-- Yohanes Krisnawan
• Judul: Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia • Penulis: Soediman Kartohadiprodjo • Penerbit: Gatra Pustaka, Jakarta • Cetakan: I, Januari 2010 • Tebal: 432 halaman • ISBN: 978-979-97436-2-6
PANCASILA sebagai isi jiwa bangsa Indonesia memiliki kebenaran pada adanya makna ”kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”. Makna ini tidak ditemukan dalam pemikiran Barat yang berpangkal pada individualisme.
Pidato-pidato Bung Karno tentang Pancasila bukan hanya menjadi sumber inspirasi bagi Soediman Kartohadiprodjo, bahkan telah mengubah paradigma berpikirnya sebagai intelektual yang sejak muda memperoleh pendidikan Barat.
Awalnya, Soediman sempat tersinggung dengan pidato Bung Karno dalam penutupan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional di Malang (1958). Baru beberapa tahun kemudian, seperti dikemukakan dalam pengantar bukunya (1964), Soediman memahami ajakan Bung Karno kepada kalangan intelektual Indonesia itu untuk mempelajari Pancasila. Sekarang ia mengerti, menyelami apa yang dimaksudkan oleh Bung Karno itu. ”’Re-think’ berarti tidak berpikir kembali dengan cara biasa, tetapi ’re-think’ adalah ’to think in another manner, in another way’, berpikir dengan cara lain.” (hlm 63)
Beberapa buku yang ditulis oleh para pemikir Barat terkemuka, seperti Ostwald Spengler, Pitirim A Sorokin, J Huizinga, Jan Romein, dan Ortega Y Gasset, menjadi sumber kegelisahan intelektual Soediman. Buku-buku tersebut telah membuka kesadarannya bahwa kebudayaan Barat telah mengalami masa krisis dan kemerosotan. Hal itu antara lain terbukti dari meletusnya Perang Dunia Pertama dan Kedua.
Dalam pidato Dies Natalis Universitas Parahyangan (Unpar) tahun 1962, Soediman kemudian mengajak para hadirin untuk bersikap kritis terhadap kebudayaan Barat. Menurutnya, pemikiran kritis beberapa pemikir Barat terkemuka tersebut perlu mendapat perhatian. ”… Fakta ini rupanya sudah cukup bagi kita bangsa Indonesia untuk waspada dalam mempergunakan unsur-unsur kebudayaan Barat dalam pembangunan yang kita lakukan sekarang ini.” (hlm 73)
Revolusi total
Perubahan sikap dan pandangan Soediman yang radikal tecermin pula dalam salah satu tulisannya dalam buku ini yang secara khusus mengkaji Pancasila secara ilmiah. Di dalam subbagian yang diberi judul ”Pancasila: Suatu Usaha Percobaan Mendekati Problem Sekitarnya”, ia membahas secara mendalam perbedaan mendasar pemikiran Barat yang berpangkal pada kebebasan individu dan paham kekeluargaan yang melandasi Pancasila.
Gagasan Bung Karno tentang perlunya bangsa Indonesia melakukan Revolusi Total juga menarik perhatian Soediman sehingga memberi kesan dirinya sebagai penyambung lidah Bung Karno. Apa sebabnya sampai Bung Karno menamakan revolusi kita ini Revolusi Total? Menurut Soediman karena revolusi tersebut merupakan ”eine Umwertung aller Werte”, perubahan nilai dari semua nilai atau penilaian kembali semua nilai. Bukan sekadar meruntuhkan pemerintahan kolonial.
Dalam pemahamannya, nilai itu adalah sesuatu yang terjadi, yang tidak dapat dipisahkan dari pikiran dan cara berpikir yang menentukan nilai. Maka, jika Bung Karno menyatakan revolusi bangsa Indonesia sebagai Revolusi Total, hal ini disebabkan cara berpikir yang menjadi dasar perubahan itu seluruhnya berbeda dari dasar yang dipakai dalam nilai yang ada dan diubah tersebut.
Kalau bangsa Indonesia sungguh-sungguh menerima Pancasila sebagai filsafat dan jiwa bangsa, mau tidak mau harus melakukan Revolusi Total karena secara fundamental Pancasila berbeda dari pemikiran Barat. Revolusi Total hanya dapat diselesaikan jika mengubah sampai ke akar-akarnya, yaitu ”cara berpikir Barat” yang berpangkal pada ”men are created free and equal” menjadi cara berpikir Indonesia. ”… Suatu Indonesich denken, yaitu cara berpikir ala Pancasila yang berpangkal pada Kesatuan dalam Perbedaan, Perbedaan dalam Kesatuan.” (hlm 187-188). Gagasan inilah yang menjiwai buku ini dari awal hingga akhir.
Pelopor filsafat Pancasila
Soediman Kartohadiprodjo (1908-1970) adalah putra Bupati Pasuruan, yang lahir tanggal 3 September 1908 di Jatirogo. Sejak muda dia telah memperoleh pendidikan Barat, mulai dari di Openbare Europese Lagere School (ELS), Hogere Burgerschool (HBS), hingga lulus Sekolah Tinggi Hukum atau Rechtshogeschool (RH), dan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) pada tahun 1936.
Setelah itu, dia bekerja sebagai hakim di beberapa kota hingga mengakhiri kariernya sebagai Hakim Tinggi Republik Indonesia pada tahun 1947. Soediman kemudian berkiprah di bidang pendidikan tinggi hukum dan menjadi salah seorang peletak dasar pendidikan tinggi hukum di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Soediman termasuk kelompok generasi pertama sarjana hukum bumiputera.
Sejak masih di HBS, Soediman muda merupakan aktivis pergerakan nasional melalui organisasi Tri Koro Dharmo, Jong Java, dan Indonesia Muda. Dia menjadi peserta Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Semangat nasionalismenya terus hidup, baik semasa menjadi hakim, pengacara, jaksa, maupun guru besar.
Melalui kuliah, tulisan, dan keteladanan sikap, Soediman menanamkan paham kekeluargaan (Pancasila) kepada Civitas Academica Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. GJ Resink menyebut karakter Soediman lebih menonjol sebagai sosok seorang guru ketimbang ilmuwan meskipun dia termasuk ilmuwan terhormat di bidangnya.
Dalam buku Filsafat dan Ideologi Pancasila (2006), Slamet Sutrisno menempatkan Soediman sebagai satu dari empat tokoh pelopor penelitian Filsafat Pancasila, di samping Notonagoro, N Drijarkara, dan Soekarno. Bahkan, menurut Sutrisno, pada tahun-tahun awal 1960-an, Soediman pernah mengkritik pikiran Bung Karno tentang Pancasila.
Dia tidak sependapat dengan pandangan Bung Karno bahwa Pancasila adalah sublimasi dari ”Declaration of Independence” dan Manifesto Komunis. Pertama, karena keduanya berpangkal pada kebebasan individu, sementara Pancasila dasarnya pada individu terikat dalam artian kekeluargaan. Kedua, baik Declaration of Independence maupun Manifesto Komunis baru berumur satu-dua abad, sementara Pancasila yang terpendam selama masa kolonialisme tiga setengah abad, jelas jauh lebih tua.
Buku ini merupakan penerbitan ulang buku kumpulan tulisan Soediman yang diterbitkan Penerbit PT Pembangunan, Jakarta, tahun 1965. Untuk mendukung pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam buku ini, penerbit Gatra Pustaka menambahkan beberapa tulisan, antara lain pidato Bung Karno berjudul ”Ilmu dan Amal” (1951), pidato Notonegoro berjudul ”Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia”(1951), dan orasi B Arief Sidharta tentang pemikiran Soediman (2009).
Secara substansial buku ini sangat inspiratif. Sayangnya, nilai yang terkandung di dalamnya tidak didukung penyuntingan yang baik. Selain banyak terjadi kesalahan teknis dalam tulisan, tata letak yang kurang nyaman, penyajian daftar isi, dan daftar pustaka juga tidak sesuai kaidah. Akan lebih menarik jika dilengkapi beberapa ilustrasi foto-foto dokumenter.
Yohanes Krisnawan, Litbang Kompas
Sumber: Kompas, Minggu, 15 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment