Saturday, March 17, 2007

Wisata Bahasa: RUU Kebahasaan

-- Tendy K. Somantri

JANGAN kaget bila suatu hari nanti datang para petugas bahasa ke kantor Anda untuk memberikan teguran atau mengajukan Anda ke pengadilan. Padahal, Anda sama sekali merasa tidak bersalah. Jangan kaget juga bila pada suatu hari nanti para petugas itu langsung menjatuhkan sanksi denda kepada Anda. Padahal, Anda merasa bahwa Anda sudah menggunakan bahasa secara wajar, seperti bahasa yang digunakan masyarakat pada umumnya.

Lo kok bisa begitu? Kok bisa ada teguran bahkan sanksi denda? Ya, itu memang sangat mungkin seiring dengan adanya Undang-Undang Kebahasaan, yang tak akan lama lagi diberlakukan. Konon, RUU Kebahasaan saat ini sudah pada tahap final, hanya tinggal "ketok palu"! Konon juga, para perumus RUU Kebahasaan itu kini sedang mempertimbangkan bentuk sanksi yang akan dikenakan kepada para pelanggar.

Jadi, berhati-hatilah dalam berbahasa karena tidak mustahil Anda bakal menjadi pelanggarnya. Apalagi, cukup banyak "pasal karet" dalam RUU Kebahasaan itu yang bisa menjebak para pengguna bahasa. "Pasal karet" itu terjadi karena dalam perumusannya tidak dipertimbangkan kondisi kebahasaan di Indonesia dan kondisi masyarakat Indonesia.

Sebagai contoh, kita simak baik-baik isi Bab III Pasal 17:

1. Media massa, baik cetak, elektronik, maupun media lain, wajib menggunakan bahasa Indonesia.

2. Untuk memenuhi kepentingan tertentu, media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing setelah mendapat izin dari Menteri.

3. Media massa daerah, baik cetak, elektronik, maupun media lain, dapat menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah.

4. Film, sinema elektronik, dan produk multimedia lain yang menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan.

Kalangan pers tentu alergi dengan frase "izin dari Menteri" pada ayat kedua. Hari gini masih izin-izinan? Ya, saat keran kebebasan pers dibuka dengan tak adanya izin penerbitan, undang-undang ini malah mewajibkan mereka meminta izin menteri lagi. Apakah ini bukan set back? Kembali ke zaman Orde Lama dan Orde Baru.

Sementara itu, menurut saya, masalahnya bukan hanya set back. Masalahnya justru sangat mendasar dan menjadikan pasal 17 itu sebagai pasal karet. Sebenarnya, bahasa Indonesia yang manakah yang dimaksud pasal tersebut? Apakah seperti yang didefinisikan pada pasal 1; Bahasa Indonesia adalah bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa nasional dan yang dinyatakan dalam Undang Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 sebagai bahasa negara dan yang terus berkembang? Bagaimana hubungannya dengan ragam dan laras bahasa? Bukankah kita mengenal juga laras bahasa hukum, laras jurnalistik, dan laras-laras lainnya?

Begitu juga tentang syarat penggunaan bahasa asing yang seizin menteri. Mulai dari tataran bahasa manakah media massa memerlukan izin menteri dalam menggunakan bahasa asing? Apakah mulai dari tataran kata, kalimat, teks, atau seluruh isi media itu? Tidak jelas batas bahasa asing pada pasal itu. Apabila mengacu pada definisi bahasa asing pada pasal 1, makna bahasa asing begitu luas; Bahasa asing adalah bahasa-bahasa yang digunakan di Indonesia, selain bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Melayu.

Itu, kita baru membicarakan satu pasal. Padahal, draf RUU Kebahasaan tersebut mengandung 9 bab dan 32 pasal yang juga menetapkan sanksi administratif. Jadi, bila RUU Kebahasaan itu sudah ditetapkan sebagai UU Kebahasaan, berhati-hatilah Anda. Jangan-jangan ada petugas dari kepolisian atau kejaksaan --atau lembaga apa pun namanya-- yang datang dan berkata, "Kami dari kepolisian/kejaksaan/lembaga apa pun itu mendenda Anda karena telah melanggar pasal 17 Undang-Undang Kebahasaan tentang penggunaan bahasa asing secara ilegal tanpa seizin menteri. Perusahaan Anda terbukti telah menggunakan 157 kata dari bahasa Inggris, 135 kata dari bahasa Belanda, 234 kata bahasa Cina, dan 113 kata Bahasa Portugis yang belum diindonesiakan. Denda Anda sebesar...." Nah lo!

No comments: