-- Reiny Dwinanda
Karya sastra yang berkualitas bisa menjadi alat perjuangan yang ampuh untuk menggiring masyarakat ke arah pandang yang lebih menghargai perempuan. Percaya atau tidak, kekuatan itu ada. Tengok saja isu yang digulirkan Camilla Gibb, penulis kelahiran Inggris yang dibesarkan Kanada.
Gibb memfokuskan ceritanya pada topik-topik yang erat kaitannya dengan kemanusiaan, terutama nasib perempuan yang tertindas. Novelis berlatar belakang akademisi yang juga aktivis perempuan ini berani memasuki ranah kehidupan muslimah Ethiopia dan mendeskripsikannya dengan jujur. Hasil karya Gibb direspon positif oleh masyarakat baca.
Gibb yang hidup di belahan barat dunia mau mencoba melihat lebih dekat dan memahami Islam. Lewat sosok Lily dalam Sweetness in the Belly, Gibb mengajak pembaca untuk menyimak hidup penuh ujian yang dialami seorang perempuan kulit putih yang terlahir dari pasangan hippie yang nomaden.
Saat singgah di Maroko, orangtuanya membiarkan Lily diadopsi oleh keluarga sufi. Sang ayah dan bunda ingin anaknya tumbuh di lingkungan budaya yang beragam. Lily yang dibesarkan di kawasan mayoritas Kristen di Ethiopia lantas ditempa kerasnya hidup sebagai imigran dan pedihnya kehancuran kampung halaman.
Terlepas dari itu, Lily menemukan keindahan berbagi dengan adat yang berbeda. Beranjak dewasa, Lily mengarungi lautan untuk sampai ke Inggris, negeri yang diharapkan dapat memberikan masa depan yang lebih baik. Lily sesungguhnya hanyalah insan yang berusaha untuk hidup layak dengan menjadi imigran. Di manapun ia berada, ia juga berupaya menegakkan shalat.
Apa yang ditulis Gibb menggambarkan potret pemeluk Islam yang sejati, jauh dari kesan teroris yang ditempelkan pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya. Penggambaran citra muslimah tersebut menjadi besar artinya lantaran disampaikan oleh seorang non muslim. ''Dibesarkan di lingkungan yang multikultural membuat saya terbiasa berempati,'' urai pemegang gelar PhD di bidang antropologi sosial yang sudah menulis tiga novel dan sederet cerpen.
Dari waktu ke waktu, perempuan selalu saja hidup dalam ketidakadilan. Apa sebetulnya akar persoalan yang mendera perempuan? Dua sebab bisa dicetuskan. ''Biang keroknya adalah budaya dan pemahaman agama yang keliru,'' kata Abidah el-Khaliqy, novelis perempuan.
Kedua faktor tersebut juga pernah menghajar Ayu Utami. Ia malah merasa kehidupannya makin kompleks dengan lilitan tiga hal. ''Berjenis kelamin perempuan, ber-ras Asia, dan beragama Katolik, mempengaruhi ruang gerak saya sebagai penulis,'' katanya.
Ayu toh tak berhenti berkarya. Saman membawanya ke permukaan. Novel yang menyabet juara Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 1998 itu merupakan sarana yang dipakainya untuk mendobrak tabu. Saman berbicara tentang perempuan dan perilaku serta oritentasi seksual dengan eksplisit.
Keberadaan penulis perempuan lain juga tak bisa dikesampingkan. Sebut saja Oka Rusmini yang menghasilkan Tarian Bumi (2000) dan Kenanga (2003). ''Ia seperti hendak menggugat tradisi adat, budaya, dan agama yang terlalu memojokkan posisi perempuan,'' komentar kritikus sastra, Maman S Mahayana.
Selain itu, masih ada Ani Sekarningsih. Namaku Teweraut (2000) mengangkat problem gender dalam kaitannya dengan kultur etnik. ''Novel pemenang Hadiah Yayasan Buku Utama utuk terbitan tahun 2000 ini secara sangat meyakinkan menyuguhkan sebuah potret sosial masyarakat Asmat, Papua,'' imbuh Maman.
Turut dalam pemantauan Maman, Ratna Indraswari Ibrahim. Seperti novel-novel sebelumnya, Lemah Tanjung (2003) menghadirkan persoalan yang dihadapi perempuan Jawa dalam berhadapan dengan masuknya pengaruh moderen serta perubahan sosial politik di Indonesia.
Maman melihat Abidah tampil dengan semangat melepaskan diri dari berbagai stigma yang memojokkan kaum perempuan. Cara Abidah dinilainya implisit. ''Solusi atas persoalan yang dibahas disodorkan oleh sosok muslimah yang cerdas, berwawasan, dan cantik. Dengan begitu, tak mungkin tokoh utamanya dilecehkan oleh laki-laki. Suka tidak suka, mereka menempatkan posisi perempuan secara proporsional,'' uraiMaman.
Abidah dengan Gani Jora-nya meraih hadiah kedua Sayembara Novel DKJ 2003. Berangkat dengan kegelisahan berlatar belakang kultur pesantren, penulis asal Yogyakarta ini menerabas palang yang merintangi mulimah mendapatkan haknya seperti yang telah diatur dalam Alquran. ''Karya ini saya tujukan untuk memperjuangkan harkat, martabat, dan derajat perempuan dalam konteks budaya dan agama,'' katanya.
Perhatian Abidah terpusat pada pemecahan konflik budaya dan agama dalam perspektif perempuan. Ia merasa yang dilakukannya hanyalah mengungkap aroma peradaban melalui kemungkinan logika dan intuisi seorang perempuan. ''Dalam prosesnya saya lebih memusatkan pada pergulatan visi yang sekiranya dapat dihayati dan diterima secara estetis oleh pembaca,'' paparnya.
Dalam pandangan Maman, pembaca novel tanpa sadar seperti memperoleh penyadaran. Betapa penindasan dan penganiayaan perempuan terjadi di mana-mana atas nama martabat keluarga, norma sosial, keluhuran budaya, kesucian agama, bahkan atas nama kekuasaan Tuhan. ''Begitu banyak manipulasi digunakan sebagai kedok untuk menutupinya,'' sesal pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Kendati demikian, kegelisahan Abidah belum reda. Novel saja belum cukup garang untuk menggeret orang ke jalan yang benar, yang sesuai dengan ajaran agama. Realitas kehidupan --dalam konteks Islam-- amat dipengaruhi oleh fiqh. ''Fiqih merupakan respon atas realitas persoalan sosial. Ketika persoalan sosial mengalami perubahan otomatis fiqh juga harus berubah,'' Abidah menandaskan.
Sumber: Republika, Minggu, 25 Maret 2007
No comments:
Post a Comment