khusus yang menangani masyarakat adat.
Tolak bala
Ritual tolak bala nasional mengawali pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Kota Pontianak, kemarin.
Pelaksanaan ritual dalam adat Kanayatn di panggung depan Auditorium Universitas Tanjungpura itu dipimpin oleh Imam Panyangahat Maniamas Miden yang diikuti tokoh masyarakat adat dari berbagai komunitas di seluruh Indonesia.
Miden memanjatkan doa keselamatan air dan tanah guna memohon agar bangsa Indonesia tidak lagi terkena bencana banjir dan tanah longsor. Doa itu juga mengandung pesan kepada generasi muda supaya menjaga air dan tanah demi kelestarian hidup anak cucu mereka.
Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Hadrianus Nazarius mengatakan, berbagai bencana yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari rusaknya keseimbangan alam akibat ulah manusia.
"Bagi masyarakat adat, keseimbangan amat penting, baik yang secara fisik terlihat maupun tidak," ujarnya. Menurut dia, dengan ritual tolak bala, diharapkan segala hal yang berpotensi menimbulkan kerusakan dapat dicegah.
Sesajian yang diberikan dalam ritual tersebut di antaranya ayam kampung, nasi pulut, penganan tradisional, air putih, beras kuning dan darah ayam.
"Melalui keyakinan kami, kita berharap roh-roh jahat tidak lagi mengganggu karena mereka telah diberi bagian dengan sesajian itu," kata Nazarius.
Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Kalbar AR Mecer menambahkan, ritual adat tolak bala ini juga secara khusus memohon agar acara KMAN III berlangsung lancar tanpa ada gangguan apa pun.
Sedangkan dalam konteks yang lebih luas, ritual tolak bala menjadi wujud aktualisasi keprihatinan akan kondisi bangsa yang banyak dilanda bencana.
Mecer mengatakan, ritual juga ditujukan demi keselamatan bangsa Indonesia agar terhindar dari segala macam bencana.
KMAN III berlangsung mulai 17 - 25 Maret itu diikuti sedikitnya 850 utusan dari berbagai komunintas masyarakat adat, mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua.
Sejumlah peninjau asing seperti Inggris dan Bangladesh juga mengikuti KMAN III yang merupakan lanjutan dari kongres pertama di Yogyakarta (1999) dan Lombok (2003). (Ant/B-3)
Sumber: Borneonews, Minggu, 18 Maret 2007
No comments:
Post a Comment