Saturday, August 21, 2010

Sastra Kalbu

-- Hardi Hamzah

APRESIASI terhadap dunia sastra sudah sangat ramai. Ada refleksi eksistensi humaniora eksklusif, contradictory letrateru, dan berbagai aspek lainnya yang ingin mengenalkan kesusasteraan umumnya sastra kontemporer pada khususnya.

Bicara tentang kesusastraan dan interaksinya dengan dunia luar begitu inheren (baca: senyawa), dalam arti sastra ingin "kawin" atau "kumpul kerbau".

Dengan siapa pun sastra bisa kumpul berbaur, bahkan karena kesenyawaannya menjadi absurd. Keterjenuhan terhadap sastra akademis yang absurd itulah, barangkali penyebab langsung dari lahirnya sastra renyah, mudah, dan segar semacam Laskar Pelangi. Sastra asing yang digulirkan dan mentransformasikan kemilau sastra yang bernapaskan Islam, semisal Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, dan beberapa skenario film yang semangat naratifnya, menirukan pragmatisme relegius.

Padahal, menjual sastra adalah menjual rasa, meskipun tidak menafikan realitas, sastra lebih jauh bila membangun kalbu, dus bukan mengumbar horor dan cinta murahan, sebagaimana yang ditawarkan sekarang.

Sastra itu menginduk pada senses, karena itu ia lebih dinamis bila dipadukan pada kalbu. Kalbu yang merupakan, muara awal dari suara kesusastraan, seyogianya dilihat dalam perspektif yang lebih nyata. Sastra kalbu bukan berati harus bersulit sulit karena ia bisa saja cengeng dengan cinta, tetapi pilarnya pilar kalbu.

Ketika mempelajari sastra dari denyut Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 45 atau angkatan kontemporer, hanya kesusastraan yang diusung Soetardji dkk. yang mengutamakan permainan kata, bagus, tetapi tidak merembes ke kalbu.

Kalbu, bukan berarti ia berada pada pilar pemikiran semacam Belenggu atau Grota Azura, kedua novel terbilang baik tetapi tidak suskes karena hanya peniruan barat semata, dan fondasinya praksis sosial, tetapi toh juga menyentuh kalbu.

Kita juga bisa menengok kesusastraan daerah yang dilahirkan lewat kalbu, meski sayangnya miskin kata, tapi juga kemudian mampu memetamorfosis dirinya dalam warna yang tidak terlalu kerdil. Dulu, Ketika Ariief Budiman melontarkan sastra kontekstual, para penyair kehabisan bahan untuk mendiskusikan, maka ia menjadi sastra vulgar, yang antara lain dilakonkan Rendra. Rendra memang sukses dari segi gebyar, tapi gebyar juga pada kalbu temporer.

Sastra kalbu bisa saja Setangkai Bunga Edelweis-nya Marga T. atau Kampus Biru-nya Ashadi Siregar, di eranya, mereka merembes ke dalam kalbu remaja yang tentu kemudian kita melihat pergeseran-pergeseran yang lain. Inilah personifikasi dari kesusastraan, ia tidak hanya sekadar nyentrik, tetapi ia menjadi anak zamannya ketika kita sangat membutuhkan. Dan, setiap sastra kalbu memainkan sisi dinamis antara cengeng, serius, dramatis, dan yang pasti berpilar pada tatanan yang realis dan terukur sehingga dunia kesusastraan tidak lari ke sana kemari mencari arah yang sudah di depan matanya.

Kesusastraan kalbu sama sekali tidak menutup ruang publik dalam kategori-kategori yang tersekat, tetapi kejutan baru, harmonisasi sastra lama dan baru, di alam yang penulisnya tidak membosankan membuat satra menjadi kekuatan bagi suatu kerangka hidup manusia yang sedang mengejar keserakahan.

Banyak karya-karya sastra Eropa Timur yang menyadarkan eksistensi mereka sehingga sebagai negara yang pecah mereka bisa menyatukan suatu visi dalam satu kalbu, semisal karya Bredzviclackdein yang mengupas terkikisnya sosialis, ia menyentuh kerangka dasar anak manusia yang sedang menghadapi dentuman senjata setiap hari.

Penulis juga meyakini adanya karya sastra dari Asia Barat, Timur Tengah, dan teluk Parsi, yang bila diharmonisasikan dengan nilai humaniora dalam kesusastraan Indonesia, juga menjadi bagian dari sastra kalbu itu sendiri. Dengan demikian, tentu kita perlu melirik, apa yang dimaksud dengan sastra kalbu. Setidaknya terdapat tiga prasyarat sastra kalbu. Pertama, perkawinan dinamis. Kedua, bagian dari realitas sosial. Ketiga, membangun spirit relegiusitas dan spirit kedaerahan dan kebangsaan. n

* Hardi Hamzah, Staf Ahli Mahar Foundation

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Agustus 2010

No comments: